Sunday, June 21, 2020

Ceramah tentang Sains



Manusia sampai saat ini masih menjadi sesuatu yang “misterius” dan “unik”. Diskusi tentang manusia masih terus terjadi hingga saat ini. Buku-buku ilmiah tentang manusiapun terus bermunculan. Manusia dijelaskan dengan berbagai macam perspektif. Ada yang menulis mausia dari sudut pandang agama, ada yang dari filsafat, ada yang dari sains, dan lain sebagainya. Penggunaan perspektif ini akan menentukan apa dan bagaimana manusia itu. Saya sendiri sampai saat ini masih terus mempelajari sosok manusia. Seringkali manusia didefinisikan dengan fungsi-fungsi yang melekat pada dirinya. Atau manusia dianggap sebagai khalifatullah berdasarkan dalil agama Islam. Ada banyak sekali perspektif di dalam melihat manusia.

Perkembangan sains modern hingga saat ini telah menunjukkan kemampuan manusia dalam mengembangkan sebuah penemuan. Apa yang dahulu hanya dapat dibayangkan, sekarang sudah menjadi kenyataan. Orang dahulu yang membayangkan dapat berkomunikasi dengan orang yang berada diluar pulau, diluar negeri, bahkan diluar planet. Tetapi saat ini, bayangan itu sudah terwujud. Ini berkat penelitian-penelitian ilmiah yang terus dikembangkan. Era ini dimulai sekitar abad ke-16 dan 17 ketika terjadi revolusi industri.

Sebagaimana dinyatakan basis epistemologis dari sains modern adalah positivistik. Secara sederhana paradigma ini memandang segala sesuatu secara positif, terukur, dan berdasarkan observasi inderawi. Sesuatu dikatana ilmiah dan diterima sebagai ilmu pengetahun ketika ia dapat diukur dan dicerna (diobservasi) oleh indera. Sehingga segala sesuatu yang berada diluar teori atau batasan ini tidak dapat dikatakan sebagai ilmu. Para penganut positivistik menolak hal-hal ghaib yang tidak bisa dijelaskan oleh inderawi.

Salah satu contohnya sebagaimana diutarakan oleh Darwin, penganut teori evolusi manusia, bahwa haram hukumnya membawa Tuhan dalam kajian ilmiah. Disini bisa dilihat bagaimana para penganut posotivisme menolak keberadaan sang pencinta alam. Tidak ada ruang untuk wilayah kerohanian. Tidak ada tempat untuk spiritualitas. Semuanya didasarkan pada observasi inderawi.

Dalam paradigma positivistik (saintifik), kosmologi yang dipakai adalah kosmologi fisik. Sehingga manusia yang dilihat hanya fisiknya saja. Tidak ada roh dalam diri manusia. Manusia itu adalah hewan. Hanya saja manusia bisa berbicara dan memiliki keunggulan dalam struktur otak. Manusia mampu berpikir secara lebih kompleks. Hewan adalah struktur manusia paling sederhana. Sehingga tidak heran jika ingin mempelajari struktur tubuh manusia yang lebih kompleks, maka mempelajari struktur hewan yang lebih sederhana sudah cukup. Ini sama halnya adalam kajian antropologi, ketika ingin mempelajari struktur masyarakat yang kompleks, maka pelajari dulu masyarakat primitif yang lebih sederhana.

Positivistik tidak menganggap adanya ruh atau jiwa dalam diri manusia. Para penganut positivistik menafikan adanya hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan sebagai pencipta alam. Tuhan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, untuk menghindari ungkapan “tidak ada, karenanya ditolak. Pendapat semacam ini masih bertahan hingga saat ini walaupun memang tidak seagresif pada masa awal kemunculan paradigma positivistik. Pada saat itu gereja menjadi sasaran empuk para penganut paham ini karena gereja dianggap telah “menyimpang” dan “menolak” kemajuan. Dan demikianlah seterusnya bagaimana perjalanan positivisme.

Memang paradigma positivisme telah menciptakan kemajuan yang luar biasa dan tak terduga. Manusia saat ini berbeda dengan manusia lima abad yang lalu. Duhulu untuk mendapat kabar dari desa sebelah saja butuh waktu beberapa hari. Tetapi saat ini manusia bisa mengakses informasi dari belahan dunia manapun dalam hitungan detik. Ini sungguh luar biasa. Tetapi menurut pak Mul, ini juga telah menciptakan manusia-manusia yang berpandangan pada fisik saja, pada meteri saja. Kering akan rohani. Tidak ada spiritual. Ini tentu berbeda dengan pandangan agama Islam. Dimana Tuhan (spiritual) menjadi bagian penting dari kehidupan ini. Postivisme telah melahirkan sekulerisme, dimana tidak ada tempat bagi Tuhan.


Filsafat (Islam) tentang manusia (ide dan akal)

Yang  dimaksud dengan filsafat disini adalah filsafat Islam, bukan filsafat barat atau Yunani atau mana lah. Karena Islam sendiri memiliki pemikiran filsafat sendiri yang itu berbeda dengan Yunani atau yang lainnya. Walaupun akarnya tetap kepada Yunani, tetapi filsafat yang tumbuh dan berkembang di dalam Islam telah mengalami proses penyaringan. Ada semacam proses Islamisasi.

karya-karya filsafat dahulu sudah sangat lengkap dan komprehensif. Ada yang ditulis di Barat saat ini sudah didiskusikan oleh pemikir muslim. Hanya saja kita sebagai muslim sangat jarang dan bahkan mungkin tidak mampu mengakses karya-karya mereka. Contohnya adalah Ibnu Sina yang dikenal dengan al-mu’allim al-tsani (guru kedua) setelah Aristoteles. Banyak sekali karya-karya muslim terdahulu yang menarik jika kita ingin mengkajinya. Jangan kita asik membaca barat saja, melupakan turats kita sendiri.

