A. Ruang Lingkup Antropologi
1. Pengertian Antropologi
Sebelum
Anda mempelajari lebih jauh tentang antropologi maka Anda terlebih dulu harus
mengetahui pengertian dari antropologi. Nah, sekarang kita mulai dengan arti
dari kata “Antropologi”. Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari
makhluk manusia (anthropos). Secara etimologi, antropologi berasal dari
kata anthropos berarti manusia dan logos berarti ilmu. Dalam
antropologi, manusia dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dari segi fisik,
emosi, sosial, dan kebudayaannya.
Antropologi
sering pula disebut sebagai ilmu tentang manusia dan kebudayaannya. Antropologi
mulai banyak dikenal orang sebagai sebuah ilmu setelah diselenggarakannya simposium
pada tahun 1951 yang dihadiri oleh lebih dari 60 tokoh antropologi dari
negara-negara di kawasan Ero-Amerika (hadir pula beberapa tokoh dari Uni
Soviet). Simposium yang dikenal dengan sebutan International Symposium on
Anthropology ini telah menjadi lembaran baru bagi antropologi, terutama
terkait dengan publikasi beberapa hasil karya antropologi, seperti buku yang
berjudul “Anthropology Today” yang di redaksi oleh A.R. Kroeber (1953),
“An Appraisal of Anthropology Today” yang di redaksi oleh S. Tax, dkk.
(1954), “Yearbook of Anthropology” yang diredaksi oleh W.L. Thomas Jr.
(1955), dan “Current Anthropology” yang di redaksi oleh W.L. Thomas Jr.
(1956). Setelah simposium ini, antropologi mulai berkembang di berbagai negara
dengan berbagai tujuan penggunaannya.
Di beberapa
negara berkembang pemikiran-pemikiran antropologi mengarah pada kebutuhan
pengembangan teoritis, sedangkan di wilayah yang lain antropologi berkembang
dalam tataran fungsi praktisnya. Pengertian lainnya disampaikan oleh Harsojo
dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Antropologi” (1984). Menurut
Harsojo, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia
sebagai makhluk masyarakat.
Menurutnya,
perhatian antropologi tertuju pada sifat khusus badani dan cara produksi, tradisi
serta nilai-nilai yang akan membedakan cara pergaulan hidup yang satu dengan
pergaulan hidup yang lainnya.
Sementara
itu Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Antropologi I ”
(1996) menjelaskan bahwa secara akademis, antropologi adalah sebuah ilmu
tentang manusia pada umumnya dengan titik fokus kajian pada bentuk fisik,
masyarakat dan kebudayaan manusia.
Sedangkan
secara praktis, antropologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari manusia
dalam beragam masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa
tersebut.
Secara
awam sering kali dipahami bahwa
bidang
kajian dari antropologi adalah
masyarakat
“primitif”, yang dianggap
mempunyai
kebudayaan yang berbeda
dengan
kebudayaan masyarakat Eropa.
Pemahaman
seperti ini tentu saja tidak
benar,
karena sejauh ini bidang kajian
antropologi
telah berkembang jauh memasuki wilayah masyarakat modern.
Di lain
pihak Masinambow, ed. dalam bukunya yang berjudul “Koentjaraningrat dan
Antropologi di Indonesia” (1997) menjelaskan bahwa antropologi adalah
disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat atau kelompok manusia. Conrad Philip
Kottak dalam bukunya berjudul “Anthropology, the Exploration of Human
Diversity” (1991) menjelaskan bahwa
antropologi mempunyai perspektif yang luas, tidak seperti cara pandang orang
pada umumnya, yang menganggap antropologi sebagai ilmu yang mengkaji masyarakat
nonindustri.
Menurut
Kottak, antropologi merupakan studi terhadap semua masyarakat, dari
masyarakat yang primitif (ancient) hingga masyarakat modern, dari masyarakat
sederhana hingga masyarakat yang kompleks. Bahkan antropologi merupakan
studi lintas budaya (komparatif) yang membandingkan kebudayaan satu masyarakat
dengan kebudayaan masyarakat lainnya.
2. Ruang Lingkup Antropologi
Antropologi
sebagai salah satu cabang ilmu sosial mempunyai bidang kajian sendiri yang
dapat dibedakan dengan ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, ilmu ekonomi,
ilmu politik, kriminologi dan lain-lainnya.
