Monday, December 31, 2018

Objek Pengawasan Syariah Tentang Uang Elektronik

I.      Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan sistem pembayaran yang berbasis teknologi telah mengubah secara signifikan arsitektur sistem pembayaran konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran. Meski fisik uang sampai saat ini masih banyak digunakan masyarakat dunia sebagai alat pembayaran, namun sejalan dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran yang pesat, pola pembayaran tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (noncash).
Bank Indonesia pun mendorong gerakan less cash society (LCS) atau penggunaan uang elektronik sebagai pengganti pembayaran tunai di Indonesia. Walaupun Data BI menyebutkan penguna e-money terkonsentrasi di kota-kota besar di pulau Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi serta pemakaiannya masih sekitar sektor transportasi, seperti toll, pompa bensin, parkir dan transaksi di mini market, namun pengguna Uang Elektronik semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Transaksi Uang Elektronik pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat dalam statistik Bank Indonesia, transaksi uang elektronik telah meningkat dari 17.436.631 transaksi pada tahun 2009 menjadi 535.579.528 transaksi pada tahun 2015 atau meningkat 3071%. Sedangkan nilai transaksi Uang Elektronik (dalam rupiah) meningkat dari  519.213.000.000 pada tahun 2009 menjadi 5.283.018.000.000 pada tahun 2015 atau nilai transaksi menggunakan Uang Elektronik telah meningkat sebesar 1017% atau lebih dari 10x lipat.
Hal ini membuktikan bahwa produk Uang Elektronik merupakan sesuatu yang dipandang sangat penting bagi masyarakat Indonesia saat ini. Beberapa kebijakan pemerintah, Bank Indonesia, maupun perusahaan jasa transportasi Indonesia ikut menggalakkan penggunaan uang elekronik ini. Kebijakan Bank Indonesia yang menggalakkan produk Uang Elektronik ini adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomer 11 Tahun 2009 tentang Uang Elektronik dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tahun 2009 tentang Uang Elektronik (electronic money).
Beberapa kebijakan jasa transportasi umum yang familiar adalah Transjakarta dan KRL Commuter Line yang dapat menggunakan Uang Elektronik. Bahkan pada moda transportasi Transjakarta, seluruh koridor wajib menggunakan Uang Elektronik dan tidak boleh lagi menggunakan uang  tunai, hal ini ikut menambah jumlah pengguna dari produk uang elektronik ini. Sektor jasa lain juga menuntut untuk menggunakan uang elektronik agar bisa mendapatkan pelayanan yang terbaik, seperti pembayaran Jalan Tol, pembayaran di SPBU, Minimarket dan lain-lain. Hal ini untuk mempermudah bertransaksi dalam segi waktu transaksinya yang sangat singkat, tidak perlu lagi menyiapkan uang kembalian, hingga mempermudah pengelola merchant untuk mengawasi uang yang masuk.
Ada beberapa masalah kesyariahan jika produk tersebut dikelola oleh perbankan konvensional maupun institusi keuangan non syariah lain. Seperti permasalahan dana float atau dana yang berasal dari pembelian fisik kartu maupun saldo yang tersisa dalam kartu selama belum terpakai dapat dimanfaatkan oleh perbankan konvensional untuk mengembangkan bisnisnya.
Walaupun dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tentang uang elektronik disebutkan bahwa penerbit tidak dapat menggunakan dana float tersebut untuk kepentingan diluar kewajiban penerbit dengan pengguna dan merchant, namun pada saat bank umum konvensional bertindak sebagai tempat penyimpanan dana float tersebut, dana float tersebut yang khususnya bersumber dari sisa saldo yang tidak dapat ditransaksikan (under limit) dapat digunakan untuk keperluan bisnisnya yang notabene berjalan dengan prinsip ribawi yang bertentangan dengan prinsip syariah. Setelah itu, uang elektronik ini dapat digunakan untuk keperluan non syariah. Pembelian minuman keras dan akses ketempat hiburan terlarang menggunakan  produk uang elektronik ini dapat menjadi permasalahan syariah tambahan dimana produk ini digunakan pada keperluan yang tidak sesuai syariah.
Prinsip syariah pada dasarnya terbagi menjadi 2, yaitu kaidah prinsip syariah dalam bidang ibadah, maupun prinsip syariah dalam bidang muamalah. Prinsip syariah muamalah merupakan suatu prinsip hukum Islam dalam kegiatan muamalah (interaksi sesama manusia) yang didasari pada Al-Quran dan As-Sunnah. Menurut UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.


