I. Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini,
perkembangan sistem pembayaran yang berbasis teknologi telah mengubah secara
signifikan arsitektur sistem pembayaran konvensional yang mengandalkan fisik
uang sebagai instrumen pembayaran. Meski fisik uang sampai saat ini masih
banyak digunakan masyarakat dunia sebagai alat pembayaran, namun sejalan dengan
perkembangan teknologi sistem pembayaran yang pesat, pola pembayaran tunai (cash)
secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (noncash).
Bank Indonesia pun mendorong gerakan less
cash society (LCS) atau penggunaan uang elektronik sebagai pengganti pembayaran
tunai di Indonesia. Walaupun Data BI menyebutkan penguna e-money terkonsentrasi
di kota-kota besar di pulau Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi serta
pemakaiannya masih sekitar sektor transportasi, seperti toll, pompa bensin,
parkir dan transaksi di mini market, namun pengguna Uang Elektronik semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Transaksi Uang Elektronik pun semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat dalam statistik Bank Indonesia,
transaksi uang elektronik telah meningkat dari 17.436.631 transaksi pada tahun
2009 menjadi 535.579.528 transaksi pada tahun 2015 atau meningkat 3071%.
Sedangkan nilai transaksi Uang Elektronik (dalam rupiah) meningkat dari 519.213.000.000 pada tahun 2009 menjadi 5.283.018.000.000
pada tahun 2015 atau nilai transaksi menggunakan Uang Elektronik telah
meningkat sebesar 1017% atau lebih dari 10x lipat.
Hal ini membuktikan bahwa produk Uang
Elektronik merupakan sesuatu yang dipandang sangat penting bagi masyarakat
Indonesia saat ini. Beberapa kebijakan pemerintah, Bank Indonesia, maupun
perusahaan jasa transportasi Indonesia ikut menggalakkan penggunaan uang
elekronik ini. Kebijakan Bank Indonesia yang menggalakkan produk Uang
Elektronik ini adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomer 11 Tahun 2009
tentang Uang Elektronik dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tahun 2009
tentang Uang Elektronik (electronic money).
Beberapa kebijakan jasa transportasi umum
yang familiar adalah Transjakarta dan KRL Commuter Line yang dapat
menggunakan Uang Elektronik. Bahkan pada moda transportasi Transjakarta,
seluruh koridor wajib menggunakan Uang Elektronik dan tidak boleh lagi
menggunakan uang tunai, hal ini ikut
menambah jumlah pengguna dari produk uang elektronik ini. Sektor jasa lain juga
menuntut untuk menggunakan uang elektronik agar bisa mendapatkan pelayanan yang
terbaik, seperti pembayaran Jalan Tol, pembayaran di SPBU, Minimarket dan
lain-lain. Hal ini untuk mempermudah bertransaksi dalam segi waktu transaksinya
yang sangat singkat, tidak perlu lagi menyiapkan uang kembalian, hingga
mempermudah pengelola merchant untuk mengawasi uang yang masuk.
Ada
beberapa masalah kesyariahan jika produk tersebut dikelola oleh perbankan
konvensional maupun institusi keuangan non syariah lain. Seperti permasalahan
dana float atau dana yang berasal dari pembelian fisik kartu maupun
saldo yang tersisa dalam kartu selama belum terpakai dapat dimanfaatkan oleh
perbankan konvensional untuk mengembangkan bisnisnya.
Walaupun
dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tentang uang elektronik disebutkan
bahwa penerbit tidak dapat menggunakan dana float tersebut untuk
kepentingan diluar kewajiban penerbit dengan pengguna dan merchant,
namun pada saat bank umum konvensional bertindak sebagai tempat penyimpanan
dana float tersebut, dana float tersebut yang khususnya bersumber
dari sisa saldo yang tidak dapat ditransaksikan (under limit) dapat
digunakan untuk keperluan bisnisnya yang notabene berjalan dengan prinsip
ribawi yang bertentangan dengan prinsip syariah. Setelah itu, uang elektronik
ini dapat digunakan untuk keperluan non syariah. Pembelian minuman keras dan
akses ketempat hiburan terlarang menggunakan
produk uang elektronik ini dapat menjadi permasalahan syariah tambahan
dimana produk ini digunakan pada keperluan yang tidak sesuai syariah.