Antropologi juga dapat
dikelompokkan ke dalam cabang ilmu humaniora karena kajiannya yang terfokus
kepada manusia dan kebudayaannya. Seperti halnya yang terjadi di Universitas
Indonesia, di mana pada masa awal terbentuknya Jurusan Antropologi ini berada
di bawah Fakultas Sastra. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ketika
muncul anggapan bahwa antropologi cenderung memiliki fokus pada masalah sosial
dari keberadaan manusia, maka jurusan antropologi ini pun pada tahun 1983
pindah di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat ini beberapa
universitas di Indonesia mempunyai Jurusan Antropologi, di antaranya adalah di Universitas
Padjadjaran (UNPAD), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Andalas (Unand),
Universitas Cendrawasih (Uncen), dan Universitas Udayana (Unud).
Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa,
secara umum dapat dikatakan antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia
dari segi keragaman fisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya, namun demikian,
di beberapa tempat, negara, dan universitas, antropologi sebagai ilmu mempunyai
penekanan-penekanan tertentu sesuai dengan karakteristik antropologi itu sendiri
dan perkembangan masyarakat di tempat, negara, dan universitas tersebut.
Seperti yang pernah diungkapkan Koentjaraningrat bahwa ruang lingkup dan dasar
antropologi belum mencapai kemantapan dan bentuk umum yang seragam di semua
pusat ilmiah di dunia.
Menurutnya, cara terbaik untuk
mencapai pengertian akan hal itu adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu yang
menjadi pangkal dari antropologi, dan bagaimana garis besar proses perkembangan
yang mengintegrasikan ilmu-ilmu pangkal tadi, serta mempelajari bagaimana
penerapannya di beberapa negara yang berbeda.
B. Perkembangan Antropologi
Sebagaimana
diungkapkan Koentjaraningrat bahwa kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang
menjadi pangkal dari antropologi dan bagaimana garis besar proses
perkembangannya yang mengintegrasikan ilmu-ilmu pangkal tersebut, maka pada
bahasan berikut akan diuraikan perkembangan antropologi. Dari bahasan ini Anda
akan bisa melihat bahwa perkembangan antropologi terkait erat dengan dinamika
masyarakat.
1. Latar Belakang Lahirnya
Antropologi
Antropologi
pada masa perkembangan awalnya tidak dapat dipisahkan dengan karya-karya para
penulis yang mencatat gambaran kehidupan penduduk atau suku bangsa di luar
Eropa. Pada saat itu, kehidupan penduduk di luar Eropa dipandang menarik oleh
para penjelajah, para penjajah, atau para misionaris karena perbedaan cara
hidup antara masyarakat Eropa dengan masyarakat di luar Eropa. Oleh karenanya,
mereka bukan saja menulis tentang perjalanan atau yang terkait dengan tugasnya
tetapi juga melengkapinya dengan deskripsi tentang tata cara kehidupan
masyarakat yang mereka temui. Deskripsi ini kemudian dikenal dengan sebutan
etnografi. Beberapa tulisan karya mereka akan dipaparkan pada uraian berikut.
Tulisan
Herodotus, seorang bangsa Yunani yang dikenal pula sebagai Bapak sejarah dan
etnografi, mengenai bangsa Mesir merupakan tulisan etnografi yang paling kuno.
Tulisan-tulisan etnografi pada masa awal masih
bersifat subyektif, penuh dengan
prasangka dan bersifat etnosentrisme.
Etnosentrisme
adalah sebuah pandangan atau sikap di mana suku bangsa sendiri dianggap lebih
baik dan dijadikan ukuran dalam melihat baik buruknya karakter suku bangsa
lainnya. Orang Yunani pada masa itu menganggap bahwa suku-suku bangsa selain
orang Yunani seperti orang Mesir, Libia dan Persia termasuk ke dalam suku
bangsa yang masih setengah liar dan belum beradab.
Pandangan
seperti ini juga tersirat dalam tulisan Heredotus yang mendeskripsikan suku
bangsa Mesir tersebut. Pada jaman Romawi kuno terdapat pula beberapa hasil
karya etnografi mengenai kehidupan suku bangsa Germania dan Galia yang ditulis
oleh Tacitus dan Caesar. Sebagai seorang perwira yang memimpin perjalanan tentaranya
sampai ke Eropa Barat, Caesar menulis etnografinya secara sistematis seperti
halnya bentuk laporan seorang perwira.
Sedangkan
Tacitus menulis etnografinya dengan gaya bahasa yang mengungkap perasaan dan kegalauannya
tentang kehidupan yang terdapat di ibukota kerajaan Roma. Pencatat etnografi
yang cukup terkenal adalah Marco Polo (1254-1323). Ia mengembara dengan
keluarga besarnya ke daerah Asia Timur dan sempat menetap di istana Khu Bilai
Khan. Di sini ia melihat beberapa kebiasaan yang dianggapnya aneh, yaitu
penggunaan uang yang terbuat dari kertas dan diberi cap serta ditandatangani di
mana uang tersebut mempunyai bermacam-macam nilai.
