Monday, April 29, 2019

Efektivitas Berbicara


Kegiatan berbicara terjadi dalam fase awal ketika pembicara memiliki gagasan. Gagasan tersebut merupakan pesan psikologis yang baru diketahui melalui gejala-gejala perilakunya dalam bentuk ujaran. Sebelum diungkapkan, gagasan atau pesan ini ditata menurut pengetahuan linguistik atau bahasa yang telah diperolehnya melalui pengalamannya dalam peristiwa pemerolehan atau pembelajaran bahasa. Penataan tersebut dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan dalam segi komunikasinya. Dalam kaitan ini, Djago Tarigan (1995:186) mengemukakan pentingnya penataan pembicaraan dengan mempertimbangkan aspek-aspek komunikasi yaitu “tujuan komunikasi, materi komunikasi, cara komunikasi dan efek komunikasi”.
Pada aspek pertama, tersirat maksud pembicara sehubungan dengan gagasan atau pesan yang dimilikinya. Dalam hal ini terjadi, pertimbangan untuk apa komunikasi itu dilakukan, misalnya untuk memberitahukan, meminta jawaban, menyuruh atau melarang, mengajar atau meyakinkan dan sebagainya. Pada aspek kedua, pembicara menetapkan pesan apa saja yang selayaknya dikemukakan dalam pembicaraannya. Pada aspek ketiga, sesuai dengan kemampuan linguistiknya, pembicara mempertimbangkan cara-cara yang mungkin dilakukan agar tujuan komunikasinya tercapai. Pada aspek keempat pembicara mempertimbangkan efek atau kemungkinan yang terjadi dalam komunikasi yang akan dilakukannya. Kesalahan dalam mempertimbangkan aspek-aspek tesebut membuka peluang gagal atau rendahnya efektivitas berbicara.
Sehubungan efektivitas berbicara ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Dalam kaitan ini, Djago Tarigan (1995:187) mengemukakan empat faktor yang bersinegi dan besar pengaruhnya terhadap efektivitas berbicara, yaitu “situasi , pembicara, penyimak dan ragam ujaran”. Situasi berbicara mengacu pada keadaan lingkungan tempat kegiatan berbicara diselenggarakan, situasi berbicara dapat diklasifikasikan atas situasi geografis dan situasi sosial. Keduanya memiliki pengaruh yang besar terhadap efektivitas berbicara, baik yang sifatnya verbal maupun non verbal. Dalam peristiwa berbicara, pembicara merupakan faktor utama alam menciptakan kegiatan yang komunikatif. Kegiatan berbicara dilakukan dalam usaha menciptakan suasana yang komunikatif. Untuk itu diperlukan adanya penyimak dalam komunikasi, pesan pembicara diharapkan dapat diterima penyimak sebagai pesan yang sesuai dengan harapan pembicara.
Efektivitas berbicara ditentukan pula oleh derajat kekomunikatifan antara pembicara dan penyimak. Untuk berbicara secara efektif, pembicara dituntut menguasai bahasa yang sama-sama dikuasai pula oleh penyimak. Dalam hal ini pembicara harus mampu menyajikan gagasan atau pesannya ke dalam bentuk bahasa yang berupa ujaran. Kemampuan pembicara dalam menggunakan bahasa dapat ditinjau dari kemampuan linguistiknya. Masing-masing tercakup dalam aspek-aspek ponologis, gramatiknya, dan aspek kosa kata atau leksikal yang berlaku dalam bahasa tersebut.
Untuk menjadi pembicara yang baik, dibutuhkan penguasaan atas beberapa kemampuan. Menurut Djago Tarigan (1995:195), kemampuan yang dimaksud mencakup kemampuan memilih topik yang jelas, menguasai materi, memahami latar belakang pendengar, dan mengetahui situasi. Selain itu, Ehninger sepertoi dikutip Djago Tarigan mengajukan delapan langkah yang harus dilakukan dalam mempersiapkan suatu pembicaraan. Kedelapan langkah tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Menyeleksi dan memusatkan pokok pembicaraan, (2) Menentukan tujuan khusus pembicaraan, (3) menganalisis pendengar dan situasi, (4) mengumpulkan materi pembicaraan, (5) menyusun kerangka dasar pembicaraan, (6) mengembangkan kerangka dasar, (7) berlatih dengan suara keras, jelas dan lancar, dan (8) mengajukan pembicaraan.




Ragam Keterampilan Berbicara


Ada beberapa jenis berbicara yang biasa digunakan. Menurut H.G. Tarigan (1981:23), ragam jenis berbicara dikaitkan dengan hakikat berbicara sebagai seni yang terdiri atas dua pembagian, yaitu berbicara di muka umum pada masyarakat dan berbicara pada konferensi. Pada klasifikasi pertama, terdapat beberapa jenis berbicara, yaitu berbicara informatif, berbicara secara kekeluargaan, berbicara untuk meyakinkan, dan berbicara untuk merundingkan diri. Sementara itu, berdasarkan klasifikasi kedua terdapat beberapa jenis berbicara, yaitu diskusi kelompok dan prosedur parlementer. Pada jenis diskusi kelompok terdapat jenis berbicara tidak resmi seperti komite, atau kelompok studi dan berbicara resmi seperti konferensi, diskusi panel dan simposium.
Di samping jenis-jenis berbicara tersebut di atas masih ditentukan jenis berbicara yang lainnya. Menurut Djago Tarigan (1994:162) paling sedikit ada lima landasan yang digunakan dalam mengklasifikasikan jenis berbicara, yaitu berdasarkan “situasi tujuan, metode penyampaian, jumlah menyimak, dan peristiwa khusus”. Penjelasan jenis-jenis berbicara adalah sebagai berikut. Berdasarkan situasi, terdapat beberapa jenis berbicara, yaitu bertukar pengalaman percakapan, menyampaikan cerita, menyampaikan pengumuman, bertelepon, dan memberi petunjuk. Berasaskan tujuan, terdapat jenis berbicara untuk menghibur, menginformasikan, menstimulasikan, meyakinkan, dan menggerakkan. Berarkan metode penyampaian terdapat jenis berbicara mendadak, berbicara berdasarkan catatan kecil, berbicara berdasarkan hafalan, dan berbicara berdasarkan naskah.
Selanjutnya, berdasarkan jumlah penyimak terdiri atas jenis berbicara antarpribadi, berbicara dalam kelompok kecil, dan berbicara dalam kelompok besar. Berdasarkan peristiwa khusus dikenal berbagai jenis berbicara yang menyangkut pidato, yaitu pidato presentasi, penyambutan, perpisahan, jamuan, perkenalan, dan pidato nominasi. Dalam konteks penelitian ini, jenis berbicara yang relevan dengan fokus masalah atau variabel penelitian adalah pembahasan ini adalah berbicara berasaskan situasi, yakni menyampaikan cerita atau bercerita.