II.   Pembahasan dan penomena
Industri perbankan secara signifikan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Pertumbuhan aplikasi jaringan kemputerisasi perbankan mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan kecepatan layanan secara substansial.113 Sifat perantara membuat bank-bank meningkatkan teknologi produksi mereka dengan berfokus pada distributor produk, sehingga perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah mendorong perkembangan alat pembayaran menggunakan kartu (Kartu Kredit, Kartu Debit, Kartu ATM), dan kartu prabayar berbasis elektronik (Uang Elektronik/e-money).
Perkembangan alat industri berbasis kartu sangat cepat, karena selain lebih efisien dalam penggunaannya juga dapat meningkatkan perekonomian Negara. Disisi lain, perkembangan uang elektronik dapat digunakan sebagai alternative alat pembayaran non tunai yang dapat menjangkau masyarakat yang selama ini belum mempunyai akses kepada sistem perbankan. Mengingat alat pembayaran berbasis kartu dan uang elektronik memiliki fungsi seperti uang, maka untuk memberikan perlindungan kepada pemegang, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap instrument pembayaran, dan mendukung kelencaran tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan pengawasan terhadap sector jasa keuangan, namun selalu terkait dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Berikut adalah defenisi Uang Elektronik (e-money) dari beberapa sumber.
a. Uang Elektronik adalah sistem pembayaran secara elektronik yang dipergunakan untuk transaksi oline,yakni elemen digital yang dibuat dan dapat digunakan sebagai uang. b. Uang elektronik adalah stured-value atau prepaid, dimana sejumlah nilai uang (monetary value) tersimpan dalam peralatan elektronik. Nominal uang yang tersimpan secara elektronik dilakukan dengan menukar sejumlah uang atau melalui pendebitan rekening bank lalu disimpan dalam peralatan elektronis. Dengan alat elektronik yang sudah tersimpan dana nasabah dapan melakukan berbagai transaksi.
c. Electronic Money (E-money) dikenal dengan nama Electronic Cash, Electronic Currency, Digital Money, Digital Cash, atau Digital Currency adalah alat pembayaran yang menggunakan elektronik sebagai media. E-money sebagai alat pembayaran yang mana nilai uangnya tersimpan dalam media elektronik.
d. Defenisi Uang Elektronik atau e-money sendiri menurut Bank Indonesia adalah segala bentuk jenis uang yang dapat diakses secara online dan tersimpan di sebuah server atau kartu chip (microchip di dalam kartu ATM, kartu Kredit, kartu debit, Uang Elektronik).benda yang masuk dalam kategori uang modern ini dapat dipergunakan untuk segala macam  kebutuhan transaksi termasuk pembayaran, tagihan kartu kredit, pembayaran asuransi hingga penarikan uang secara tunai.
e. Bank Sentral Eropa memberikan defenisi singkat yang baik dari uang elektronik “ uang elektronik secara luas didefenisikan sebagai toko elektronik nilai moneter pada perangkat teknis yang mungkin banyak digunakan untuk melakukan pembayaran kepada usaha selain penerbit tanpa harus melibatkan rekening bank di transaksi, tetapi bertindak sebagai instrument pembawa prabayar.
Bank Sentral Eropa tahun 2000 dalam jurnal Reynolds Griffith, Stephen F. Austin State University, menjelaskan bahwa uang elektronik memiliki nilai tersimpan atau prabayar, dimana sejumlah nilai uang disimpan dalam suatu media elektronis yang dimiliki seseorang. Nilai uang dalam e-money dapat digunakan untuk berbagai jenis pembayaran (multipurpose) dan berbeda dengan instrument single purpose seperti kartu telepon. Penggunaan uang elektronik sebagai alat pembayaran dapat memberikan kemudahan dan kecepatan dalam melakukan transaksi-transaksi pembayaran tanpa perlu membawa uang tunai. Uang elektronik sangat bermanfaat untuk melakukan transaksi masal yang bernilai kecil, namun frekuensinya tinggi, seperti: Transportasi, parker, tol, fast food, dan pembayaran-pembayaran lainnya.
Dalam peraturan Bank Indonesia Nomor.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik menyatakan bahwa yang dimaksud dengan uang elektronik (Electronic Money) adalah alat pemabayarn yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Diterbitkan atas dasar uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit;
b. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip;
c. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut, dan
d. Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Uang elektronik (e-money) pada awalnya dikenal dengan sebutan kartu penyimpanan dana (stored Value Card) yaitu sebuah kartu yang berfungsi untuk menyimpan sebuah dana dalam jumlah yang didepositkan. Fungsinya hampir sama dengan kartu debit, namun kartu penyimpanan dana tidak menyimpan identitas dari pengguna atau pemegang kartu.
Dilihat dari media yang digunakan, ada dua tipe produk uang elektronik (e-money) yaitu:
1. Prepaid Card/kartu prabayar/electronic purses, dengan karakteristik :
a. Nilai uang dikonversi menjadi nilai elektronik dan disimpan dalam suatu chip, yang tertanam dalam kartu;
b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan dengan cara memasukan kartu ke suatu alat card reader.
2. Prepaid software/digital cash, dengan karakteristik :
a. Nilai uang dikonversikan menjadi nilai elektronik dan disimpan dalam suatu hard disk computer yang terdapat dalam Personal Computer (PC);
b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan secara online melalui suatu jaringan komunikasi seperti internet, pada saat melakukan pembayaran.
Penerbit dapat menerbitkan jenis uang elektronik yang mewajibkan pendaftaran data identitas pemegang (registered), dan jenis uang elektronik yang tidak memerlukan pendaftaran data identitas pemegang (unregistered). Pencatatan data identitas pemegang uang elektronik paling sedikit memuat nama, alamat, tanggal lahir, dan data lain tercantum pada buku identitas pemegang. Perolehan data identitas pemegang dilakukan dengan menyediakan sarana atau formulir aplikasi yang harus diisi calon pemegang disertai fotokopi identitas calon pemegang. Keharusan pengisian data pemegang diperuntukan bagi pemegang yang baru pertama kali mengajukan sebagai pemegang dan penerbit sama sekali belum mempunyai data lengkap, benar dan akurat mengenai identitas pemegang.
Menurut Fatwa DSN MUI No. 116/DSN-MUI/IX/20I7 Uang elektronik boleh digunakan sebagai alat pembayaran dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini. Ketentuan  terkait Akad dan Personalia Hukum
1. Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi'ah atau akad qardh.
a. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad wadi'ah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wadi'ah sebagai berikut:
1) Jumlah nominal uang elektronik bersifat titipan yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja;
2) Jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu;
3) Dalam hal jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadiah) berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.
4) Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana titipan dari pemegang kartu (dana float).
5) Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan pemndang-undangan.
b. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad qardh, maka berlaku ketentuan dan batasan akad qardh sebagai berikut:
1) Jumlah nominal uang elektronik bersifat hutang yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja.
2) Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan) uang hutang dari pemegang uang elektronik.
3) Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok piutang Pemegang uang elektronik kapan saja sesuai kesepakatan;
4) Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana pinjaman (utang) dari pemegang kartu (dana float).
5) Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
2. Di antara akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, Pedagang (merchant), penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir) adalah akad ijorah, akad ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.
a. Dalam hal akad yang digunakan akad ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah. Pada konteks uang elektronik, Akad Ijarah digunakan dalam hal terdapat transaksi sewa menyewa atas perlengkapan/peralatan dan atau terdapat pelayanan jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik. Akad ijarah juga dapat dipakai dalam pembayaran upah menyangkut biaya registrasi maupun kepesertaan merchant (pedagang) kepada penerbit, maupun biaya isi ulang uang elektronik di luar nominal pengisian saldo utama.