Marco Polo
juga pernah singgah di daratan Indonesia (yang diketahui dari tulisannya), di
mana ia pernah singgah di beberapa pelabuhan dari semenanjung Malaya hingga
menelusuri Pulau Sumatra, di antaranya
adalah
singgah ke di pelabuhan Perlec (dalam bahasa Aceh) atau Peureula atau Perlak
(dalam bahasa Melayu). Marco Polo menceritakan kehidupan di kota pelabuhan ini
di mana pedagang dari India dan penduduk pribuminya menganut agama Islam sedangkan
penduduk yang ada di pedalaman masih mengerjakan hal-hal yang haram.
Tulisan
etnografi yang dianggap lebih baik dan obyektif justru adalah buah tangan dari
seorang padri berbangsa Prancis yaitu Yoseph Francis Lafitau (1600-1740). Ia
mencoba membandingkan antara kebiasaan dan tata susila orang Indian yang hendak
dinasranikan dengan adat istiadat bangsa Eropa kuno. Hasilnya, ia beranggapan
bahwa bangsa primitif (Indian) tidak dilihatnya sebagai manusia yang aneh. Akan
tetapi karena bahan yang diperbandingkannya sangat terbatas maka pandangannya
tentang perbandingan ini pun sangat terbatas.
Ahli
etnografi, dalam arti yang modern (Harsojo, 1984), adalah Jens Kreft, seorang
guru besar pada akademi di Soro. Ia menulis sebuah buku berjudul “Sejarah
Pendek tentang Lembaga-lembaga yang Terpenting, Adat dan Pandangan-pandangan
Orang Liar” 1760. Jens Kreft awalnya adalah seorang ahli filsafat, di mana
ia tidak sependapat dengan pandangan Rousseau tentang manusia. Pandangan Jens
Kreft tentang manusia lebih dianggap mewakili pandangan sebagai seorang ahli
etnologi daripada pandangan para ahli filsafat. Tulisan etnografinya adalah
mengenai dua suku bangsa Indian, Lule dan Caingua, di Amerika Selatan, yang
pada awalnya diduga mempunyai kebudayaan yang rendah. Ternyata dugaannya itu
salah.
Ia pun
dipandang sebagai orang pertama yang menulis etnografi secara lengkap yaitu
dengan memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi, masyarakat, agama dan kesenian.
Ahli berikutnya yang dianggap sebagai pendorong penulisan ilmiah dan sistematis
mengenai etnografi adalah Adolf Bastian. Ia memberikan pandangan mengenai
kesatuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, di mana suatu
kebudayaan memiliki sifat-sifatnya yang khusus yang tumbuh dan berkembang
sesuai dengan dasarnya dan lingkungannya.
Penelitian
secara ilmiah mengenai antropologi berkembang pesat setelah ditemukan atau
setelah diketahui adanya hubungan antara bahasa Sansakerta, Latin, Yunani dan
Germania (Harsojo, 1984), sehingga memungkinkan lebih banyak tersedia bahan-bahan
etnografi sebagai bahan perbandingan. Atas dasar ini kemudian timbul penelitian
yang bersifat historis komparatif mengenai kebudayaan. Dalam keperluan ini,
berdirilah lembaga-lembaga etnologi seperti Museum Etnografi yang didirikan
oleh G.J. Thomson di Kopenhagen tahun 1841, Museum Etnologi di Hamburg tahun
1850, The Peabody Museum of Archeology and Ethnology di Harvad tahun 1866, American
Ethnological Society di New York tahun 1842, Ethnological Society of London di
Inggris tahun 1843, dan The Bureau of American Ethnology di Amerika tahun 1875.
Selama abad
ke 20, penelitian antropologi dan etnologi makin berkembang, terutama di
pusat-pusat kajian antropologi dan etnologi seperti di Amerika Serikat,
Inggris, Afrika Selatan, Australia, Eropa Barat, Eropa Tengah, Eropa Utara, Uni
Soviet dan Meksiko. Di Indonesia, bahan-bahan etnografi juga telah dikumpulkan
terutama menyangkut adat istiadat, sistem kepercayaan, struktur sosial dan
kesenian.
Bahan-bahan
etnografi tentang Indonesia banyak dikumpulkan oleh para pegawai pemerintah
jajahan, di antaranya yang terkenal adalah T.S. Raffles mantan Letnan Gubernur Jenderal
di Indonesia (antara tahun 1811 hingga 1815). Raffles banyak menulis kebudayaan
penduduk pribumi Indonesia, di antaranya adalah dua jilid etnografi tentang
kebudayaan Jawa (1817).
