Wednesday, December 16, 2020

Biografi Dewi Sartika


Dewi Sartika merupakan putri dari pasangan priyayi Sunda yaitu Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Walaupun bertentangan dengan adat yang berlaku di masyarakat, kedua orang tuanya tetap menginginkan putrinya tersebut berpendidikan. Oleh karena itu, pasangan suami istri tersebut menyekolahkan Dewi Sartika di Sakola Belanda.

Pasca wafatnya sang Ayah, dirinya diasuh oleh sang paman yang juga merupakan priyayi karena menjabat sebagai patih Cicalengka. Dari sang paman inilah dirinya mendapatkan pengetahuan tentang kebudayaan tanah leluhurnya yaitu Sunda. Sementara itu, pengetahuan tentang kebudayaan barat ia terima dari seorang nyonya asisten residen Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika memang sudah tertarik dengan kegiatan pendidikan. Sambil bermain bersama anak-anak pembantu kepatihan, Ia juga mengajarkan mereka berbagai pelajaran seperti membaca, menulis hingga bahasa Belanda. Beberapa benda seperti papan bilik kandang kereta, arang dan pecahan genting digunakannya sebagai media pembelajaran.

Pada waktu itu, Dewi Sartika baru berusia 10 tahun dan tindakan yang dilakukannya sudah menghebohkan masyarakat Cicalengka. Hal ini dikarenakan pada waktu itu beberapa anak-anak Cicalengka sudah mampu membaca, menulis, dan berbahasa Belanda. Setelah beranjak remaja, Dewi Sartika kembali lagi ke rumah Ibunya di Bandung.

Usia yang beranjak dewasa membuat Dewi Sartika optimis untuk menggapai cita-citanya. Cita-citanya tersebut juga mendapat dukungan dari pamannya yang menjabat sebagai bupati Martanagara. Meski mendapat dukungan dari paman, bukan berarti membuat dirinya mudah dalam mewujudkan cita-cita. Hal ini dikarenakan adat istiadat waktu itu sangat mengekang kaum wanita.

Akhirnya pada tahun 1902 Dewi Sartika mampu meyakinkan pamannya untuk mendirikan sekolah di belakang rumahnya di Bandung. Dirinya mengajar beberapa anggota keluarga perempuan dengan materi merendam, memasak, menulis, dan menjahit. Pada Januari 1904 setelah berkonsultasi dengan bupati Martanagara Dewi Sartika akhirnya mendirikan Sakola Istri pertama se-Hindia Belanda.

Dalam melaksanakan pembelajaran, dirinya dibantu oleh Nyi Poerwa dan Nyi Oewid. Pada waktu itu, murid di Sakola Istri terdiri dari 20 orang. Pada tahun 1905, sekolahnya menambah kelas sehingga dipindahkan ke Jalan Ciguriang Kebon Cau. Lokasi ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungannya sendiri serta sumbangan dana dari Bupati.

Angkatan pertama Sakola Istri lulus pada tahun 1909. Pada tahun-tahun berikutnya, Sakola Istri mula banyak bermunculan di wilayah Pasundan dengan membawa semangat dan cita-cita Dewi Sartika. Kemudian, pada tahun 1912 sudah ada 9 Sakola Istri se-kabupaten Pasundan. Memasuki usia yang kesepuluh, sekolah ini berganti nama menjadi Sakola Keutamaan Istri.

Seluruh wilayah Pasundan telah memiliki Sakola Keutamaan Istri di setiap daerahnya pada tahun 1920. Tidak hanya di Pasundan, semangat Dewi Sartika juga menyeberang hingga Pulau Sumatera di mana Encik Rama Saleh juga mendirikan Sakola Keutamaan Istri di Bukit Tinggi. Sejak tahun 1929 atau tepat pada 25 tahun berdirinya sekolah ini Dewi Sartika kembali mengganti namanya.

Dewi Sartika mengganti nama sekolah ini menjadi “Sakola Raden Dewi”. Atas jasanya di bidang pendidikan, maka Pemerintah Hindia Belanda menganugerahi dirinya Bintang Jasa. Pada 11 September 1947, Dewi Sartika meninggal dunia. Ia dimakamkan di desa Rahayu, Cineam, Tasikmalaya. Tiga tahun kemudian, jasadnya dipindahkan ke kompleks pemakaman Bupati Bandung.

Sebagai generasi muda, kita tentu tidak boleh melupakan jasa Dewi Sartika dalam memperjuangkan pendidikan begitu saja. Tidak hanya sekedar mengenang, semoga kita juga dapat meneladani dan terispirasi untuk melakukan hal yang sama dengan Dewi Sartika. Harapannya tentu saja agar wajah pendidikan Indonesia khususnya bagi kaum wanita lebih cerah.

No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate