Anak berkebutuhan
khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat memiliki karakteristik
khusus dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Tipe anak
berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian
diri anak yang mengalami hambatan baik telah ada sejak lahir maupun karena
kegagalan atau kecelakaan pada masa tumbuh-kembangnya. Menurut Kauffman &
Hallahan (2005) dalam Bendi Delphie
(2006) tipe-tipe kebutuhan khusus yang
selama ini menyita perhatian orangtua dan guru adalah (1) tunagrahita (mental
retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan (child with
development impairment), (2) kesulitan Belajar (learning disabilities) atau
anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif (Attention Deficit Disorder
with Hyperactive ), (4) tunalaras (Emotional and behavioral disorder),
(5) tunarungu wicara (communication disorder and deafness), (6)
tunanetra atau anak dengan hambatan penglihatan (Partially seing and legally
blind), (7) autistik, (8) tunadaksa (physical handicapped), dan (9) anak berbakat (giftedness
and special talents).
Karakteristik anak
berkebutuhan khusus dan hambatan yang mereka alami seringkali menyulitkan
mereka mengakses layanan publik, seperti fasilitas di tempat umum yang tidak
aksesibel bagi mereka, hingga layanan tumbuh-kembang dan pendidikan yang relatif
membutuhkan usaha dan biaya ekstra.
Perbedaan karakteristik dan kebutuhan mereka dibanding anak-anak pada
umumnya membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai dengan
kondisi mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan untuk
menghindari atau membuang mereka, melainkan justru membuahkan kesadaran untuk
menghargai keragaman individu dan memberi perhatian dan layanan seideal yang
seharusnya mereka terima. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bandung:
Indonesia menuju Pendidikan Inklusi 2004 menyatakan bahwa keberadaan anak
berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak
mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan,
kesejahteraan dan kesehatan, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; serta
mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara.
Layanan untuk anak
berkebutuhan khusus berusaha menjembatani hambatan yang dialami anak dan
memanfaatkan potensi anak untuk dapat mengakses kesempatan hidup
sebesar-besarnya. Layanan diberikan dengan berorientasi pada prinsip
mempertimbangkan kesamaan masing-masing tipe anak berkebutuhan khusus dan juga
perbedaan individual dari masing-masing tipe tersebut, menjaga sikap optimis
untuk dapat memberi layanan baik pendidikan, medis, psikologis, maupun
upaya-upaya pencegahan, mengedepankan potensi anak daripada fokus pada hambatan
mereka, dan memandang bahwa kebutuhan khusus bukanlah hambatan melainkan
kurangnya kesempatan anak untuk melakukan sesuatu yang orang lain pada umumnya mampu
lakukan, baik dalam hal tingkat kematangan (emosi, mental, dan atau fisik),
kesempatan yang diberikan masyarakat kepada mereka untuk hidup ‘normal’, dan
pengajaran atau pendidikan sesuai hak yang seharusnya mereka dapatkan (Hallahan
& Kauffman, 2006).
Adapun sifat layanan
untuk anak berkebutuhan khusus meliputi upaya yang dilakukan sesegera mungkin
setelah kebutuhan khusus anak diidentifikasi, akomodatif terhadap kebutuhan
khusus anak, dilakukan secara berkesinambungan sepanjang usia, dan komprehensif atau menyeluruh dalam
mengatasi hambatan yang dialami. Sesuai dengan sifatnya tersebut, layanan untuk
berkebutuhan khusus merentang dimulai dari usia dini (atau sejak diidentifikasi
kebutuhan khususnya) hingga usia dewasa. Tahap-tahap usia yang menjadi fokus
yang menentukan keberhasilan layanan adalah usia dini, usia sekolah, dan usia
transisi (usia peralihan antara masa sekolah dengan masa dewasa yang ditandai
). Menurut Hardman, dkk (1990) layanan anak berkebutuhan khusus untuk
masing-masing tahap usianya dijelaskan sebagai berikut :
i. Usia
dini
Bentuk layanan pada usia dini adalah intervensi meminimalkan efek kebutuhan khusus dan
mencegah sebisa mungkin bertambahnya gangguan pada diri anak. Pada usia dini
intervensi yang dilakukan bersifat intensif, komprehensif mencakup keseluruhan
komponen tumbuh-kembang anak, fokus terhadap masalah pada tumbuh kembang, dan
kontinu. Sedangkan wilayah layanan yang diberikan meliputi deteksi dini
tumbuh-kembang, pra kondisi akademik, latihan activity daily living, latihan adaptive
behavior, upaya pencegahan cacat sekunder dengan mencermati pemberian
treatmen atau layanan, latihan peran sosial sebaya, dan memilih metode terapi
yang sesuai.
ii.
Usia sekolah
Pada usia sekolah layanan yang diberikan berawal
dari usia pra sekolah atau yang biasanya disebut usia TK. Fokusnya adalah
layanan adaptasi anak terhadap kondisi pertumbuhan fisik, perkembangan sosial,
emosi dan tingkahlaku, serta adaptasi terhadap tugas-tugas akademik. Layanan
pada tahap usia ini selain melibatkan peran lembaga akademik seperti sekolah,
juga membutuhkan peran supportif orangtua yang bekerjasama pihak-pihak terkait
layanan kebutuhan khusus anak sebagai rujukan seperti ortopedagok, dokter, dan
psikolog.
iii.
Usia transisi
No comments:
Post a Comment