2. Fase-fase Perkembangan
Antropologi
Fase-fase
perkembangan antropologi paling tidak diawali sejak akhir abad ke 15 atau awal
abad ke 16 (Koentjaraningrat, 1996). Dengan mengikuti pembagian fase
perkembangan antropologi menurut Koentjaraningrat dan perkembangannya pada
akhir-akhir ini, maka perkembangan antropologi
dapat
dibagi ke dalam 5 (lima) fase perkembangan. Fase pertama berawal dari akhir
abad ke 15 dan awal abad ke 16 hingga sebelum abad ke 18. Fase kedua terjadi
sekitar pertengahan Abad ke 19, fase ketiga di sekitar awal Abad ke 20, fase
keempat terjadi sesudah tahun 1930-an, dan fase kelima kira-kira sejak tahun
1970-an. Pembagian fase pertama hingga fase keempat berasal dari
Koentjaraningrat, sedangkan fase kelima berasal dari penulis berdasarkan
referensi yang ada.
a. Fase
pertama (sebelum abad ke 18)
Bahan-bahan
tulisan, yang kemudian menjadi cikal bakal karangan etnografi, banyak
dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan, para
pegawai agama atau misionaris yang berasal dari Eropa. Bahan-bahan tulisan ini
banyak muncul sejak akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16.
Selama
kurang lebih 4 abad lamanya, mereka berhasil menulis kisah-kisah perjalanan dan
cerita kehidupan masyarakat yang mereka temui. Persebaran mereka pada masa ini
seiring dengan kedatangan orang-orang Eropa di benua
Afrika,
Asia dan Amerika Selatan, bahkan ke daerah Oceania. Namun tulisan-tulisan
tersebut masih jauh dari sebuah karangan etnografi karena masih bersifat
subyektif sehingga tidak komprehensif dan holistik dalam menggambarkan
kehidupan suatu masyarakat.
Pada
umumnya mereka hanya menuliskan apa-apa yang dianggapnya menarik (aneh) di mata
mereka. Setelah tulisan etnografi di atas diterbitkan dan banyak dibaca orang, tulisan
ini banyak mempengaruhi sikap bangsa Eropa, terutama kaum terpelajar, di mana
kemudian mereka beranggapan bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa merupakan
bangsa-bangsa yang primitif (savage) dan sangat terbelakang. Kelompok
masyarakat ini juga dianggap masih murni, jujur dan tidak mengenal kejahatan.
Keunikan dari bangsa-bangsa di luar Eropa ini, seperti adat istiadat dan
benda-benda kebudayaannya, memicu munculnya pemikiran untuk menyebarluaskan
kepada khalayak luas di Eropa, yaitu misalnya dengan mendirikan museum-museum
yang secara khusus mengoleksi kebudayaan masyarakat di luar Eropa.
Di samping
itu pada awal abad ke 19 ini timbul pula keinginan para ilmuwan Eropa untuk mengintegrasikan
karangan-karangan yang masih terlepas-lepas tersebut menjadi sebuah karangan
etnografi tersendiri. Pada fase ini belum diketahui adanya para tokoh
antropologi.
b. Fase kedua (sekitar pertengahan
abad ke 19)
Fase ini
ditandai oleh keberhasilan para ilmuwan dalam menyusun karya-karya etnografi
yang bahannya dikumpulkan dari berbagai karangan yang dihasilkan oleh para
musafir, pelaut, pendeta, para pegawai
jajahan, dan para pegawai agama atau misionaris yang pernah tinggal di luar
masyarakat Eropa.
Dari
bahan-bahan yang terkumpul kemudian disusun berdasarkan pola pikir evolusi
sosial, yaitu menyusun secara sistematis mulai dari masyarakat dan kebudayaan
yang sangat sederhana hingga masyarakat yang hidup pada tingkat yang lebih
tinggi. Kelompok masyarakat yang digolongkan ke dalam tingkat yang paling tinggi
atau beradab adalah masyarakat Eropa Barat pada masa itu, sedangkan tingkat
yang paling rendah adalah masyarakat yang hidup di luar Eropa Barat.
Para tokoh
antropologi pada fase kedua ini adalah para ahli antropologi terutama para
tokoh penganut teori evolusi seperti L.H. Morgan. Beliau sebenarnya seorang
ahli hukum Amerika yang bekerja sebagai pengacara yang membantu penduduk
Amerika Timur dalam menangani masalah pertanahan. Salah satu karangan L.H.
Morgan yang terkenal adalah sebuah buku tentang evolusi masyarakat yang
berjudul “Ancient Society” (1877).
