
A. Pengertian Politik Hukum
Menurut Muladi (2002 : 269), Politik
hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) di bidang
hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial yaitu usaha setiap
masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek
kehidupan. Hal ini mengandung dua dimensi yang terkait satu sama lain yakni
kebijakan kesejahteraan sosial (social walfare policy) dan kebijakan
perlindungan sosial (social defence policy).
Politik hukum adalah arahan atau garis
resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum
dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa
politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
negara. Selain itu politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang
mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan
negara. (Radie, 1980 : 16)
Selanjutnya Politik Hukum disebut juga
sebagai aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang
hendak dipakai atau sebagai kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan
menerapkan nilai-nilai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat melalui
politik perundang-undangan atau terbatas hanya pada hukum tertulis saja. (Van
Apeldorn, 1983 : 145)
Menurut Purbacaraka (1986 : 20) Politik
Hukum disebut juga sebagai aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai atau sebagai kegiatan-kegiatan memilih
nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
Dari berbagai
sudut pandang pengertian yang disebutkan di atas dapat ditarik beberapa unsur
pokok yang melekat dalam pengertian politik hukum yaitu:
1) adanya
kebijakan negara di bidang hukum: yang dilakukan melalui lembaganya, dengan
cara mengganti atau merubah atau mempertahankan hukum, dengan melihat substansi
hukum, struktur hokum, budaya hukum, rekayasa hukum dan sifat hukum
(netral/tidak netral)
2) kebijakan
dilakukan untuk mencapai tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, kemanfaatan
dan kedamaian hukum.
Menurut pendapat penulis, politik hukum
adalah kebijakan yang diambil pemerintah/penyelenggara Negara yang menghasilkan
produk-produk hukum yang berlaku bagi masyarakat Negara tersebut.
B. Ciri dan Sifat Politik Hukum
a. Ciri Politik Hukum
Berdasarkan beberapa pandangan di atas
maka ciri politik hukum dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Adanya
suatu kebijakan dasar, yang diaplikasikan dari UUD 1945 kepada peraturan
perundang-undangan lainnya. Sebagai contoh:
a) di
bidang Lingkungan; prinsip-prinsip dan kebijakan dasar pengembangan dan
penyempurnaan hukum pengelolaan sumber daya alam pada penyempurnaan sistem
hukum diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat sekitarnya sebagai
faktor-faktor untuk memperkuat ekonomi masyarakatnya dengan memperhatikan
keseimbangan di antara pemanfaatan yang efisien, ramah lingkungan serta kondisi
sosial dan ekonomi sekitarnya. Pendekatan hukum ini akan memperkuat
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan Indonesia.
b) di
bidang penanaman modal; pengembangan kebijakan dasar penanaman modal diupayakan
dapat melakukan kerjasama dengan cara bermitra dengan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi.
Di samping itu juga memberi perlakuan
yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional; mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang
kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional;
dan mempercepat peningkatan penanaman modal.
c) di
bidang pertanahan (Muhadar, 2006:51), dasar kebijaksanaan pertanahan nasional
(National Land Policy) ditegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara memberikan
wewenang untuk:
(1) mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut,
(2) menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang
angkasa, dan
(3) menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
d) di
bidang ketenagakerjaan; perubahan penting dari kebijakan dasar ketenagakerjaan
di Indonesia, dengan antara lain menggantikan sistem Pasal 1601-1603 BW yang
lebih banyak mengacu kepada hubungan "privat" antara para pihak
(buruh dan majikan) dengan nuansa liberal "no work no pay"; memuat
aspek perlindungan terhadap buruh.