b. Dalam hal akad yang digunakan akad ju'alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju'alah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah.
c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bi al-Ujrah. Akad Wakalah digunakan dalam hal penerbit bekerjasama dengan pihak lain sebagai agen penerbit (Co-Branding) dan/atau terdapat bentuk perwakilan lain dalam transaksi uang elektronik. Akad wakalah juga diterapkan dalam pembayaran kepada merchant (pedagang) dimana penerbit dapat mewakili pemegang kartu dalam membayar transaksinya maupun sebaliknya tergantung pada jenis uang elekronik yang diterbitkan.
3. Di antara akad yang dapat digunakan antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.
a. Dalam hal akad yang digunakan akad ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah.
b. Dalam hal akad yang digunakan akad ju'alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju'alah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 62IDSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah.
c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bi al-Ujrah.
Dalam penyelenggaraan uang elektronik, penerbit dapat mengenakan biaya layanan fasilitas uang elektronik kepada pemegang dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Biaya-biaya layanan fasilitas harus berupa biaya riil untuk mendukung proses kelancaran penyelenggaraan uang elektronik; dan
2. Pengenaan biaya-biaya iayanan fasilitas harus disampaikan kepada pemegang kartu secara benar sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan dan penggunaan uang elektronik wajib terhindar dari :
1. Transaksi yang ribawi, gharar, maysir, tadlis, risywah, dan israf:, dan
2. Transaksi atas objek yang haram atau maksiat.
Mengenai profil dari uang elektronik, antara lain memuat informasi :
1. Merek (brand name) yang digunakan ;
2. Spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi mengenai media penyimpanan data elektronik dan fitur keamanan (security features);
3. Mekanisme pengelolaan uang elektronik yang memuat informasi mengenai penerbit, pengisian ulang, redeem, dan penagihan oleh pedagang (merchant), penyelenggaraan kliring, dan Penyelenggaraan penyelesaian akhir jika ada, dan
4. Mekanisme pengelolaan Dana Float.
Pada umumnya setiap peluncuran produk dari Lembaga Keuangan Syariah menggunakan terminologi atau nomenklatur akad syariah dalam syarat dan ketentuan produk. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015, Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Akad ini adalah suatu hal yang penting dalam ilmu Ekonomi Islam karena akad inilah yang menjadi dasar berlakunya suatu perjanjian. Akad juga menjadi pembeda mekanisme berjalannya produk menggunakan suatu skema tertentu yang dikenal dalam dunia Ekonomi Islam.
Dalam Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah pada pasal 2 menyebutkan bahwa, dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan wajib ditegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan. Bahkan pada pasal 21 juga dijelaskan sanksi bagi bank jika tidak melaksanakan ketentuan tersebut berupa teguran tertulis hingga penggantian pengurus.
Dalam syarat dan ketentuan produk E-Money tidak tertera nomenklatur akad syariah apapun. Nomenklatur akad juga tidak ditemukan dalam manual book yang diberikan kepada pemegang dan juga tidak ditemukan nomenklatur akad syariah dalam media informasi resmi lain seperti website, annual report, dan laporan Good Corporate Governance (GCG) dari Bank.
Walaupun tidak terdapat nomenklatur akad dalam operasional, namun secara garis besar operasional produk ini cenderung menggunakan akad sharf atau akad tukar menukar mata uang sebagai akad utama. Selain akad sharf, produk ini juga di dukung oleh akad lain yaitu akad jual beli biasa (al-bay’), dan akad Ijarah. Akad Sharf dapat diidentifikasi dari produk ini karena secara keseluruhan produk ini mirip dengan ketentuan dan jenis dari Akad Sharf ini sebagaimana yang telah tertuang dalam Fatwa DSN MUI No. 28 tahun 2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Berikutnya adalah akad jual beli biasa (al-bay’). Rukun jual beli itu ada empat, yaitu: (1) Akad (ijab qabul), (2) Orang-orang yang berakad (al-aqidain), (3) Terdapat barang/obyek jual beli (ma’qud alaih), (4) Ada alat tukar pengganti barang. Sedangkan syarat sahnya jual beli adalah para subyek yang berakad harus berakal sehat, dewasa (baligh), dan atas kemauan sendiri atau tanpa paksaan.