Buku ini
ditulis berdasarkan hasil penelitiannya tentang adat-istiadat orang Indian dan
berpuluh-puluh masyarakat di dunia. Tokoh lain dalam fase ini adalah P.W.
Schmidt tetapi ia lebih memfokuskan perhatiannya terhadap masalah sejarah asal
mula penyebaran kebudayaan suku-suku bangsa di
seluruh dunia.
c. Fase ketiga (awal abad ke 20)
Pada masa
awal abad ke 20, antropologi telah berkembang bukan saja sebagai ilmu yang
mengkaji masalah kehidupan bangsa-bangsa di luar Eropa yang ada kepentingannya
dengan kebutuhan negara besar yang menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka
memperoleh pengertian tentang masyarakat modern yang kompleks. Artinya, dengan
mempelajari masyarakat yang masih sederhana akan diperoleh pemahaman yang baik mengenai
masyarakat Eropa yang lebih kompleks. Negara yang memiliki pengaruh cukup besar
dan memiliki daerah jajahan paling luas pada masa ini adalah Inggris.
Oleh karena
itu, antropologi sebagai ilmu yang praktis telah berkembang pesat di Inggris
terutama dalam mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa yang
menjadi jajahan Inggris. Selain Inggris, negara-negara lain yang memiliki
daerah jajahan juga ikut memanfaatkan antropologi dalam upaya memahami
karakteristik kehidupan suku bangsa
yang ada di
wilayah jajahannya. Amerika Serikat juga memanfaatkan ilmu ini untuk memahami masyarakat pribuminya, suku bangsa Indian,
yang pada waktu itu dianggap bermasalah terkait dengan masalah integrasi sosial
politik.
Tokoh antropologi
pada masa ketiga ini adalah B. Malinowski. Beliau adalah ahli antropologi
Inggris yang meneliti adat-istiadat penduduk Kepulauan Trobriand. Tokoh lainnya
adalah M. Fortes yang banyak menulis adat-istiadat dari suku bangsa yang
tinggal di Afrika Barat.
d. Fase keempat (sesudah tahun
1930-an)
Setelah
tahun 1930-an, antropologi mendapat perhatian yang sangat luas baik dari
kalangan pemerintah terkait dengan fungsi praktisnya maupun kalangan akademisi.
Bagi kalangan pemerintah, ilmu ini tetap dijadikan ilmu praktis guna memperoleh
pemahaman pemakaian tentang kehidupan dari masyarakat jajahannya. Sedangkan
para akademisi lebih tertarik guna memperoleh pemahaman tentang masyarakat
secara umum, yakni keberadaan masyarakat yang masih sederhana yang dianggap
masih primitif (savage) dan keberadaan masyarakat yang sudah kompleks.
Keterkaitan
kedua bentuk masyarakat tersebut berguna bagi kajian tentang perkembangan
masyarakat (perubahan sosial), dengan menetapkan bahwa masyarakat akan
berkembang dari yang paling sederhana ke masyarakat yang lebih kompleks.
Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan evolusi yang pada masa ini sangat
kuat pengaruhnya. Lihat bagan di bawah ini
Pada masa ini, antropologi telah
menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji dan memperoleh bahan-bahan yang
diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya. Objek penelitian yang diperhatikan juga tidak terbatas pada
masyarakat yang dianggap masih primitif (savage), tetapi telah
berkembang dengan memperhatikan masyarakat atau penduduk pedesaan bukan saja di
luar Eropa tetapi juga di dalam wilayah Eropa sendiri.
Perkembangan
antropologi sebagai ilmu mengalami babak baru sejak diadakan simposium
internasional yang dihadiri 60 tokoh antropologi (Amerika, Eropa, dan Uni
Soviet) yang berupaya untuk meninjau kembali bahan-bahan etnografi yang telah
ada serta merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari antropologi. Pada fase
ini, antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan
akademis antropologi adalah untuk memperoleh pemahaman tentang makhluk manusia
pada umumnya dengan mempelajari beragam bentuk fisik, masyarakat, dan
kebudayaannya. Tujuan praktis antropologi adalah mempelajari manusia dan
masyarakatnya yang beraneka ragam tadi untuk keperluan membangun masyarakat
yang bersangkutan. Tokoh penting pada fase keempat ini adalah F. Boas
(1858-1942). Ia menjadi seorang tokoh antropologi Amerika Serikat yang
sebelumnya ia adalah seorang pakar geografi Jerman. Boas banyak mempelajari
tentang beragam makhluk
manusia,
baik dari segi fisik, masyarakat atau pun
kebudayaannya. Tokoh lainnya adalah A.L. Kroeber, R. Benedict, Margaret Mead
dan R. Linton.
e. Fase kelima (sesudah tahun
1970-an)
Perkembangan
antropologi pada era 1970-an masih memperlihatkan perkembangan antropologi pada
fase 4 di atas yang masih memfokuskan diri pada tujuan akademis dan tujuan
praktisnya, tetapi penekanan terhadap kedua tujuan tersebut berbeda-beda di
setiap negara. Perbedaan tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan aliran dalam
antropologi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan asal universitas tempat
dikembangkannya antropologi di suatu negara, seperti Inggris, Eropa Utara,
Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara berkembang.