e) di
bidang pemberdayaan perempuan; meningkatkan keterwakilan dan partisipasi
perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan baik di bidang eksekutif, legislatif
dan yudikatif. (TAP MPR No. VI Tahun 2002)
f) di
bidang perdagangan; kebijakan dasar pembiayaan ekspor nasional untuk mendorong
terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan ekspor nasional; mempercepat
peningkatan ekspor nasional; membantu peningkatan kemampuan produksi nasional
yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk ekspor; serta mendorong
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi untuk mengembangkan
produk yang berorientasi ekspor. (UU
No.2 Tahun 2009)
g) di
bidang Hukum Islam; memperluas kompetensi absolut Pengadilan Agama yang
mencakup penyelesaian sengketa syariah merupakan tujuan politik hukum Islam Indonesia,
karena kompetensi hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan sengketa ekonomi
syariah merupakan kemajuan yang signifikan terhadap legitimasi dan eksistensi
sistem ekonomi Islam di Indonesia. Sebab persoalan sengketa (dispute) adalah
sesuatu yang inherent dari keberadaan ekonomi Islam itu sendiri. (UU No. 50 Tahun 2009)
h) di
bidang Hukum adat, dengan melihat Politik Hukum Waris Adat.
i)
di bidang Otonomi Daerah, termasuk
kajian Pergeseran Politik Hukum Otonomi Daerah dan Politik Hukum tentang
Desentralisasi di Indonesia. (Lubis, 1989 : 153)
2) Adanya
suatu bentuk hukum, yang menjelma dalam berbagai tata urutan peraturan
perundang-undangan (ius constitutum).
3) Adanya
suatu isi hukum, yang menjelma dalam berbagai materi muatan peraturan
perundang-undangan (ius constitutum) berupa asas/prinsip, kaidah/norma, garis
haluan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang bersumber dari cita hukum yang lebih tinggi yaitu Pancasila, Pembukaan UUD
1945 dan Batang Tubuh UUD 1945.
4) Adanya
hukum yang akan dibentuk, yang menjelma dalam berbagai rancangan peraturan
perundang-undangan (ius constituendum).
5) Adanya
suatu lembaga atau badan yang berwenang dalam suatu negara yang membuat dan
menetapkan kebijakan tersebut (dalam hal ini pemerintah (eksekutif) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (legislatif)).
6) Adanya
suatu arah hukum, yang menjelma dalam pola yang harus diikuti atau dipakai
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yaitu kodifikasi, ratifikasi,
pluralisme, harmonisasi, konkordansi atau rancangan peraturan
perundang-undangan yang baru (new legal drafting).
7) Adanya
suatu bentuk politik hukum yang jelas dan pasti yang menjelma dalam berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan.
8) Adanya
suatu penentuan dan pengembangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang
tertata secara sistematis dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
9) Adanya
tujuan dan cita-cita politik hukum yang hendak dicapai, yaitu untuk menjamin
kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan secara pasti dan adil.
10)
Berlaku dan mengikat secara umum, baik
bagi masyarakat maupun para pembuatnya di seluruh wilayah Indonesia, baik di
pusat maupun di daerah.
Politik hukum dapat dipahami dari
kalimat yang ada, sejauh kalimat tersebut jelas dan tidak diperdebatkan, kalau
ternyata menimbulkan perdebatan, maka politik hukum dapat dicari dari latar
belakang historis munculnya gagasan tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan (tafsiran/interpretasi futuristic), apa sebenarnya yang
dikehendaki oleh pembuat undang-undang mengenai hal dimaksud. Dalam tatanan
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR bersama Pemerintah sekarang
ini hanya UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai yang telah diubah dengan UU No.39 Tahun
2007 tentang Perubahan UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai yang secara tegas dan
jelas menyebutkan adanya politik hukum, yang tertuang dalam Penjelasan umum
angka 6, yang berbunyi:
Dengan mengacu pada politik hukum
nasional, penyatuan materi yang diatur dalam undang-undang ini merupakan upaya penyederhanaan
hukum di bidang cukai yang diharapkan dalam pelaksanaannya dapat diterapkan
secara praktis, efektif, dan efisien. Menjadi hal yang sulit bagi kita untuk
mengetahui secara faktual karena politik hukum kebanyakan hanya secara implicit
terkandung dalam undang-undang yang dibentuk. Oleh karena itu harus dipahami
ajaran Montesquieu tentang Trias Politica, yaitu kekuasaan negara yang terdiri
atas 3 (tiga) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, yaitu Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif.