Tetapi, ini bukan berarti kita menolak barat (barat disini sepertinya diasosiasikan dengan selain Islam). Barat tetap harus dan perlu dipelajari sebagai penyeimbang dan pengayaan informasi. Tidak boleh hanya belajar Islam saja atau belajar Barat saja. Itu akan menyebabkan miskin pengetahuan. Beliau kemudian bercerita tentang perjalanannya hingga sampai pada keputusan mempelajari filsafat islam. Beliau memutuskan untuk menjadi pakar/ahli filsafat Islam.

Untuk menjelaskan manusia dalam perspektif filsafat Islam, beliau merujuk pada pandangan ikhwan al-shafa. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Kelompok ini dikenal melalui karya-karyanya. Tetapi tidak diketahui secara detail bagaimana gerakan mereka.

Manusia tu adalah al-‘alam al-shaghir (alam kecil) atau dalam bahasa kerennya mikro-kosmos. Manusia adalah bentuk lain (kecil) daripada alam semesta ini. Maksudnya bagaimana? setidaknya ada 4 unsur yang ada di alam semesta juga ada pada manusia. Pertama, unsur mineral (air). Bahwa mineral merupakan unsur alam semesta. Demikian juga pada manusia, mineral adalah unsur yang dominan. Kedua, unsur tumbuhan. Di dalam diri manusia juga ada unur tumbuhan sebagaimana ada pada alam semesta. Seperti misalnya bahwa manusia bereproduksi, makan, ada sperma, tumbuh, dan lain-lain. Ini sama seperti tumbuhan. Ketiga, unsur hewan. Setidaknya ada dua yang mengindikasikan ada unsur hewan dalam diri manusia, yakni indra dan gerak. Hewan bisa bergerak, ada mobilitas, dan juga ada indera dimana tidak terdapat pada tumbuhan. Kedua itu juga terdapat pada manusia. Manusia ada indera dan bisa bergerak. Keempat, unsur malaikat. Malaikat adalah makhluk suci, tidak melakukan keburukan. Malaikat adalah intelek. Pak Mul menyebut malaikat itu adalah akal dimana ia dapat berpikir. Disini juga dapat dikatakan bahwa pada manusia adalah unsur ilahiyyah sebagaimana ptongan firman Allah “wa nafakhtu fiihim al-ruuh..”, dan aku tiupkan pada mereka itu ruh.

Bahwa manusia itu adalah ultimate purpose of creation, puncak dari segala penciptaan. Alam semesta diciptakan karena penciptaan manusia. manusia itu seperti buah (padi, pisang) yang ada pada tumbuhan. Misalnya saja pisang, ia tumbuh dan besar untuk menanti buah. Ketika buahnya sudah muncu dan matang, ia kemudian mati. Sama halnya dengan padi. Demikian pula manusia. Ia adalah buah daripada ciptaan yang lainnya.

Agama (Islam) tentang Manusia

agama Islam datang untuk menempatkan manusia lebih terhormat dan keren. Ini dapat dilihat dari firman Allah inni ja’ilun fi al-ardh khalifah, sesungguhnya Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah. Para ahli tafsir memahami bahwa manusia adalah khalifah Allah yang dimaksud. Khalifah itu adalah representasi. Khalifah itu adalah wakil Tuhan sehingga, manusia sebagai khalifah Allah, menjadi terhormat di antara makhluk hidup yang lain. Kemudian Allah juga memberikan fasilitas apapun kepada manusia sebagai bentuk konsekuensinya sebagai wakil Allah. Manusia diberikan kewenangan untuk mengurus bumi beserta isinya. Walladzi khalaqa lakum fi al-ardh jami’an. Dan yang telah menciptakan (apa yang ada) di bumi untuk semua kalian (manusia) semua.

Tetapi yang perlu diingat bahwa manusia adalah (hanya) wakil Allah sehingga tidak boleh semena-mena. Manusia tidak boleh sesuka hati mengatur bumi ini. Jangan ingin menjadi Tuhan yang bisa mengatur segalanya seenak mulutnya (maaf). Manusia hanya wakil. Allah lah yang paling berhak dan berkewenangan. Manusia harus mengikuti petunjuk Allah. Manusia harus tunjuk kepada Allah yang telah mengutus manusia sebagai wakil. Itu saja pointnya.

Di akhir tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa ketiga point di atas harus saling melengkapi. Ketiganya adalah aspek yng menuju pada satu realitas kebenaran. Ketiganya harus ter-integrasi dan ter-interkoneksi. Sisi lain yang bisa saya simpulkan adalah paradigma Islamisasi ilmu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa islamisasi ilmu adalah sebuah proses pengislaman ilmu. Dengan perangkat yang dimiliki oleh keilmuan Islam, seluruh ilmu pengetahuan disaring dan disesuaikan dengan nilai-nilai keislaman. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate