1.
Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode
untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Hidayat, 2005 :
4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral,
nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih
ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan
tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng.Tidaklah mudah untuk dapat
menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita seorang guru harus menerapkan
beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada
anak didik.
Beberapa hal yang dapat digunakan
untuk memilih cerita dengan fokus moral, diantaranya:a. Pilih cerita yang
mengandung nilai baik dan buruk yang jelasb. Pastikan bahwa nilai baik dan
buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anakc. Hindari cerita yang
“memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh,
2005 : 27-28).
Dalam bercerita seorang guru juga
dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum
mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain,
boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa
memanfaaTkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu
lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik
bercerita yang dapat dilakukan diantaranya :a. membaca langsung dari buku
cerita atau dongengb. Menggunakan ilustrasi dari bukuc. Menggunakan papan
flaneld. Menggunakan media bonekae. Menggunakan media audio visualf. Anak bermain
beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 87).
Strategi atau cara yang dapat
digunakan ketika guru memilih metode bercerita sebagai salah satu metode yang
digunakan dalam penanaman nilai moral adalah dengan membagi anak menjadi
beberapa kelompok, misalnya dalam satu kelas dibagi ke dalam 4 (empat)
kelompok. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita duduk dilantai
mengelilingi guru yang duduk di kursi kecil di kelilingi oleh mereka. Anak-anak
yang duduk di lantai akan mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru.
Sedangkan tiga kelompok yang lain duduk pada kursi meja yang lain dengan
kegiatan yang berbeda-beda, misalnya ada yang menggambar, melakukan kegiatan
melipat kertas, sedangkan kelompok yang keempat membentuk plastisin. Anak-anak
yang mengikuti kegiatan bercerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan
menggambar, melipat kertas, membentuk plastisin. Melalui cara ini masing-masing
anak akan mendapaTkanan kegiatan atau pengalaman belajar yang sama secara
bergantian.
2.
Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode
bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat
anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis
untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan
rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana
pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai
dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan
dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa.
Anak merupakan pribadi yang
memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam
menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang
dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui
ceramah atau tanya jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu
metode penamanan nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini.
Bernyanyi jika digunakan sebagai
salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan melalui penyisipan
makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu tersebut. Lagu yang
baik untuk kalangan anak AUD harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:a.
Syair/kalimatnya tidak terlalu panjangb. Mudah dihafal oleh anakc. Ada misi
pendidikand. Sesuai dengan karakter dan dunia anake. Nada yang diajarkan mudah
dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.28).
3. Bersajak
Sajak diartikan sebagai
persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada
bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran
melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan
menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis
anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin
mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami
atau dilakukannya.
Melalui metode sajak guru bisa
menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga
membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat
dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni.
Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat
yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki
kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap
sesuatu melalui sajak sederhana (Hidayat, 2005 : 4.29)
4. Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu
metode pengajaran di PAUD dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai
dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya.
Dengan karya wisata anak akan mendapat ilmu dari pengalamannya sendiri dan
sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri.
Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat
membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi.
Metode ini juga dapat memperluas
lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang tidak mungkin
dapat dihadirkan di kelas.Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang
dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk
merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah
diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan
dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang didapatkan anak melalui
karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu loncatan untuk melakukan kegiatan
yang lain dalam proses pembelajaran.
Kedua, karya wisata dapat
menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk mengembangkan minat
tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun binatang. Mereka mendapat
kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang. Minat tersebut menimbulkan
dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut seperti tentang kehidupannya,
asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara mengasuh anaknya, dan
lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai pendidikan, karena itu melalui
kegiatan ini dapat meningkatkan pengembangan kemampuan sosial, sikap, dan
nilai-nilai kemasyarakatan pada anak.
Apabila dirancang dengan baik
kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek perkembangan sosial
anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam kegiatan
kelompok.Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai
kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan,
tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh
pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan, kegiatan
yang menghasilkan suatu karya atau jasa.
Metode karya wisata bertujuan
untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai
dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas,
emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang
lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai
dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai
adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan
pegunungan.Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman
nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah
indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam
perilaku.
5. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern,
pendekatan ini sudah banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan
tetapi pendekatan ini masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi
Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh
menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini
melalui interaksi guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah
memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan
kepada anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak
melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
6. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi
nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar
salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan
menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan
mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk
mendiskusikan isu-isu moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat
digunakan untuk anak AUD? Ternyata jawabannya dapat, karena anak AUD yang
berumur 6 tahun berada dalam masa transisi ke arah perkembangan moral yang
lebih tinggi, sehingga mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan
keterampilan bertindak secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi
Siswoyo (2005:76).
7. Teladan atau Contoh
Anak mempunyai kemampuan yang
menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat
dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun
buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur
seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai
yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah
daging terlebih dahulu pada gurunya.
Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995
: 364-370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempaTkanan dirinya
sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan
kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi.Dalam pendekatan
ini profil ideal guru menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan moral.
Banyak para ahli yang berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John
Wilson dan Kohlberg. Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah
satu proses sosial yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta didik
sedemikian rupa sehingga mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar
intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya
(Dwi Siswoyo, 2005:76).
Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa
tugas utama guru adalah memberi kontribusi terhadap proses perkembangan moral
anak. Tugas guru disini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
berpikir, mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
8. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang berlaku di AUD
terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui
pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat
misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan
minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar,
berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan
secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.Pendekatan lain
yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral menurut W. Huitt (2004)
diantaranya adalah inculcation, moral development, analysis, klarifikasi nilai,
dan action learning.
1. Inculcation
Pendekatan ini bertujuan untuk
menginternalisasikan nilai tertentu kepada siswa serta untuk mengubah nilai-nilai
dari para siswa yang mereka refleksikan sebagai nilai tertentu yang diharapkan.
Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya modeling,
penguatan positif atau negatif, alternatif permainan, game dan simulasi, serta
role playing.
2. Moral development
Tujuan dari pendekatan ini adalah
membantu siswa mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks
berdasarkan seperangkat nilai yang lebih tinggi, serta untuk mendorong siswa
mendiskusikan alasan-alasan pilihan dan posisi nilai mereka, tidak hanya
berbagi dengan lainnya, akan tetapi untuk membantu perubahan dalam tahap-tahap
penalaran moral siswa. Metode yang dapat digunakan diantaranya episode dilema
moral dengan diskusi kelompok kecil
3. Analysis
Pendekatan ini bertujuan untuk
membantu siswa menggunakan pikiran logis dan penelitian ilmiah untuk memutuskan
masalah dan pertanyaan nilai, untuk membantu siswa menggunakan pikiran
rasional, proses-proses analitik, dalam menghubungkan dan
mengkonseptualisasikan nilai-nilai mereka, serta untuk membantu siswa
menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan
personal, nilai-nilai dan pola-pola perilakunya. Metode yang dapat digunakan
dalam pendekatan ini diantaranya diskusi rasional terstruktur yang menuntut
aplikasi rasio sama sebagai pembuktian, pengujian prinsip-prinsip,
penganalisaan kasus-kasus analog dan riset serta debat.
4. Klarifikasi nilai
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa
menjadi sadar dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan juga yang
dimiliki oleh orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara terbuka dan
jujur dengan orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu siswa
menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan
personal, nilai-nilai dan pola berikutnya. Metode yang dapat digunakan dalam
pendekatan ini antara lain, role playing games, simulasi, menyusun atau
menciptakan situasi-situasi nyata atau riil yang bermuatan nilai, latihan
analisis diri (self analysis) secara mendalam, aktivitas melatih kepekaan
(sensitivity), aktivitas di luar kelas serta diskusi kelompok kecil.
5. Action learning
No comments:
Post a Comment