Prinsip
syariah pada dasarnya terbagi menjadi 2, yaitu kaidah prinsip syariah dalam
bidang ibadah, maupun prinsip syariah dalam bidang muamalah. Prinsip syariah
muamalah merupakan suatu prinsip hukum Islam dalam kegiatan muamalah (interaksi
sesama manusia) yang didasari pada Al-Quran dan As-Sunnah. Menurut UU No 21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah, prinsip syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
II. Pembahasan dan penomena
Industri
perbankan secara signifikan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.
Pertumbuhan aplikasi jaringan kemputerisasi perbankan mengurangi biaya
transaksi dan meningkatkan kecepatan layanan secara substansial.113 Sifat
perantara membuat bank-bank meningkatkan teknologi produksi mereka dengan
berfokus pada distributor produk, sehingga perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi saat ini telah mendorong perkembangan alat pembayaran menggunakan
kartu (Kartu Kredit, Kartu Debit, Kartu ATM), dan kartu prabayar berbasis
elektronik (Uang Elektronik/e-money).
Perkembangan
alat industri berbasis kartu sangat cepat, karena selain lebih efisien dalam
penggunaannya juga dapat meningkatkan perekonomian Negara. Disisi lain,
perkembangan uang elektronik dapat digunakan sebagai alternative alat
pembayaran non tunai yang dapat menjangkau masyarakat yang selama ini belum
mempunyai akses kepada sistem perbankan. Mengingat alat pembayaran berbasis
kartu dan uang elektronik memiliki fungsi seperti uang, maka untuk memberikan
perlindungan kepada pemegang, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
instrument pembayaran, dan mendukung kelencaran tugas Otoritas Jasa Keuangan
dalam melakukan pengawasan terhadap sector jasa keuangan, namun selalu terkait
dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Berikut adalah defenisi Uang Elektronik (e-money) dari
beberapa sumber.
a. Uang Elektronik adalah sistem pembayaran secara
elektronik yang dipergunakan untuk transaksi oline,yakni elemen digital
yang dibuat dan dapat digunakan sebagai uang. b. Uang elektronik adalah stured-value
atau prepaid, dimana sejumlah nilai uang (monetary value) tersimpan
dalam peralatan elektronik. Nominal uang yang tersimpan secara elektronik
dilakukan dengan menukar sejumlah uang atau melalui pendebitan rekening bank
lalu disimpan dalam peralatan elektronis. Dengan alat elektronik yang sudah
tersimpan dana nasabah dapan melakukan berbagai transaksi.
c. Electronic Money (E-money) dikenal dengan
nama Electronic Cash, Electronic Currency, Digital Money, Digital
Cash, atau Digital Currency adalah alat pembayaran yang menggunakan
elektronik sebagai media. E-money sebagai alat pembayaran yang mana
nilai uangnya tersimpan dalam media elektronik.
d. Defenisi Uang Elektronik atau e-money sendiri
menurut Bank Indonesia adalah segala bentuk jenis uang yang dapat diakses
secara online dan tersimpan di sebuah server atau kartu chip (microchip
di dalam kartu ATM, kartu Kredit, kartu debit, Uang Elektronik).benda yang
masuk dalam kategori uang modern ini dapat dipergunakan untuk segala macam kebutuhan transaksi termasuk pembayaran,
tagihan kartu kredit, pembayaran asuransi hingga penarikan uang secara tunai.
e. Bank Sentral Eropa memberikan defenisi singkat yang
baik dari uang elektronik “ uang elektronik secara luas didefenisikan sebagai
toko elektronik nilai moneter pada perangkat teknis yang mungkin banyak
digunakan untuk melakukan pembayaran kepada usaha selain penerbit tanpa harus
melibatkan rekening bank di transaksi, tetapi bertindak sebagai instrument
pembawa prabayar.
Bank
Sentral Eropa tahun 2000 dalam jurnal Reynolds Griffith, Stephen F. Austin
State University, menjelaskan bahwa uang elektronik memiliki nilai
tersimpan atau prabayar, dimana sejumlah nilai uang disimpan dalam suatu media
elektronis yang dimiliki seseorang. Nilai uang dalam e-money dapat
digunakan untuk berbagai jenis pembayaran (multipurpose) dan berbeda
dengan instrument single purpose seperti kartu telepon. Penggunaan uang
elektronik sebagai alat pembayaran dapat memberikan kemudahan dan kecepatan
dalam melakukan transaksi-transaksi pembayaran tanpa perlu membawa uang tunai.
Uang elektronik sangat bermanfaat untuk melakukan transaksi masal yang bernilai
kecil, namun frekuensinya tinggi, seperti: Transportasi, parker, tol, fast
food, dan pembayaran-pembayaran lainnya.
Dalam
peraturan Bank Indonesia Nomor.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan uang elektronik (Electronic Money) adalah
alat pemabayarn yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Diterbitkan atas dasar uang yang disetor terlebih
dahulu oleh pemegang kepada penerbit;
b. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu
media seperti server atau chip;
c. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang
bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut, dan
d. Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit
bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai perbankan.
Uang
elektronik (e-money) pada awalnya dikenal dengan sebutan kartu
penyimpanan dana (stored Value Card) yaitu sebuah kartu yang berfungsi
untuk menyimpan sebuah dana dalam jumlah yang didepositkan. Fungsinya hampir
sama dengan kartu debit, namun kartu penyimpanan dana tidak menyimpan identitas
dari pengguna atau pemegang kartu.
Dilihat
dari media yang digunakan, ada dua tipe produk uang elektronik (e-money) yaitu:
1. Prepaid Card/kartu
prabayar/electronic purses, dengan karakteristik :
a. Nilai uang dikonversi
menjadi nilai elektronik dan disimpan dalam suatu chip, yang tertanam dalam
kartu;
b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan dengan cara
memasukan kartu ke suatu alat card reader.
2. Prepaid software/digital
cash, dengan karakteristik :
a. Nilai uang dikonversikan
menjadi nilai elektronik dan disimpan dalam suatu hard disk computer
yang terdapat dalam Personal Computer (PC);
b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan secara online
melalui suatu jaringan komunikasi seperti internet, pada saat melakukan
pembayaran.
Penerbit
dapat menerbitkan jenis uang elektronik yang mewajibkan pendaftaran data
identitas pemegang (registered), dan jenis uang elektronik yang tidak
memerlukan pendaftaran data identitas pemegang (unregistered). Pencatatan
data identitas pemegang uang elektronik paling sedikit memuat nama, alamat,
tanggal lahir, dan data lain tercantum pada buku identitas pemegang. Perolehan
data identitas pemegang dilakukan dengan menyediakan sarana atau formulir
aplikasi yang harus diisi calon pemegang disertai fotokopi identitas calon
pemegang. Keharusan pengisian data pemegang diperuntukan bagi pemegang yang
baru pertama kali mengajukan sebagai pemegang dan penerbit sama sekali belum
mempunyai data lengkap, benar dan akurat mengenai identitas pemegang.
Menurut Fatwa DSN MUI No. 116/DSN-MUI/IX/20I7 Uang
elektronik boleh digunakan sebagai alat pembayaran dengan mengikuti ketentuan
yang terdapat dalam fatwa ini. Ketentuan
terkait Akad dan Personalia Hukum
1. Akad antara penerbit dengan pemegang
uang elektronik adalah akad wadi'ah atau akad qardh.
a. Dalam hal akad yang digunakan adalah
akad wadi'ah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wadi'ah sebagai berikut:
1) Jumlah nominal uang elektronik bersifat
titipan yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja;
2) Jumlah nominal uang elektronik yang
dititipkan tidak boleh digunakan oleh penerima titipan (penerbit), kecuali atas
izin pemegang kartu;
3) Dalam hal jumlah nominal uang elektronik
yang dititipkan digunakan oleh penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad
titipan (wadiah) berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab
penerima titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.
4) Otoritas terkait wajib membatasi
penerbit dalam penggunaan dana titipan dari pemegang kartu (dana float).
5) Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan pemndang-undangan.
b. Dalam hal akad yang digunakan adalah
akad qardh, maka berlaku ketentuan dan batasan akad qardh sebagai berikut:
1) Jumlah nominal uang elektronik bersifat
hutang yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja.
2) Penerbit dapat menggunakan
(menginvestasikan) uang hutang dari pemegang uang elektronik.
3) Penerbit wajib mengembalikan jumlah
pokok piutang Pemegang uang elektronik kapan saja sesuai kesepakatan;
4) Otoritas terkait wajib membatasi
penerbit dalam penggunaan dana pinjaman (utang) dari pemegang kartu (dana
float).
5) Penggunaan dana oleh penerbit tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
2. Di antara akad yang dapat digunakan penerbit
dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer,
Pedagang (merchant), penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir)
adalah akad ijorah, akad ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.
a. Dalam hal akad yang digunakan akad
ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat
dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah. Pada
konteks uang elektronik, Akad Ijarah digunakan dalam hal terdapat
transaksi sewa menyewa atas perlengkapan/peralatan dan atau terdapat pelayanan
jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik. Akad ijarah juga dapat
dipakai dalam pembayaran upah menyangkut biaya registrasi maupun kepesertaan merchant
(pedagang) kepada penerbit, maupun biaya isi ulang uang elektronik di luar
nominal pengisian saldo utama.
b. Dalam hal akad yang digunakan akad
ju'alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju'alah sebagaimana terdapat
dalam DSN-MUI Nomor: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah.
c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi
al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah
sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah
bi al-Ujrah. Akad Wakalah digunakan dalam hal penerbit
bekerjasama dengan pihak lain sebagai agen penerbit (Co-Branding)
dan/atau terdapat bentuk perwakilan lain dalam transaksi uang elektronik. Akad wakalah
juga diterapkan dalam pembayaran kepada merchant (pedagang) dimana penerbit
dapat mewakili pemegang kartu dalam membayar transaksinya maupun sebaliknya
tergantung pada jenis uang elekronik yang diterbitkan.
3. Di antara akad yang dapat digunakan
antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad
ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.
a. Dalam hal akad yang digunakan akad
ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat
dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah.
b. Dalam hal akad yang digunakan akad
ju'alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju'alah sebagaimana terdapat
dalam DSN-MUI Nomor: 62IDSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah.
c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah
bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah
sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah
bi al-Ujrah.
Dalam
penyelenggaraan uang elektronik, penerbit dapat mengenakan biaya layanan
fasilitas uang elektronik kepada pemegang dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Biaya-biaya layanan fasilitas harus
berupa biaya riil untuk mendukung proses kelancaran penyelenggaraan uang
elektronik; dan
2. Pengenaan biaya-biaya iayanan fasilitas
harus disampaikan kepada pemegang kartu secara benar sesuai syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan
dan penggunaan uang elektronik wajib terhindar dari :
1. Transaksi yang ribawi, gharar, maysir,
tadlis, risywah, dan israf:, dan
2. Transaksi atas objek yang haram atau
maksiat.