Menurut Fatwa DSN MUI No. 82 tahun 2011, ketentuan mengenai perdagangan (jual beli) adalah: (1) Barang harus halal dan tidak dilarang perundang-undangan, (2) jenis, kualitas, kuantitas, dan harga barang yang diperdagangkan harus jelas, (3) barang yang diperdagangkan harus sudah ada (wujud) dan dapat diserahterimakan secara fisik, (4) penjual harus memiliki barang atau menjadi wakil dari pihak lain yang memiliki barang, (5) penjual wajib menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dengan tata cara dan waktu sesuai kesepakatan, (6) pembeli wajib membayar barang yang dibeli kepada penjual dengan tatacara dan waktu sesuai kesepakatan, (7) pembeli boleh menjual barang tersebut kepada selain penjual sebelumnya hanya setelah terjadi qabdh haqiqi (penguasaan barang secara mutlak) atau qabdh hukmi (penguasaan barang secara hukum) atas barang tersebut.
Dalam mekanisme pembelian Kartu E-Money, telah terpenuhi rukun dan syarat sahnya yaitu penerbit sebagai penjual (ba i’) dan pemegang sebagai pembeli (musytari), obyek jual beli (ma’qud alaih) berupa fisik kartu E-Money, dan alat tukarnya yaitu uang rupiah. Sedangkan dalam pembuatan kartunya, calon pemegang kartu harus berakal sehat, dewasa, dan atas kemauan sendiri. Semua ketentuan yang ada dalam fatwa tersebut juga tidak ada yang bertentangan dengan jual beli fisik kartu E-Money. Fisik kartunya adalah barang halal dan diperbolehkan perundangan-undangan, jelas jenis, kualitas, kuantitas dan harga barangnya, serta diserahterimakan langsung saat akad.
Namun penggunaan akad jual beli ini memiliki kelemahan konseptual, di mana dalam konsep jual beli, barang yang telah di beli telah berpindah kepemilikannya dari penjual ke pembeli yang mengakibatkan hilangnya kekuasaan penjual terhadap barang tersebut.1 Dalam praktik Kartu E-Money, ketika pemegang telah membeli kartu tersebut tidak serta merta penerbit sebagai penjualnya terlepas hubungannya dengan barang tersebut, namun penerbit masih memiliki kewajiban-kewajiban seperti penyelesaian transaksi dan tagihan kepada pedagang (merchant). Ini menandakan dalam jual beli ini belum terjadi perpindahan kepemilikan yang sempurna dan penerbit masih memiliki hubungan dengan obyek tersebut.
Berikutnya adalah akad Ijarah. Akad Ijarah (pengupahan) dapat diidentifikasikan dalam produk ini yaitu dalam setiap transaksi yang mendatangkan keuntungan berupa fee base income Bank, diantaranya adalah pada pengambilan biaya administrasi saat pengisian ulang (top up) kartu. Dalam mekanisme ini, tidak ada yang dilanggar sebagaimana yang telah tertulis dalam fatwa tentang ijarah pada bab 2. Obyek manfaatnya jelas dan tidak diharamkan, manfaat dari jasanya dapat dinilai dan dilaksanakan dalam kontrak, manfaatnya dapat dikenali dengan jelas dan spesifik serta sewa atau upah juga jelas diketahui dan dibayarkan atas penggunaan manfaat berupa jasa.
Meskipun sebagai media atau alat pembayaran, uang elektronik itu bersifat netral atau penggunaannya adalah sangat tergantung kepada pemiliknya, namun ketika penggunaannya dapat dibatasi karena alasan syariah maka seharusnya hal tersebut dapat dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah sebagaimana Lembaga Keuangan Syariah dapat membatasi (hudud) pihak yang bekerjasama dengan pihaknya dengan cara memberikan persyaratan-persyaratan (dhawabith) bagi pedagang (merchant) yang ingin bergabung.
Hal ini yang menjadi kesimpulan dari kajian yang dilakukan antara Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional yaitu dasar hukum uang elektronik seharusnya mengatur ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) agar uang elektronik berjalan berdasarkan prinsip syariah seperti tidak boleh menimbulkan gharar, riba dan tadlis, serta tidak digunakan untuk transaksi obyek yang haram dan maksiyat, dan tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan).
Hal ini juga diperkuat sebagaimana yang terdapat dalam UU  No. 21 tahun 2008 tentang Bank Syariah Pasal 2 bahwa kegiatan usaha perbankan syariah dibatasi agar tidak memenuhi unsur riba, maisir, gharar, haram dan zhalim.