Ketiga lembaga ini berfungsi sebagai sentra-sentra
kekuasaan negara yang masing-masing harus dipisahkan. Dalam kaitannya dengan
Politik Hukum, maka ketiga lembaga inilah yang berupaya menyusun tertib hukum
negara, sehingga disebut berwenang melakukannya.
b. Sifat Politik Hukum
Menurut Bagir Manan, sifat politik hukum
itu sendiri terbagi dua, yaitu:
1)
Politik Hukum yang bersifat tetap
(permanen)
Politik hukum yang bersifat tetap adalah berkaitan
dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan
penegakan hukum.
Bagi bangsa Indonesia, Politik Hukum tetap antara
lain:
a) Terdapat
satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik
hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi
unifikasi hukum (berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia).
Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari:
(1) Hukum Islam (yang dimasukkan adalah
asas-asasnya)
(2) Hukum Adat (yang dimasukkan adalah
asas-asasnya)
(3) Hukum Barat (yang dimasukkan adalah
sistematikanya)
b) Sistem
hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
c) Tidak
ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga Negara tertentu berdasarkan pada
suku, ras, dan agama. Kalaupun ada perbedaan, semata-mata didasarkan pada
kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa.
d) Pembentukan
hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum,
sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum.
e) Hukum
adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum
nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan
masyarakat.
f) Pembentukan
hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
g) Hukum
dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh
rakyat) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya
negara berdasarkan hukum dan konstitusi.
2) Politik Hukum yang bersifat temporer.
Politik hukum yang bersifat temporer
dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai
dengan kebutuhan. Adanya pemahaman yang baru mengenai ruang gerak Politik Hukum
yang bersifat dinamis, dengan menyebutkan ruang gerak Politik Hukum tidak hanya
sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga
ke tingkat Internasional. (Hartono, 1991 : 9)
Politik Hukum tidak terlepas dari
realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihak,
sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, maka Politik Hukum Indonesia tidak
terlepas pula dari realita dan Politik Hukum Internasional.
Menurut pendapat penulis bahwa realitas
sosial saat ini menunjukkan bahwa produk-produk hukum yang dihasilkan lebih
banyak aspek politisnya yaitu lebih mementingkan kepentingan kelompok atau partai
politik tertentu. Hal ini dikarenakan produk hukum dihasilkan melalui mekanisme
politik di Senayan yang merupakan kawasan politis. Unsur politisnya lebih
dominan dibandingkan unsur legalitas yuridisnya.
Produk hukum yang dihasilkan dari
mekanisme politik tersebut kadangkala mendapat pertentangan di masyarakat,
karena produk hukum tersebut tidak memihak pada aspirasi masyarakat secara
luas. Misalnya Undang-undang Antipornografi.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Sunarjati. (1991). Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni: Bandung, Ed.ke-1,
Muladi, Demokratisasi, (2002). Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Centre : Jakarta.
Muhadar,
(2006). Viktimisasi Kejahatan Pertanahan,
LaksBang Presssindo: Yogyakarta, Cet.II.
Lubis, M. Solly (1989). Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar
Maju : Bandung, Cet.1.
Manan, Bagir. Politik Hukum Otonomi sepanjang Peraturan
Perundang-Undangan Pemerintah Daerah, makalah pada Seminar “Otonomi Daerah”
tulisan dalam Martin H. Hutabarat (et.al-ed), Hukum dan Politik Indonesia –
Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Sinar Harapan, Jakarta,
Cet.ke-1, 1996, hlm. 140-154.; Soenarko, (4), hlm. 1-97
Tap MPR No.VI Tahun 2002 tentang
Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI Oleh Presiden, DPA, DPR,
BPK, MA Pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002
UU
No.2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
UU No.50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
Van
Apeldorn. LJ, (1983). Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Aksara : Jakarta.
No comments:
Post a Comment