Tujuan dan Fungsi Berbicara


Menurut H.G. Tarigan (1981:15) berbicara merupakan “suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) demi tujuan menyampaikan gagasan kepada orang lain”. Dari pengertian tersebut tersirat makna berbicara sebagai kegiatan berbahasa yang memiliki tujuan dan fungsi komunikasi bahasa verbal. Secara umum, tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi atau berinteraksi. Berkomunikasi di sini bermakna kegiatan menyampaikan atau mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan lain-lain dengan menggunakan bahasa lisan.
Selain tujuan tersebut ada beberapa tujuan lain yang lebih spesifik yang disesuaikan dengan studi dan efek pembicaraan. Dalam konteks ini, Djago Tarigan (1994:144) mengemukakan beberapa tujuan khusus berbicara, yaitu “untuk menghibur, menginformasikan, menstimulasikan, meyakinkan, dan menggerakkan”. Pendapat lain yang senada dengan hal tersebut, dikemukakan H.G. Tarigan (1981:16) dengan mengemukakan beberapa tujuan berbicara, yaitu “untuk memberitahukan, melaporkan, menjamu, menghibur, membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan”. Pencapaian tujuan berbicara tersebut sangat bergantung pada faktor kematangan pembicara. Kematangan pembicaraan ini meliputi beberapa aspek. Dalam kaiatan ini, H.G. Tarigan (1981:19) mengemukakan empat aspek yang dimaksud yaitu keterampilan sosial, keterampilan semantik, keterampilan fonetik dan keterampilan vokal”.
Kegiatan berbicara sangat vital dan fungsionalitas dalam kehidupan. Setiap manusia yang sempurna senantiasa berinteraksi dengan mengunakan bahasa lisan. Dalam hal ini ada interaksi pembicara dan penyimak dengan menggunakan bahasa lisan. Karena itulah, Nurgiyantoro (1988:252) mengatakan bahwa, “bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari”. Fungsionalitas berbicara ini ditandai oleh hasil penelitian para pakar komunikasi dan bahasa. Rangkin seperti dikutip H.G. Tarigan (1987:129) berpendapat bahwa “persentase waktu untuk berkomunikasi dengan berbicara sebesar 30%, menyimak sebesar 45%, membaca 16%, dan menulis 9%”. Penelitian E. Bird juga menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu bahwa “persentase berbicara 25%, menyimak sebesar 42%, membaca 15%, dan menulis 18% (Djago Tarigan, 1995:6). Berdasarkan data hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam aktivitas keseharian, setiap orang menggunakan seperempat waktunya dalam berkomunikasi dengan menggunakan kegiatan berbicara.
Fungsi berbicara menyangkut fungsi instrumental regulasi, representasi, personal, dan interaksional. Berbicara berperan untuk mengungkapkan ide dan memformulasikan ide baru. Berbicara berfungsi sebagai bentuk manifestasi kepribadian atau simbolisasi kepribadian seseorang. Melalui  berbicara, seseorang dapat meningkatkan atau menambah cakrawala pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Pendek kata, berbicara dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang baik secara personal maupun secara sosial dalam interaksinya dengan sesama. Berkaitan dengan hal tersebut, Semi (1996:15) berpendapat sebagai berikut:
Orang yang pandai berbicara mempunyai beberapa keuntungan, antara lain diterima baik dalam pergaulan, mempunyai banyak sahabat, dapat menyumbangkan pikiran yang berharga, mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin, mempunyai peluang untuk lebih sukses dalam pekerjaan atau pergaulan.

Dari kutipan di atas dapat dikemukakan urgensitas dan fungsional berbicara dalam kehiduan kemasyarakatan. Keterampilan berbicara juga sangat penting dan bermanfaat bagi siswa dalam konteks kegiatan belajar dan aktivitas kesehariannya. Berkaitan dengan peranan atau fungsi berbicara bagi siswa, Djago Tarigan (1995:138) berpendapat sebagai berikut.
Para pelajar dan mahasiswa dalam proses pendidikannya dituntut terampil berbicara. Mereka harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang telah mereka miliki secara lisan. Mereka pun harus terampil mengajukan pertanyaan untuk menggali dan mendapatkan informasi apalagi dalam kegiatan seminar, diskusi, dan dalam rapat-rapat, mereka dituntut terampil adu argumentasi, terampil menjelaskan persoalan cara pemecahannya, dan terampil menarik simpati para pendengarnya.

Pengertian Berbicara


Secara leksikal atau menurut kamus, berbicara adalah “berkata, bercakap; berbahasa atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan dsb) atau berunding” (Moeliono, ed, 1990:144). Dari pengertian tersebut terlihat dengan jelas bahwa hakikat berbicara bersinonim dengan berkata atau bercakap-cakap. Selain itu, secara kontekstual berbicara berarti pula sebagai bentuk ekspresi verbal dalam mengungkapkan sesuatu kepada orang lain atau dirinya sendiri. Pengertian lain lebih ditekankan kepada kemampuan atau keterampilan sebagaimana dikemukakan Djago Tarigan (1995:136) yang berpendapat bahwa :”berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan”. Pendapat yang senada dikemukakan oleh H.G. Tarigan (1981:15) yang juga menitikberatkan pada kemampuan berbicara, yaitu bahwa berbicara merupakan “kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengeksperesikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Selain pengertian tersebut, H.G. Tarigan (1981:15) dengan mengacu pada pendapat Mulgrave mendefinisikan berbicara berdasarkan sudut pandang sistem  tanda dan bentuk perilaku yaitu sebagai berikut:
            Berbicara meruapksn suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian eksptensif.

            Dari pengertian di atas jelaslah bahwa berbicara bukan sekedar mengucapkan bunyi-bunyi ujaran tanpa makna, tetapi berbicara sebagai instrumen komunikasi berbahasa, yaitu menyampaikan pikiran, secara bermakna dengan menggunakan bahasa lisan. Karena itu, Mulgrave seperti dikutip H.G. Tarigan (1981:15) mengatakan bahwa “berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak”. Pendapat senada dikemukakan Suhendar dan Supindah (1992:134) yang mengatakan bahwa “berbicara merupakan proses komunikasi, proses perubahan bentuk pikiran atau perasaan menjadi bentuk bunyi bahasa”. Lebih lanjut beliau mengatakan  sebagai berikut:
            Berbicara sebagai aspek keterampilan berbahasa bukan hanya mengujar, bukan hanya keluarnya bunyi bahasa dari alat ucap, bukan hanya mengucap yang tanpa makna, melainkan berbicara sebagai berbahasa yaitu menyampaikan pikiran, dan perasaan kepada orang lain dengan lisan (ibid, 1992:134).


            Berdasarkan uraian di atas perlu kiranya diuraikan prinsip-prinsip dasar berbicara sebagai hakikat keterampuilan berbahasa. Konsep dasar berbicara berkaitan dengan pengertian berbicara sebagai sarana berkomunikasi. Dalam kaitan ini, Logan sebagaimana dikutip Djago Tarigan (1995:149) mengemukakan sembilan prinsip dasar berbicara, yaitu sebagai berikut:
(1) Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal, (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi, (3) berbicara adalah ekspresi kreatif, (4) berbicara adalah tingkah laku, (5) berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari, (6) berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman, (7) berbicara sarana memperluas cakrawala, (8) kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat, (9) berirama adalah pancaran pribadi.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan keterampilan menyampaikan pesan, pikiran dan perasaan seseorang melalui bahasa lisan. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata yang bermakna untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan pembicara kepada orang lain. Pembicara menyampaikan pesan melalui artikulasi dan pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, rekaman dan penempatan persendian. Komunikasi antara pembicara dan penyimak berlangsung secara tatap muka yang dibantu oleh unsur paralinguistik dan kinestik. Dalam proses komunikasi lisan terdapat beberapa aspek yang terlibat yaitu ”pembicara, pembicaraan, penyimak, media, sarana penunjang dan interaksi” (Djago Tarigan, 1995:144).

Sunday, April 28, 2019

Fungsi Pendidikan Keluarga


Fungsi merupakan gambaran sebagai apa yang dilakukan dalam keluarga. Fungsi keluarga berfokus pada proses yang digunakan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga tersebut. Proses ini termasuk komunikasi diantara anggota keluarga, penetapan tujuan, resolusi konflik, pemberian makanan, dan penggunaan sumber dari internal maupun eksternal. Tujuan reproduksi, seksual, ekonomi dan pendidikan dalam keluarga memerlukan dukungan secara psikologi antar anggota keluarga, apabila dukungan tersebut tidak didapatkan maka akan menimbulkan konsekuensi emosional seperti marah, depresi dan perilaku yang menyimpang. Tujuan yang ada dalam keluarga akan lebih mudah dicapai apabila terjadi komunikasi yang jelas dan secara langsung. Komunikasi tersebut akan mempermudah menyelesaikan konflik dan pemecahan masalah.
Berdasarkan pendekatan sosio-kultural, fungsi keluarga setidaknya-tidaknya mencakup beberapa hal sebagai berikut:[1]
1. Fungsi Biologis
Bagi pasangan suami-isteri (keluarga), keluarga menjadi tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti sandang, pangan dan papan, sampai batas minimal dia dapat mempertahankan hidupnya. Fungsi biologis inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui bersama.[2] Fungsi biologis keluarga ini, untuk melanjutkan keturunan (reproduksi), dalam ajaran Islam juga disertai upaya sadar agar keturunannya menjadi generasi yang unggul dan berguna, yaitu generasi “dzurriyatun thoyyibah”.[3]
2. Fungsi Edukatif
Fungsi edukatif (pendidikan), keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognitif, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional. 

Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya. Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti pola keluarga demokratis di mana tidak dapat dipilah-pilah siapa belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus berdampak pada pergeseran relasi antar peran-peran anggota keluarga. Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada isteri, bapak atau ibu belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua orang tua.