III. Kesimpulan
Uang Elektronik yang Nilai Uang Elektroniknya selain dicatat pada media elektronik yang dikelola oleh Penerbit juga dicatat pada media elektronik yang dikelola oleh Pemegang (Berdasarkan  Media Penyimpanannya). Reloadable atau dapat diisi ulang berkali-kali (Berdasarkan Masa Berlaku Media Uang Elektronik). Multi-purpose yaitu dapat digunakan untuk melakukan berbagai pembayaran (Berdasarkan Jangkauan Penggunaannya). Unregistered yaitu uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada Penerbit (Berdasarkan Data Identitas Pemegangnya).
Uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang uang elektronik pada prinsipnya sudah dapat diimplementasikan dalam perbankan syariah, jenis akad yang dapat diimplementasikan dalam produk tersebut menurut akad fiqh muamalah adalah menggunakan akad Sharf sebagai akad utama, dan akad ijarah serta wakalah sebagai akad pendukung dalam hubungannya dengan pedagang maupun pemegang kartu, prinsip-prinsip syariah yang harus ditetapkan dalam uang elektronik adalah tidak boleh mengandung masysir, riba, tidak mendorong israf (pengeluaran berlebihan), dan tidak digunakan untuk transaksi objek haram dan maksiat.
Prinsip syariah pada dasarnya terbagi menjadi 2, yaitu kaidah prinsip syariah dalam bidang ibadah, maupun prinsip syariah dalam bidang muamalah. Prinsip syariah muamalah merupakan suatu prinsip hukum Islam dalam kegiatan muamalah (interaksi sesama manusia) yang didasari pada Al-Quran dan As-Sunnah. Menurut UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Dari tinjauan prinsip syariah, terdapat permasalahan syariah pada aspek akad, hal ini dikarenakan produk ini tidak memiliki nomenklatur akad dalam operasional produk yang menimbukan ketidakjelasan (gharar) dalam kontrak berdasarkan prinsip Akad Syariah, serta dari aspek transaksi karena bank tidak melakukan pembatasan atau kontrol terhadap barang yang dijual oleh merchant yang bekerjasama dengan bank sehingga dikhawatirkan dapat digunakan untuk membeli barang-barang non halal. Yang menjadi objek pengawasan dari dewan syariah mencakup produk uang elektronik, akad yang dilakukan dan ketentuan biaya layanan fasilitas uang elektronik.







Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan artikel ini khususnya pada dosen pengampu mata kuliah ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


Referensi

[1]       Diakses dari http://www.bi.go.id/id/statistik/sistempembayaran/ uangelektronik/Contents /Jumlah%20Uang%20Elekt ronik.aspx pada 24 Agustus 2018

[2]       Badrus Soleh, Paper Hasil Kajian E-Money dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Lingkar Studi Ekonomi Islam, 2016)

[3]       Bank For International Settelments, Implications For Central Bank Of The Development Of Electronic Money, (Basel: BIS, 1996)

[4]       Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009, Tentang Uang Elektronik,

[5]       Veithal Rivai, Dkk, Bank And Financial Institution Management, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),

[6]       Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),

[7]       Kajian Bersama Uang Elektronik Ditinjau Dari Kesesuaian Prinsip-Prinsip Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional, 2016),

[8]       Sutan Remy Sjahdiyni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999),

[9]       Fatwa DSN-MUI No 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah.

[10]    Mohd Noor Omar, dkk, “E-Money in Malaysia: Shariah and Economic Analysis”, Working Paper In Islamic Economic And Finance, No. 1224 (Juli 2012)


No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate