
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat.
Dinamika dan kepastian yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu
ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun
lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak
memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang
sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan
melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan
melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal
maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang
yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sementara itu,
implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga
terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani
sengketa-sengketa bisnis, tidak independen bahkan para hakimnya telah
kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga
pengadilan yang secara konkrit mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan
keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan sengketa
yang tidak efektif dan efisien.
|
Sebagai salah satu cara
menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase bukan sesuatu
yang baru dalam sistem penyelesaian
sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian
dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal
kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para
usahawan.
Dewasa ini, arbitrase
dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan
arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional
maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi
niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi
menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau
aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau
sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian
luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis.
Oleh sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa komersial tidak ditetapkan
secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari
kasus yang ada berdasarkan kebutuhan kajian ini. Bahkan sengketa komersial
dimaksud tidak ditentukan berdasarkan jenis objek sengketanya maupun ragam
kontrak bisnisnya.
Sengketa komersial di
dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji berdasarkan perbedaan
subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas dua prototipe sengketa
komersial. Pertama, sengketa komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi
antara subjek-subjek atau para pihak orang Indonesia yang melakukan kontrak
bisnis satu sama lain, dan objek sengketanya terletak dalam negeri. Kedua,
yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing, baik
individu maupun lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan. Sengketa
tersebut terjadi dari kontrak bisnis internasional.
Berdasarkan persektif
cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe sengketa komersial
domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-subjek sengketanya
cenderung membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di pengadilan negeri.
Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial tipe yang
pertama belum menjadi bagian dari perilaku para pihak domestik. Sementara itu
memilih forum arbitrase umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka
menyelesaikan sengketa komersial internasional. Dari pembacaan beberapa
literatur diketahui bahwa praktik pada beberapa negara maju menunjukkan bahwa
untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe kedua itu hampir setiap kontrak
bisnis internasional mencantumkan klausula pemilihan forum arbitrase, bahkan
dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. Van den Berg secara
ekstrim menyebutkan bahwa “…bevat ongeveer 90% Van de Internationale contracten
een arbitraal beding.” Untuk kasus negara-negara lain sinyalemen tersebut mungkin
saja benar seperti itu. Namun belum dapat dipastikan apakah keadaan di
Indonesia juga semacam itu. Oleh karena adakalanya juga, kontrak bisnis
internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta asing dengan pengusaha
swasta Indonesia tidak mencantumkan klausula arbitrase sebagaimana lazimnya.
Menyadari urgensi
permasalahan diatas maka sangat penting kiranya dilakukan suatu penelitian
mengenai penyelesaian sengketa terhadap kasus Karaha Bodas, disertai dengan
analisis mengenai tinjauan hukum pembuktiannya.
Maka dengan
alasan/latar belakang tersebut Penulis tertarik untuk menyusun makalah yang
berjudul TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KASUS KARAHA
BODAS.
B.
Identifikasi Masalah
Dari uraian latar
belakang masalah mengenai penyelesaian sengketa terhadap Kasus Karaha Bodas,
maka dapat dirumuskan identifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan mengenai penyelesaian sengketa
?
2. Bagaimana upaya pelaksanaan keputusan arbitrase
asing ?
C.
Metode Penelitian
Dalam penelitian yang
dilakukan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mempermudah analisis
permasalahan hal-hal tersebut antara lain :
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian dalam makalah ini adalah
Deskriptif Analitis, yakni menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut permasalahan di atas.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan penelitian ini adalah
Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang ditunjukkan untuk menemukan hukum in
concreto dengan menerapkan hukum secara konkrit guna menyelesaikan suatu
permasalahan tertentu. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu penelitian
inventarisasi hukum positif yang merupakan kegiatan pendahuluan mendasar untuk
melakukan penelitian hukum dari jenis-jenis yang lain.
3. Tahapan penelitian
Dalam pengumpulan data diusahakan
sebanyak mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai data sekunder
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan dilakukan penelitian
lapangan dengan harapan dapat melengkapi data kepustakaan. Dengan demikian
penelitian ini dilakukan melalui dua tahap :
a. Penelitian kepustakaan (Library Research)
b. Penelitian Lapangan
c. Dwi.djanuarto @ bisnis.co.id
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah dengan cara studi dokumen.
5. Metode Analisis Data
Sebagai cara menarik kesimpulan dari
hasil penelitian yang terkumpul, akan digunakan metode normatif tolak dari
peraturan –peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan dikatakan
kualitatif karena analisis data yang bertitik tolak pada usaha – usaha penemuan
asas-asas dan informasi-informasi yang diperoleh.