Di Inggris,
antropologi diperlukan terutama untuk mengenal dan memahami kehidupan
masyarakat lokal pada negara-negara jajahan Inggris, yang pada waktu itu sangat
berguna bagi pemerintah setempat. Setelah negara-negara jajahan Inggris
merdeka, seperti Papua New Guinea dan Kepulauan Melanesia, penelitian
antropologi masih tetap dilakukan oleh para sarjana Antropologi Inggris dan
para sarjana Antropologi dari negara masing-masing
dalam upaya pembangunan masyarakat.
Di Eropa
Utara, antropologi berkembang ada upaya untuk mencapai kebutuhan akademis
seperti yang berkembang di Jerman dan Austria. Di sini juga tumbuh upaya untuk
melakukan penelitian terhadap masyarakat di luar Eropa terutama kebudayaan suku
bangsa Eskimo. Metode antropologi yang digunakan juga telah berkembang pesat
dan beberapa di antaranya telah mengembangkan metode seperti halnya yang
dikembangkan di Amerika Serikat.
Di Eropa
Tengah, seperti di Belanda, Prancis, dan Swiss, pada masa awal tahun 1970-an
perhatian antropologi masih ditujukan pada masyarakat di luar Eropa yang
bertujuan untuk mengkaji sejarah penyebaran kebudayaan manusia yang ada di
seluruh dunia. Pada perkembangan selanjutnya, antropologi di negara-negara ini
pun telah banyak mengadopsi metode-metode antropologi yang dikembangkan di
Amerika Serikat.
Di Amerika
Serikat, antropologi menunjukkan perkembangannya yang paling luas. Perkembangan
antropologi di sini telah didukung oleh lahirnya berbagai himpunan antropologi
dan terbitnya jurnal-jurnal serta majalah ilmiah antropologi. Antropologi yang
berkembang di Amerika Serikat telah menggunakan dan mengintegrasikan seluruh
bahan-bahan dan metode antropologi dari fase pertama, kedua, dan ketiga, serta
berbagai spesialisasi antropologi telah berkembang dengan pesat.
Tujuan dari
pengembangan antropologi tersebut adalah untuk mencapai pengertian tentang
dasar-dasar dari keanekaragaman bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang hidup
pada masa kini. Tujuan Antropologi seperti yang terungkap pada fase keempat
menjadi fokus perhatian kalangan universitas-universitas di Amerika Serikat
terutama universitas yang memiliki departemen antropologi sendiri.
Di Rusia,
sebelum tahun 1970-an, perkembangan antropologi di negara ini tidak banyak
diketahui, walaupun kemudian ditemukan tulisan etnografi karya S.A. Tokarev
yang berjudul ”Der Anteil Der Russischen Gelehrten An Der Entwicklung Der
International Ethnographischen Wissenchaften” dalam majalah Sowjetwissenshaf.
II (1950).
Pemikiran
antropologi di Soviet banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dan F. Engel
terutama pemikiran tentang perkembangan masyarakat melalui tahap-tahap evolusi.
Antropologi dianggap menjadi bagian dari ilmu sejarah yang memfokuskan pada
masalah-masalah asal mula kebudayaan, evolusi, dan masalah persebaran
kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Dalam
perkembangan selanjutnya, antropologi di Soviet selain mengembangkan kajian
keilmuan juga melakukan penelitian-penelitian, terutama pada suku bangsa yang
terdapat di Soviet, yang digunakan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan yang
terkait dengan masalah upaya-upaya membangun saling pengertian di antara
penduduk pribumi. Walaupun pada akhirnya, karena situasi politik yang
berkembang di Rusia, disintegrasi bangsa pun tidak dapat dihindari.
Selain itu,
antropologi di Rusia sebenarnya juga memperhatikan kehidupan masyarakat dan
kebudayaan di luar bangsa-bangsa Eropa. Hal ini terlihat dalam sebuah buku hasil karya ahli
antropologi di Soviet yang berjudul “Narody Mira” (Bangsa-bangsa di
Dunia) yang memuat deskripsi tentang kehidupan masyarakat suku-suku bangsa di
Afrika, Oseania, Asia dan Asia Tenggara, termasuk suku bangsa di Indonesia.
Kajian pada
bidang antropologi di negara-negara berkembang terus mendapat perhatian
terutama dalam kaitannya dengan kegunaan praktisnya yang mampu mendeskripsikan
berbagai pemasalah sosial budaya. Deskripsi ini kemudian sangat berguna sebagai
masukan dalam upaya pengambilan kebijakan pembangunan, seperti masalah
kemiskinan, kesehatan, hokum adat, dan sebagainya.
Di India
misalnya, antropologi dimanfaatkan dalam kegunaan praktisnya terutama untuk
memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakatnya yang sangat beragam.
Pemahaman seperti itu akan sangat berguna dalam upaya membangun integrasi
sosial di antara penduduk yang beragam itu. Sebagai negara bekas jajahan
Inggris, antropologi di India banyak dipengaruhi oleh kultur antropologi yang
berkembang di Inggris.
Hal ini
terlihat terutama pada metode-metode antropologinya yang banyak mengikuti
aliran-aliran antropologi yang berkembang di Inggris. Di Indonesia juga hampir
sama dengan yang terjadi di India. Antropologi di Indonesia berkembang untuk
pengkajian masalah-masalah
sosial
budaya dan upaya mendeskripsikan berbagai
kehidupan dari berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke agar saling
mengenal satu dengan lainnya. Upaya-upaya tersebut terus dilakukan hingga kini
karena masih banyak suku-suku bangsa yang jumlah anggotanya relatif sedikit dan
hidup di beberapa daerah yang terpencil belum mendapat perhatian.
Perkembangan
antropologi di Indonesia hampir tidak terikat oleh tradisi antropologi manapun
(Koentjaraningrat, 1996). Menurut Koentjaraningrat (1996) antropologi di
Indonesia yang belum mempunyai tradisi yang kuat, kemudian bisa memilih sendiri
dan mengombinasikan beberapa unsur dari aliran mana pun yang paling sesuai
dengan kebutuhan masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi. Menurutnya, kita
bisa mengikuti cara
Amerika
dalam menentukan konsepsi mengenai batas-batas lapangan penelitian antropologi
dan pengintegrasian dari beberapa metode antropologi.
Kita juga
dapat meniru cara India dalam mempergunakan antropologi sebagai ilmu praktis
yang mampu mendeskripsikan kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang beragam,
dan ikut membantu dalam pemecahan masalah kemasyarakatan serta merencanakan
pembangunan nasional. Kita juga dapat mencontoh Meksiko yang telah menggunakan
antropologi sebagai ilmu praktis untuk mengumpulkan data tentang kebudayaan
daerah dan masyarakat pedesaan untuk menemukan dasar-dasar bagi suatu
kebudayaan nasional dengan kepribadian yang khas dan dapat digunakan untuk membangun
masyarakat desa yang modern.
C. Karakteristik Kajian Antropologi
Sejak lama
manusia, terutama para ahli ilmu sosial dan para filsuf, mempertanyakan
”sebenarnya siapa manusia itu, dari mana manusia itu berasal, dan mengapa
berperilaku seperti yang mereka lakukan”. Pertanyaan tersebut terus
berkumandang sampai metode ilmiah ditemukan dan menjadi salah satu cara dalam
menemukan sesuatu. Antropologi yang menjadi salah satu ilmu yang terkait dengan
itu berusaha juga untuk menjawab pertanyaan di atas.
Sebelumnya,
masyarakat memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas dari mite (myth)
dan cerita rakyat (folklore) yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Mite atau legenda merupakan unsur sastra yang masih dipercayai kebenarannya
oleh para pendukung sastra tersebut. Mereka percaya saja pada apa yang
diceritakan secara turun-temurun oleh orang tua atau nenek kakek mereka. Setiap
suku bangsa memiliki kepercayaan sendiri atas siapa sebenarnya manusia itu,
dari mana mereka berasal, dan mengapa mereka berperilaku seperti yang mereka
lakukan.
Orang yang
tinggal di pegunungan biasanya beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal
dari puncak gunung (bagian atas) yang memang sulit dijangkau oleh manusia biasa.
Sedangkan bagi orang-orang yang tinggal di sekitar laut seperti para nelayan
biasanya beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari laut yang paling
dalam.
Antropologi
sebagai sebuah ilmu, sudah sekitar 200 tahun yang lalu berupaya mencari jawaban
atas pertanyaan di atas. Antropologi kemudian dikenal sebagai ilmu yang
mempelajari makhluk manusia (humankind) di mana pun dan kapan pun. Para
antropolog mempelajari homo sapiens, sebagai spesies paling awal,
sebagai nenek moyang, dan sesuatu (makhluk) yang memiliki hubungan terdekat
dengan makhluk manusia, untuk mengetahui kemungkinan siapa nenek moyang manusia
itu, dan bagaimana mereka hidup (Haviland, 1991).
Perhatian
utama dari para antropolog adalah merupakan upaya mereka mempelajari manusia
secara hati-hati dan sistematis. Beberapa orang menempatkan antropologi sebagai
ilmu sosial atau ilmu perilaku. Akan tetapi di lain pihak beberapa orang
mempertanyakan sejauh mana kajian antropologi dapat diakui sebagai ilmu
pengetahuan (science).
Apa
sesungguhnya arti di balik kata ilmu pengetahuan atau science itu? Ilmu
pengetahuan adalah suatu metode atau cara yang bersifat berpengaruh dan
tepercaya guna memahami fenomena di dunia ini. Ilmu pengetahuan berupaya
mencari penjelasan mengenai berbagai fenomena yang dapat teramati (observed)
untuk menemukan prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang berlaku universal atas
fenomena tersebut (Haviland, 1999). Ada dua ciri mendasar dari ilmu
pengetahuan, yaitu imajinasi (imagination) dan skeptisisme (skepticism).
Imajinasi berhubungan dengan kemampuan berpikir untuk mengarahkan kita keluar
dari ketidakbenaran, yaitu dengan cara mengusulkan hal-hal baru untuk
menggantikan hal-hal yang lama atau ketidakbenaran itu.
Skeptisisme
adalah pemikiran yang membimbing kita untuk dapat membedakan antara sebuah
fakta (fact) dan khayalan (fancy).
Sebuah
kebenaran yang dihasilkan melalui sebuah
khayalan bukanlah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan membangun kebenaran
berdasarkan pengkajian empiris melalui uji hipotesis, yang kemudian
menghasilkan sebuah teori.
Sebuah
kebenaran atau teori dalam ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran absolut tetapi
hanya sebagai sebuah pilihan kebenaran yang paling diakui tentang sebuah
fenomena. Tanpa metode ilmiah suatu ilmu pengetahuan bukanlah ilmu, melainkan
hanya suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai fenomena baik alam
ataupun masyarakat karena tidak berusaha untuk mencari kaidah hubungan antara
satu gejala dengan gejala lainnya.
Keseluruhan
pengetahuan dapat diperoleh oleh para ahli di bidangnya masing-masing melalui
tiga tahap yaitu, (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap penentuan ciri-ciri
umum dan sistem, serta (3) tahap verifikasi. Untuk bidang antropologi sosial
atau budaya, tahap pengumpulan data merupakan peristiwa penting dalam upaya
memperoleh informasi tentang peristiwa atau gejala masyarakat dan kebudayaan.
Sebagai
ilmu sosial yang relatif baru, antropologi juga mengikuti kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan yang telah berkembang, terutama pendekatan yang berkembang dalam
ilmu sosial. Berawal dari filsafat, beberapa kajian yang lebih spesifik
akhirnya memisahkan diri dan memproklamirkan diri sebagai ilmu baru.
Bahkan
spesifikasi kajian dari masing-masing ilmu tadi dianggap telah membelenggu diri
untuk tidak menerima hasil pengkajian dari ilmu lain. Kondisi ini kemudian
disadari merupakan gejala yang tidak baik, karena sangat tidak bermanfaat untuk
memahami hakikat objek (masyarakat) yang sesungguhnya. Hakikat objek, perilaku
sosial atau masyarakat hanya dapat dipahami secara menyeluruh dengan kajian
berbagai bidang ilmu.
J. Gillin mencoba
menyatukan kembali beberapa pendekatan melalui beberapa ahli seperti ahli
antropologi, sosiologi dan psikologi untuk membicarakan kemungkinan kerja sama
antara ketiga bidang ilmu tersebut. Hasil pembicaraan tersebut menghasilkan
sebuah buku yang cukup penting berjudul “For A Secience of Social Man”
yang terbit pada tahun 1955 yang di redaksi oleh Gillin sendiri.
Pertemuan
lain juga diprakarsai oleh beberapa ahli psikologi yang berhasil mengumpulkan
para ahli psikologi, psikiatri, biologi, sosiologi, antropologi, anatomi, dan
zoologi untuk mengembangkan metode-metode yang mampu mengintegrasikan hasil
kajian dari masing-masing ilmu tersebut. Hasil pembicaraan tersebut juga
berhasil dibukukan dan diterbitkan pada tahun 1956 dalam judul “Toward A
Unified Theory of Human Behavior”.
No comments:
Post a Comment