3. Fungsi Religius

Fungsi religius, berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan
Fungsi ini mengharuskan orangtua menjadi seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, baik dalam ucapan, sikap dan perilaku sehari-hari, untuk menciptakan iklim dan lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarganya. Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seseorang mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar, pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai terwujudnya masyarakat religius.
4. Fungsi Protektif
Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk baik pada masa sekarang ini dan masa yang akan datang. Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan.
5. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, mampu memegang norma-norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam mensikapi masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa maupun jenis kelaminnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, dan pada gilirannya anak dapat berfikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya. Lingkungan yang mendukung sosialisasi antara lain ialah tersedianya lembaga-lembaga dan sarana pendidikan serta keagamaan.
6. Fungsi Rekreatif
Fungsi ini tidak harus dalam bentuk kemewahan, serba ada, dan pesta pora, melainkan merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Suasana rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya, apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat suasana yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”.
7. Fungsi Ekonomis
Fungsi ekonomis menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Dimana keluarga memiliki aktivitas dalam fungsi ini yang berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran belanja, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga, pengelolaan dan bagaimana memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan proporsional, serta dapat mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral.
Pelaksanaan fungsi ini oleh dan untuk keluarga dapat meningkatkan pengertian dan tanggungjawab bersama para anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi. Pada gilirannya, kegiatan dan status ekonomi keluarga akan mempengaruhi, baik harapan orang tua terhadap masa depan anaknya, maupun harapan anak itu sendiri.[5]
Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah bahwa keluarga memiliki fungsi yang vital dalam pembentukan individu. Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka akan terjadi ketidakharmonisan dalam sistem keteraturan dalam keluarga.[6]


[1] Djuju Sujana, Peran Keluarga di Lingkungan Masyarakat, dalam Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990), hlm.20-22
[2] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hlm.43
[3] Muhammad Tholhah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga, hlm.8
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005), hlm.560
[5] Muhammad Tholhah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga, hlm.8-10
[6] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hlm.47

Sistem Kerja dan Fungsi Kepala Sekolah

Kepala Sekolah dan Sistem Kerja
Tanggung jawab seorang kepala sekolah adalah tercapai hasil sebaik mungkin dengan mengkoordinasikan sitem kerja pada unit kejanya secara efektif. Suatu sistem, kerja secara sederhana dapat digambarkan dalam hubungan kondisi proses hasil sebagai berikut :
Penjelasan Sistem Kerja Kepala Sekolah
Kondisi: Semua masukan yang diperlukan sebagai kondisi dalam proses seperti faktor lingkungan kerja (baik fisik maupun non fisik), diantaranya SDM, ruangan belajar dan bekerja, peralatan belajar mengajar, struktur organisasi, prosedur, intruksi, kebijakan pemerintah (kurikulum), hubungan antar pribadi dana suasana kerja.
Proses : Semua kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai hasil (keluaran) misalnya bila sekolah ditinjau sebagai suatu sistem, maka proses disini adalah interaksi sernua komponen sekolah dalam pembelajaran.
Hasil : hasil adalah keluaran, yaitu segala sesuatu yang dihasilkan dari proses kerja. Misalnya : barang dan jasa tertentu atau laporan mengenal pelaksanaan pekerjaan. Hasil sekolah sebagai sistem adalah lulusan sekolah.
Balikan formatif : balikan (feedback) formatif adalah informasi yang digunakan untuk mempengaruhi kualitas hasil balikan ini mengharuskan adanya perubahan dalam cara menghasilkan perubahan tertentu, sebagai contoh kepala sekolah meminta agar guru menggunakan tehnik mengajar tertentu dalam mengajar.
Balikan motivatif : informasi yang digunakaan untuk mempengaruhi kualititas hasil / keluaran. Informasi ini untuk meningkatkan kecapatan bekerja misalnya, kepala sekola memuji seorang guru yang bekerja dengan baik dalam menangani keluhan orang tua peserta didik.