PEMBAHASAN
A.
Perjanjian Arbitrase Secara Umum
1. Pengertian Arbitrase
Menurut Black, S Law Dictionary :
“Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected
persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal
of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense
and vexation of ordinary ligitation.”
Menurut Pasal 1 angka
1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya
arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (factum de
compromitendo); atau
b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis)
2. Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa
yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya). Menurut Pasal 5 ayat 1
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 ( “UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
|
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain :
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan
negatif bahwa sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak
dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata buku III Bab
Kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
3. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase
sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi).
Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk
untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL ARBITARION RULES. Pada umumnya
arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan
majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak.
Penggunaan Arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu
lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan
aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of
Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di
Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem
arbitrase sendiri-sendiri.
4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan
melalui penjelasan umum Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca
beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan
pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administrasi dapat dihindari;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman,
memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
penyelesaian masalahnya;
Para pihak dapat
memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat
para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya
mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan
atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai
beberapa keunggulan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli,
dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya
peradilan wasit (arbitrase) adalah :
1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan
cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam
bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang
memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan
para pihak.
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum
tidak mengetahui tentang kelemahan – kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para
pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti
tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang
berjalan di Indonesia, keamanan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi
dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan
arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
B.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan
putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No 30 tahun 1999. Pada
dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan
arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan
dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh
arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah putusan arbitrase diucapkan. Putusan arbitrase nasional
bersifat mandiri, final, dan mengikat.
Putusan arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap), sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan
atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan
secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No. 30 tahun 1999 sebelum memberi
perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional).
Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semua pelaksanaan putusan-putusan
arbitrase asing di Indonesia didasarkan pada ketentuan Konvesi Jenewa 1927, dan
pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan
bahwa konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di
New York ditandatangani UN Convention on The Recognition and En Forcement of
Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York
tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan
didaftarkan di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah
Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma
tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih
ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

2 ibid
3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
BAB III

A. Simpulan
Seperti telah ditulis
dimuka, perjanjian arbitrase acapkali menyertai perjanjian pokoknya
(kontrak-kontrak komersial) baik nasional maupun internasional. Segi positif
dengan adanya klausula arbitrase yaitu bahwa para pihak dapat memilih proses
penyelesaian sengketa mereka kelak di kemudian hari. Di dalam hal ini, mereka
dapat pula merancang klausula tersebut sedemikian rupa sehingga
ketentuan-ketentuan (persyaratan arbitrase) yang didalamnya dapat memenuhi
keinginan mereka.
Untuk dapat
merumuskan suatu klausula yang baik sudah barang tentu peranan ahli hukum atau
ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu
ketentuan yang terkandung di dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati
agar pihaknya atau kedua belah pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa
dirugikan.
B. Saran
|
Berdasarkan simpulan di atas
maka penulis mengemukakan saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk mengambil keputusan bahwa pihak-pihak yang berpotensi memiliki konflik
serta lazim menyelesaikan konfliknya pada forum di luar pengadilan, maupun
kepada badan peradilan sebagai pemegang otoritas kewenangan publik sekaligus
pelaku eksekusi putusan arbitrase. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai Pemegang otoritas dalam melakukan perubahan atau amandemen terhadap
Undang-undang. Hal itu perlu dilakukan karena ternyata sejumlah pasal dalam
Undang-undang Arbitrase dan APS diketahui masih bersifat ambivalen. Sehingga
forum arbitrase tercitrakan masih disubordinasikan terhadap kewenangan
pengadilan negeri. Bahkan lebih dari itu dijumpai adanya kaidah yang secara
tegas memandulkan fungsi dan peran arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian
sengketa.

Dr. Eman Suparman,
S.H., M.H., Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan
Keadilan, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2004
Huala Adolf, S.H.,
Hukum Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, 1994
http : // Jurnal Hukum.blogspot.com
No comments:
Post a Comment