Mengenai
profil dari uang elektronik, antara lain memuat informasi :
1. Merek (brand name) yang digunakan ;
2. Spesifikasi teknis yang paling kurang memuat
informasi mengenai media penyimpanan data elektronik dan fitur keamanan (security
features);
3. Mekanisme pengelolaan uang elektronik yang memuat
informasi mengenai penerbit, pengisian ulang, redeem, dan penagihan oleh
pedagang (merchant), penyelenggaraan kliring, dan Penyelenggaraan
penyelesaian akhir jika ada, dan
4. Mekanisme pengelolaan Dana Float.
Pada
umumnya setiap peluncuran produk dari Lembaga Keuangan Syariah menggunakan
terminologi atau nomenklatur akad syariah dalam syarat dan ketentuan produk.
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015, Akad Syariah
adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Akad
ini adalah suatu hal yang penting dalam ilmu Ekonomi Islam karena akad inilah
yang menjadi dasar berlakunya suatu perjanjian. Akad juga menjadi pembeda
mekanisme berjalannya produk menggunakan suatu skema tertentu yang dikenal
dalam dunia Ekonomi Islam.
Dalam
Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan
Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah pada pasal 2 menyebutkan bahwa, dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana Bank wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan wajib ditegaskan jenis transaksi syariah yang
digunakan. Bahkan pada pasal 21 juga dijelaskan sanksi bagi bank jika tidak
melaksanakan ketentuan tersebut berupa teguran tertulis hingga penggantian pengurus.
Dalam
syarat dan ketentuan produk E-Money tidak tertera nomenklatur akad syariah
apapun. Nomenklatur akad juga tidak ditemukan dalam manual book yang diberikan
kepada pemegang dan juga tidak ditemukan nomenklatur akad syariah dalam media
informasi resmi lain seperti website, annual report, dan laporan Good
Corporate Governance (GCG) dari Bank.
Walaupun
tidak terdapat nomenklatur akad dalam operasional, namun secara garis besar
operasional produk ini cenderung menggunakan akad sharf atau akad tukar
menukar mata uang sebagai akad utama. Selain akad sharf, produk ini juga
di dukung oleh akad lain yaitu akad jual beli biasa (al-bay’),
dan akad Ijarah. Akad Sharf dapat diidentifikasi dari produk ini
karena secara keseluruhan produk ini mirip dengan ketentuan dan jenis dari Akad
Sharf ini sebagaimana yang telah tertuang dalam Fatwa DSN MUI No. 28 tahun 2002
tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Berikutnya
adalah akad jual beli biasa (al-bay’). Rukun
jual beli itu ada empat, yaitu: (1) Akad (ijab qabul), (2) Orang-orang
yang berakad (al-aqidain), (3) Terdapat barang/obyek jual beli (ma’qud
alaih), (4) Ada alat tukar pengganti barang. Sedangkan
syarat sahnya jual beli adalah para subyek yang berakad harus berakal sehat,
dewasa (baligh), dan atas kemauan sendiri atau tanpa paksaan.
Menurut
Fatwa DSN MUI No. 82 tahun 2011, ketentuan mengenai perdagangan (jual beli)
adalah: (1) Barang harus halal dan tidak dilarang perundang-undangan, (2)
jenis, kualitas, kuantitas, dan harga barang yang diperdagangkan harus jelas,
(3) barang yang diperdagangkan harus sudah ada (wujud) dan dapat
diserahterimakan secara fisik, (4) penjual harus memiliki barang atau menjadi
wakil dari pihak lain yang memiliki barang, (5) penjual wajib menyerahkan
barang yang dijual kepada pembeli dengan tata cara dan waktu sesuai
kesepakatan, (6) pembeli wajib membayar barang yang dibeli kepada penjual
dengan tatacara dan waktu sesuai kesepakatan, (7) pembeli boleh menjual barang
tersebut kepada selain penjual sebelumnya hanya setelah terjadi qabdh haqiqi
(penguasaan barang secara mutlak) atau qabdh hukmi (penguasaan
barang secara hukum) atas barang tersebut.
