Aliran-aliran dalam psikologi yaitu
sebagai berikut:
1. Aliran
Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme
dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi
semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William
James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan
baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi
sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak
menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk
itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
2. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-cirinya yang berbeda
dengan progresivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka
untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas.
Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui
indera memerlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih
dahulu. Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunyai bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang, dan waktu sudah ada
pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang
terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada
budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil
landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi
spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri.
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan tentang
hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani
yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yang
telah ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima dan
mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul
untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
3. Aliran
Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang. Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil
pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan
lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah
arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya
filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi,
karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif.
Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan
pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk
mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang
cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan problema yang
perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang
menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah
pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman
telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik,
ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak
memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan.
Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan
ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan
pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca,
menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi
pengetahuan-pengetahuan yang lain.
4. Aliran
Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang
berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme
merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut
Muhammad Noor Syam, kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia
merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan
datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa
merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis,
bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya
tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan
masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
a) Manusia
sebagai subjek pendidikan
Jika kita bicara tentang pendidikan maka yang terlintas di benak kita
adalah proses belajar mengajar di bangku sekolah, kita membayangkan ada satu
kelas siswa SD yang memakai kaos putih, celana merah, dasi merah dan topi
putih-merah yang duduk diam hikmat mendengarkan materi dari gurunya yang
terkesan galak dan menakutkan. Jika pendidikan diilustrasikan seperti itu maka
yang terbayang dalam benak kita adalah guru sebagai satu-satunya pelaku dalam pendidikan,
guru berperan penuh sebagai sumber ilmu dan siswa berperan sebagai obyek
pendidikan, sehingga dalam pikiran siswa timbul pemahaman kalau belajar itu
adalah proses menyimak & peroses mentransformasi ilmu dari guru ke siswa,
yang pada akhirnya siswa berpikir kalau proses belajar mengajar itu hanya
ada di bangku sekolah.
Dalam dekade ini timbul pemahaman baru tentang pendidikan, yang dulunya
berpikir kalau pendidikan itu hanya ada di sekolah bergeser kepemahaman baru
yaitu pemahaman kalau belajar itu tidak harus ada di bangku sekolah tapi bisa
dimana saja, mereka bisa belajar dari film, belajar dari teater, belajar dari
internet, belajar dari buku dan belajar dari kondisi real yang ada. Sehingga
pemahamannya tentang pendidikan berubah, yang dulunya belajar itu harus di
sekolah berkembang menjadi lebih luas lagi, yang dulunya belajar itu hanya
untuk anak-anak usia sekolah berkembang menjadi belajar sepanjang hayat yang
artinya tidak ada batasan umur, tidak ada batasan ruang dan waktu sehingga
timbul pemahaman baru kalau manusia itu sebagai pelaku dari pembelajaran,
sehingga timbul konsekwensi-konsekwensi dari pemahaman baru tersebut, karena
manusia itu memposisikan diri sebagai pelaku (penanggung jawab pembelajaran)
maka mereka sebagai individu dituntut untuk lebih aktif mencari ilmu dari
berbagai sumber.
Kalau kita berbicara tentang pendidikan maka kita tidak bisa lepas dari
yang namanya guru/pengajar, dewasa ini peran guru berubah dari pemberi materi
utama menjadi pembimbing ”pengarah dalam proses belajar-mengajar”, kalau kita
lihat dari posisi murid yang dulunya sebagai penerima materi berubah menjadi
pencari materi “ pencari ilmu pengetahuan”, perubahan itu secara filosofis
memiliki arti dan maksud yang sangat berbeda dari pemahaman lama. Di dalam pendidikan
selain ada guru dan murid/pencari ilmu yang berperan sebagai subyek maka objek
dari pendidikan adalah ilmu itu sendiri. Untuk memahami itu semua secara lebih
dalam lagi perlu dikaji secara filosofis dari pengertian-pengertian tersebut
b) Mutu
pendidikan
Definisi mutu memiliki
konotasi yang bermacam – macam tergantung orang yang memakainya. Mutu berasal
dari bahasa latin yakni “Qualis” yang
berarti what kind of (tergantung kata apa yang mengikutinya). Mutu
menurut Deming ialah kesesuaian dengan kebutuhan. Mutu menurut Juran ialah
kecocokan dengan kebutuhan.
Menurut
Philip H. Coombs melihat konsep mutu pendidikan tidak hanya diukur dari
prestasi belajar, seperti yang dikaitkan dengan kurikulum dan standarnya saja
tetapi mutu harus dilihat dari segi relevansi dan sejauh mana apa yang
diajarkan dan dipelajari itu sesuai dengan kebutuhan belajar saat ini dan untuk
masa yang akan datang. Lebih jauh dikemukakan bahwa masalah mutu pendidikan
hendaknya dikaitkan dengan keseluruhan dimensi mutu secara sistemik yang
berubah dari masa ke masa.
Beeby melihat mutu
pendidikan dari tiga perspektif yaitu : perspektif ekonomi, sosiologi dan
pendidikan. Berdasarkan perspektif ekonomi, yang bermutu adalah pendidikan yang
mempunyai kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Lulusan pendidikan
secara langsung dapat memenuhi angkatan kerja di dalam berbagai sektor ekonomi.
Dengan bekerjanya mereka pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih tinggi.
Menurut pandangan sosiologi, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang
bermanfaat terhadap seluruh masyarakat dilihat dari berbagai kebutuhan
masyarakat, seperti mobilitas sosial, perkembangan budaya, pertumbuhan
kesejahteraan, dan pembebasan kebodohan. Sedangkan menurut perspektif
pendidikan, melihat mutu pendidikan dari sisi pengayaan (richness) dari proses belajar mengajar dan dari segi kemampuan
lulusan dalam hal memecahkan masalah. Sedangkan menurut Hari Sudradjad
pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan atau kompetensi, baik kompetensi akademik maupun kompetensi
kejuruan, yang dilandasi oleh kompetensi personal dan sosial, serta nilai –
nilai akhlak mulia, yang keseluruhannya merupakan kecakapan hidup (life skill), lebih lanjut Sudradjad
mengemukakan pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan
manusia seutuhnya (manusia paripurna) atau manusia dengan pribadi yang integral
(integrated personality) yaitu mereka
yang mampu mengintegralkan iman, ilmu dan amal
No comments:
Post a Comment