Fungsi Kepala Sekolah
1.        Sebagai administrator, mengelola adiministrasi sekolah, dalam hal menyusun program tahunan (RAPBS), serta hal hal yang berkaitan dengan sekolah.
2.        Sebagai komunikator. Kepala sekolah memberikan pengarahan pembinaan para guru.
3.        Sebagai motivator. Kepala sekolah hendaknya dapat membangkitkan dan memelihara kegairahan kerja pada guru, dengan memberikan gagasan gagasan yang baik bagi penyampaian KBM.
4.        Sebagai inovator. Kepala sekolah hendaknya memiliki prakarsa atau gagasan perbaikan dalam pembaharuan pendidikan dan mendorong guru untuk melakukan hal yang berkaitan dengan pelajaran.
5.        Sebagai fasilitator. Kepala sekolah harus mampu mengusahakan pengadaan alat/sarana sekolah, seperti meubelair dan sebagainya.
6.        Sebagai dinamisator. Kepala sekolah harus mampu sebagai pengerak dalam pencapaian tujuan sekolah.
7.        Sebagai transformator. Kepala sekolah sebagai alat penyampai nilai nilai pada gurunya.
8.        Sebagai stimulator. Kepala sekolah harus mampu sebagai perangsang pemicu semangat kerja kepada guru.
9.        Kepala sekolah sebagai pelaksana dan pengemban kurikulum.
Kepala sekolah sebagai pembimbing. Kepala sekolah harus mampu mengembangkan profesi guru.

Hak dan Kewajiban Orang Tua


Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Dalam lingkup keluarga, maka orang tua mempunyai hak terhadap anak-anaknya. Sebaliknya, orang tua juga mempunyai kewajiban terhadap anak-anak mereka sebagai tanggungjawab yang harus orang tua laksanakan. Dengan demikian maka hak dan kewajiban seorang anak akan terlaksana dengan sendirinya.
Hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dsb). Contoh, semua warga negara Indonesia yang telah berusia delapan belas tahun ke atas mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Orang tua atau keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak,[1] pendidikan orang tua lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian dari pada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan, dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikan keluarga bersifat individual, sesuai dengan pandangan hidup orang tua masing-masing, sekalipun secara nasional bagi keluarga-keluarga Indonesia memiliki dasar yang sama, yaitu pancasila. Ada orang tua dalam mendidik anaknya mendasarkan pada kaidah-kaidah agama dan menekankan proses pendidikan pada pendidikan agama dan tujuan untuk menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang saleh dan senantiasa takwa dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, ada pula orang tua yang dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikannya berorientasi kepada kehidupan sosial ekonomi kemasyarakatan dengan tujuan untuk menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang produktif dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.
Orang tua merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik.[2]
Bahwa perkembangan kehidupan seorang anak salah satunya ditentukan oleh orang tua, maka tanggung jawab orang tua terhadap anak sangatlah penting bagi masa depan anak, karena seorang anak pertama tumbuh dan berkembang bersama orang tua dan sesuai tugas orang tua dalam melaksanakan perannya sebagai penyelenggara pendidikan yang bertanggung jawab mengutamakan pembentukan pribadi anak.[3] Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi perkembangan pribadi anak adalah kehidupan keluarga atau orang tua beserta berbagai aspek, perkembangan anak yang menyangkut perkembangan psikologi dipengaruhi oleh status sosial ekonomi, filsafat hidup keluarga, pola hidup keluarga seperti kedisiplinan, kepedulian terhadap keselamatan dan ketertiban menjalankan ajaran agama, bahwa perkembangan kehidupan seorang anak ditentukan pula oleh faktor keturunan dan lingkungan.[4]
Seorang anak didalam keluarga berkedudukan sebagai anak didik dan orang tua sebagai pendidiknya, banyak corak dan pola penyelenggaraan pendidikan keluarga yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok pola pendidikan yaitu, pendidikan otoriter, pendidikan demokratis, dan pendidikan liberal.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya tidak hanya terbatas pada hal-hal yang sifatnya material saja melainkan juga hal-hal yang sifatnya spiritual seperti halnya pendidikan dan agama, untuk itu orang tua harus memberi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Dari hasil tinjauan di atas, maka hak orang tua secara umum adalah apa saja yang dituntut atau yang diperbuat sesuai dengan kekuasaannya, selama tidak bertentangan dengan undang-undang, norma dan agama. Contoh, seorang ayah meminta kepada anaknya untuk mengambilkan dompetnya yang ketinggalan maka menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk melaksanakan apa yang diminta ataupun yang diperintahkan.
Sedangkan kewajiban orang tua secara umum adalah sesuatu yang harus dilaksanakan, atau apa saja yang menjadi tanggungjawab orang tua terhadap anak-anaknya. Seperti memberi nafkah, memberikan pembelajaran, tempat tinggal dan lain sebagainya.