Dalam
mekanisme pembelian Kartu E-Money, telah terpenuhi rukun dan syarat sahnya
yaitu penerbit sebagai penjual (ba i’) dan
pemegang sebagai pembeli (musytari), obyek jual beli (ma’qud
alaih) berupa fisik kartu E-Money, dan alat tukarnya yaitu
uang rupiah. Sedangkan dalam pembuatan kartunya, calon pemegang kartu harus
berakal sehat, dewasa, dan atas kemauan sendiri. Semua ketentuan yang ada dalam
fatwa tersebut juga tidak ada yang bertentangan dengan jual beli fisik kartu
E-Money. Fisik kartunya adalah barang halal dan diperbolehkan
perundangan-undangan, jelas jenis, kualitas, kuantitas dan harga barangnya,
serta diserahterimakan langsung saat akad.
Namun
penggunaan akad jual beli ini memiliki kelemahan konseptual, di mana dalam
konsep jual beli, barang yang telah di beli telah berpindah kepemilikannya dari
penjual ke pembeli yang mengakibatkan hilangnya kekuasaan penjual terhadap
barang tersebut.1 Dalam praktik Kartu E-Money, ketika pemegang telah membeli
kartu tersebut tidak serta merta penerbit sebagai penjualnya terlepas
hubungannya dengan barang tersebut, namun penerbit masih memiliki
kewajiban-kewajiban seperti penyelesaian transaksi dan tagihan kepada pedagang
(merchant). Ini menandakan dalam jual beli ini belum terjadi perpindahan kepemilikan
yang sempurna dan penerbit masih memiliki hubungan dengan obyek tersebut.
Berikutnya
adalah akad Ijarah. Akad Ijarah (pengupahan) dapat
diidentifikasikan dalam produk ini yaitu dalam setiap transaksi yang
mendatangkan keuntungan berupa fee base income Bank, diantaranya adalah
pada pengambilan biaya administrasi saat pengisian ulang (top up) kartu.
Dalam mekanisme ini, tidak ada yang dilanggar sebagaimana yang telah tertulis
dalam fatwa tentang ijarah pada bab 2. Obyek manfaatnya jelas dan tidak
diharamkan, manfaat dari jasanya dapat dinilai dan dilaksanakan dalam kontrak,
manfaatnya dapat dikenali dengan jelas dan spesifik serta sewa atau upah juga
jelas diketahui dan dibayarkan atas penggunaan manfaat berupa jasa.
Meskipun
sebagai media atau alat pembayaran, uang elektronik itu bersifat netral atau
penggunaannya adalah sangat tergantung kepada pemiliknya, namun ketika
penggunaannya dapat dibatasi karena alasan syariah maka seharusnya hal tersebut
dapat dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah sebagaimana Lembaga Keuangan
Syariah dapat membatasi (hudud) pihak yang bekerjasama dengan pihaknya dengan
cara memberikan persyaratan-persyaratan (dhawabith) bagi pedagang
(merchant) yang ingin bergabung.
Hal
ini yang menjadi kesimpulan dari kajian yang dilakukan antara Bank Indonesia
dan Dewan Syariah Nasional yaitu dasar hukum uang elektronik seharusnya
mengatur ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) agar uang elektronik
berjalan berdasarkan prinsip syariah seperti tidak boleh menimbulkan gharar,
riba dan tadlis, serta tidak digunakan untuk transaksi obyek yang
haram dan maksiyat, dan tidak mendorong israf (pengeluaran yang
berlebihan).
Hal
ini juga diperkuat sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Bank Syariah Pasal 2
bahwa kegiatan usaha perbankan syariah dibatasi agar tidak memenuhi unsur riba,
maisir, gharar, haram dan zhalim.
III. Kesimpulan
Uang
Elektronik yang Nilai Uang Elektroniknya selain dicatat pada media elektronik
yang dikelola oleh Penerbit juga dicatat pada media elektronik yang dikelola
oleh Pemegang (Berdasarkan Media Penyimpanannya). Reloadable atau dapat diisi ulang
berkali-kali (Berdasarkan Masa Berlaku Media Uang Elektronik). Multi-purpose yaitu dapat
digunakan untuk melakukan berbagai pembayaran (Berdasarkan Jangkauan
Penggunaannya). Unregistered yaitu
uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya tidak terdaftar dan tidak
tercatat pada Penerbit (Berdasarkan
Data Identitas Pemegangnya).
Uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam
PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang uang elektronik pada prinsipnya sudah dapat
diimplementasikan dalam perbankan syariah, jenis akad yang dapat
diimplementasikan dalam produk tersebut menurut akad fiqh muamalah adalah
menggunakan akad Sharf sebagai akad utama, dan akad ijarah serta wakalah
sebagai akad pendukung dalam hubungannya dengan pedagang maupun pemegang
kartu, prinsip-prinsip syariah yang harus ditetapkan dalam uang elektronik
adalah tidak boleh mengandung masysir, riba, tidak mendorong israf (pengeluaran
berlebihan), dan tidak digunakan untuk transaksi objek haram dan maksiat.
Prinsip syariah pada dasarnya terbagi menjadi
2, yaitu kaidah prinsip syariah dalam bidang ibadah, maupun prinsip syariah
dalam bidang muamalah. Prinsip syariah muamalah merupakan suatu prinsip hukum Islam
dalam kegiatan muamalah (interaksi sesama manusia) yang didasari pada Al-Quran
dan As-Sunnah. Menurut UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, prinsip
syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah.
Dari tinjauan prinsip syariah, terdapat
permasalahan syariah pada aspek akad, hal ini dikarenakan produk ini tidak
memiliki nomenklatur akad dalam operasional produk yang menimbukan
ketidakjelasan (gharar) dalam kontrak berdasarkan prinsip Akad Syariah,
serta dari aspek transaksi karena bank tidak melakukan pembatasan atau
kontrol terhadap barang yang dijual oleh merchant yang bekerjasama
dengan bank sehingga dikhawatirkan dapat digunakan untuk membeli barang-barang
non halal. Yang menjadi objek pengawasan dari dewan syariah mencakup produk
uang elektronik, akad yang dilakukan dan ketentuan biaya layanan fasilitas uang
elektronik.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan artikel ini khususnya pada dosen pengampu mata kuliah ini
serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Referensi
[1]
Diakses dari http://www.bi.go.id/id/statistik/sistempembayaran/
uangelektronik/Contents /Jumlah%20Uang%20Elekt ronik.aspx pada 24 Agustus 2018
[2]
Badrus Soleh, Paper Hasil Kajian E-Money dalam
Perspektif Islam, (Jakarta: Lingkar Studi Ekonomi Islam, 2016)
[3]
Bank For International Settelments, Implications
For Central Bank Of The Development Of Electronic Money, (Basel: BIS, 1996)
[4] Penjelasan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009, Tentang Uang Elektronik,
[5]
Veithal Rivai, Dkk, Bank And Financial
Institution Management, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
[6]
Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah,
(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),
[7]
Kajian Bersama Uang Elektronik Ditinjau Dari
Kesesuaian Prinsip-Prinsip Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia dan Dewan Syariah
Nasional, 2016),
[8]
Sutan Remy Sjahdiyni, Perbankan Islam dan
Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1999),
[9] Fatwa DSN-MUI No
116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah.
[10] Mohd Noor Omar,
dkk, “E-Money in Malaysia: Shariah and Economic Analysis”, Working Paper
In Islamic Economic And Finance, No. 1224 (Juli 2012)
No comments:
Post a Comment