[1] Munardji, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta :  PT Bina Ilmu, 2004), hlm 131
[2] Binti  Maunah, Ilmu Pendidikan,  (Yogyakarta : Teras : 2009), hlm. 92
[3] Zuhairini , Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara : 1991), hlm. 177
[4] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 88

Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah

  
1.         Pertumbuhan
a.         Definisi Pertumbuhan
Menurut Soetjiningsih (2013) pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu. Sedangkan menurut Behrman (2010) pertumbuhan adalah perubahan struktur dan fungsi setiap organ dan proses fisiologi sistem organ.
Menurut Nursalam (2008) pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel.
Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan adalah perubahan fisik yang bersifat kuantitatif yang ditandai dengan bertambahnya jumlah dan ukuran sel, organ disertai dengan perubahan struktur dan fungsi setiap organ.

b.         Pola Pertumbuhan Anak Prasekolah
Pertumbuhan masa prasekolah pada anak yaitu pada pertumbuhan fisik, khususnya berat badan mengalami kenaikan rata - rata pertahunnya adalah 2 kg, kelihatan kurus, akan tetapi aktivitas motoriknya tinggi, dimana sistem tubuh sudah mencapai kematangan, seperti berjalan, melompat, dan lain-lain. Sedangkan pada pertumbuhan tinggi badan anak kenaikannya rata-rata akan mencapai 6,75 - 7,5 cm setiap tahunnya (Hidayat, 2009).

c.         Aspek Pertumbuhan
Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran antropometri, pengukuran antropometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan (panjang badan), lingkar kepala. Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi di samping faktor genetik sedangkan pengukuran lingkar kepala dimaksudkan untuk menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak kecil (mikrosefali) menunjukkan adanya reterdasimental, apabila otaknya besar (volume kepala meningkat) terjadi akibat penyumbatan cairan serebrospinal (Hidayat, 2011).

d.         Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak
1)     Faktor sebelum lahir, misalnya kekurangan nutrisi pada ibu dan janin.
2)     Faktor ketika lahir, misalnya pendarahan pada kepala bayi yang dikarenakan tekanan dari dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan.
3)     Faktor sesudah lahir, misalnya infeksi pada otak dan selaput otak
4)     Faktor psikologis, misalnya dititipkan dalam panti asuhan sehingga kurang mendapatkan perhatian dan cinta kasih.

2.          Perkembangan
a.         Definisi Perkembangan
Menurut Soetjiningsih (2013) Perkembangan (development) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan/maturitas.
Perkembangan juga dapat didefinisikan sebagai hasil interaksi antara kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, sehingga perkembangan ini berperan penting dalam kehidupan manusia (Nursalam, 2008).
Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan adalah interaksi antara kematangan sel saraf dengan organ yang mengakibatkan bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang bersifat kuantitatif dan kualitatif dengan pola yang teratur.

b.         Pola Perkembangan anak prasekolah
Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti. Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu dapat usia 2-6 tahun, perkembangan pada masa ini merupakan masa perkembangan yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting (Fikriyanti, 2013).

c.         Tahap Perkembangan Anak Prasekolah
Menurut Wong (2008), periode prasekolah dimulai pada usia 3-6 tahun. Periode ini dimulai dari waktu anak bergerak sambil berdiri sampai mereka masuk sekolah dicirikan dengan aktivitas yang tinggi.Pada masa ini merupakan perkembangan fisik dan kepribadian yang pesat, kemampuan interaksi sosial lebih luas, memulai konsep diri, perkembangan motorik berlangsung terus menerus ditandai keterampilan motorik seperti berjalan, berlari dan melompat.

d.         Ciri – Ciri Perkembangan
Menurut Soetjiningsih (2013) ciri-ciri perkembangan anak adalah sebagai berikut:
1)         Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak dari konsepsi sampai maturitas atau dewasa, yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan.
2)         Pola perkembangan anak adalah sama pada semua anak, tetapi kecepatannya berbeda antara anak yang satu dengan yang lain.
3)         Perkembangan erat hubungannya dengan maturasi sistem susunan saraf.
4)         Aktivitas seluruh tubuh diganti respon individu yang khas
5)         Arah perkembangan anak adalah sefalokaudal.
6)         Refleks primitif seperti refleks memegang dan berjalan akan menghilang sebelum gerakan volunter tercapai.

e.         Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak
1)         Faktor warisan sejak lahir.
2)         Faktor lingkungan yang menguntungkan atau yang merugikan.
3)         Peran orang tua dalam membimbing anak belajar
4)         Kematangan fungsi-fungsi organis dan psikis
5)         Aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, bisa menolak atau menyetujui.

f.          Prinsip Pertumbuhan dan Perkembangan
Secara umum pertumbuhan dan perkembangan memiliki beberapa prinsip dalam prosesnya. Prinsip tersebut dapat menentukan ciri atau pola dari pertumbuhan dan perkembangan setiap anak. Menurut Narendra (2002, dalam Hidayat 2005) prinsip-prinsip pertumbuhan dan perkembangan antara lain sebagai berikut :
1)     Proses pertumbuhan dan perkembangan sangat bergantung pada aspek kematangan susunan saraf pada manusia, dimana semakin sempurna atau kompleks kematangan saraf maka semakin sempurna proses pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi mulai dari proses konsepsi sampai dengan dewasa.
2)     Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap individu adalah sama, yaitu mencapai proses kematangan, meskipun dalam proses pencapaian tersebut tidak memiliki kecepatan yang sama antara individu yang satu dengan yang lain.
3)     Proses pertumbuhan dan perkembangan memiliki pola khas yang dapat terjadi mulai dari kepala hingga ke seluruh bagian tubuh mulai dari kemampuan yang sederhana hingga mencapai kemampuan yang lebih kompleks dari tahap pertumbuhan dan perkembangan.

g.         Stimulasi dalam Tumbuh Kembang Anak Prasekolah
Stimulus adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak 0-6 tahun agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Setiap anak perlu mendapatkan stimulus rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Stimulasi tumbuh kembang anak dilakukan oleh ibu dan ayah atau yang merupakan orang terdekat anak (Depkes, 2012).
Menurut Soetjiningsih (2013) beberapa stimulasi yang diperlukan untuk faktor tumbuh kembang anak antara lain sebagai berikut:

1)     Stimulasi aspek fisik
Rangsangan untuk fisik bayi dan balita amat diperlukan, karena pada usia mereka perkembangan syaraf-syaraf motorik sangat pesat. Melakukan gerakan-gerakan sederhana seperti berlari, berjalan, menari akan sangat membantu perkembangan mereka.
2)     Stimulasi aspek emosi
Kenalkan mereka dengan bentuk emosi dasar, bahagia dan sedih. Dengan menghiburnya pada saat menangis karena mainannya rusak akan membantu. Ajari pula mereka untuk berbagi dengan teman sebayanya, misalnya dengan berbagi mainan, sehingga dapat menimbulkan kepekaan untuk bertoleransi dan berperilaku menyenangkan.
3)     Stimulasi aspek spiritual
Ajarilah anak untuk berdoa dengan menggunakan kata-kata yang sederhana, mengucapkan terimakasih kepada Tuhan atas makanan, hari yang indah, dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan hari itu. Akan membuat anak semakin peka. Ajak juga mereka ke tempat ibadah, dan membacakan dongeng dan kisah-kisah para nabi juga akan membantu meningkatkan moral.
4)     Stimulasi aspek intelektual
Rangsangan intelektual dapat dilakukan dengan sering memberikan buku bacaan, mengajak anak melakukan permainan, dan rekreasi bersama, dan juga dengan rajin menjawab keingintahuan anak. Jadi sebagai orangtua juga harus rajin belajar agar sanggup memenuhi dan menjawab keingintahuan anak dengan baik dan benar.
5)     Stimulasi aspek sosial
Anak harus diajari untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya, seperti: membantu menjaga saudaranya (adik), membantu orang tua yang sedang sibuk, akan merangsang kepekaan alaminya.


About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate