2.1. Kemampuan
Mengenal Warna
2.1.1. Karakteristik Anak Usia Prasekolah
Lima tahun pertama anak
disebut sebagai The Golden Years. Anak mengalami kecepatan kemajuan yang
menakjubkan pada tahun–tahun tersebut. Tidak hanya fisik, tetapi juga secara
sosial dan emosional. Anak bukan seorang bayi lagi, melainkan “aku” yang sedang
dalam proses awal mencari jati diri. Anak
sudah menjadi cikal bakal manusia dewasa. Anak
menjadi sulit diatur, mulai sadar
bahwa dirinya juga manusia yang mandiri, lantas ingin
menunjukkan “keakuannya” (Hurlock, 1996: 108–109).
Selain mengalami
perkembangan yang dikemukakan di atas, anak prasekolah juga melalui beberapa
tugas perkembangan, yaitu:
a. Anak sudah mulai membedakan jenis kelamin. Anak
mulai belajar mengerti mengenai penampilan seks yang benar dan mengerti tentang
perilaku seks yang benar.
b. Anak mencapai stabilitas fisiologis. Anak sudah
dapat membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosiologis dan fisiologis
yang ditandai dengan:
1) Anak
mulai belajar tentang pengertian benar dan salah.
2) Belajar
berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung dan orang lain.
3) Belajar
kecakapan fisik yang diperlukan untuk permainan anak–anak.
4) Belajar
bergaul dengan teman sebayanya.
Ciri khas pada masa
kanak–kanak awal dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Masa kanak–kanak awal merupakan “Preschool Age.” Masa
ini adalah masa anak sebelum anak masuk pendidikan formal.
b.
Masa kanak–kanak awal adalah masa “Pregang Age.” Anak
belajar dasar– dasar dari tingkah laku untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan
bersama.
c.
Masa kanak–kanak awal adalah masa “Hunter Age.” Anak
senang menyelidiki dan ingin tahu lingkungan disekitarnya.
d.
Masa kanak–kanak awal adalah “Problem Age.” Anak
menunjukkan banyak problem tingkah laku yang harus diperhatikan oleh orang tua.
2.1.2. Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah
a. Pengertian Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif yang
digambarkan Piaget (dalam Sujiono, 2009:23), merupakan proses adaptasi
intelektual. Adaptasi ini merupakan proses yang melibatkan skemata, asimilasi,
akomodasi dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa
ide, konsep, gagasan. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai
dengan struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses
pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki
oleh individu.
Perkembangan kognitif
sering diidentikkan dengan perkembangan kecerdasan. Perkembangan kognitif
merupakan dasar bagi perkembangan intelegensi pada anak. Pada anak usia dini
pengetahuan masih bersifat subjektif, dan akan berkembang menjadi objektif
apabila sudah mencapai perkembangan remaja dan dewasa. Hal tersebut senada
dengan observasi yang telah dilakukan Piaget yang mengemukakan bahwa “Anak
mampu mendemontrasikan berbagai pengaruh mengenai relativitas dunia sejak lahir
hingga dewasa” (Yudha dan Rudyanto, 2004:199).
Kemampuan kognitif seseorang berkaitan dengan bagaimana individu dapat
mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan
memikirkan lingkungannya. “Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek
perkembagan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan
memikirkan lingkungannya” (Desmita, 2005:103).
Perkembangan kognitif menurut Piaget (Aisyah et al, 2008:5-6) terjadi
melalui suatu proses yang disebut adaptasi. Adaptasi merupakan penyesuaian
terhadap tuntutan lingkungan dan intelektual melalui dua hal yaitu asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses yang anak upayakan untuk menafsirkan
pengalaman barunya yang didasarkan pada interpretasinya saat sekarang mengenai
dunianya. Akomodasi terjadi dimana anak berusaha untuk menyesuaikan keberadaan
struktur pikiran dengan sejumlah pengalaman baru.
Menurut Piaget (Desmita, 2005:103) “….anak membangun secara aktif dunia
kognitif mereka sendiri. Anak tidak pasif menerima informasi, melainkan
berperan aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas”. Jika anak
ingin mengetahui sesuatu, mereka harus membangun pengetahuan tersebut sendiri.
Pembelajaran yang diharapkannya adalah pembelajaran yang aktif, dimana peran guru
sebagai penyedia bahan-bahan yang sesuai, seperti ruangan serta
petunjuk-petunjuk yang mendorong anak untuk menemukan sendiri.
Perkembangan kognitif muncul dari konteks kerjasama atau kolaborasi atau
dialog antara orang yang lebih ahli dengan mencontohkan kegiatan dan
menyampaikan pelajaran secara verbal. Pembelajaran diterapkan dengan
partisipasi terbimbing dari guru atau orang yang lebih ahli. Pembelajaran yang
diberi dorongan dari orang yang lebih ahli cenderung menghasilkan pemahaman
yang lebih. Pemberian dorongan atau bantuan harus dilakukan dengan hati-hati,
disesuaikan dengan situasi pembelajaran agar meningkatkan pemahaman tentang
suatu masalah.
Pengetahuan tentang
perkembangan kognitif anak usia dini dapat membantu peran guru sebagai
pembimbing pembelajaran yaitu dengan menyusun kegiatan pembelajaran yang
menyajikan materi kegiatan anak agar dapat menemukan sendiri konsep atau
pemahaman, memberikan pelajaran atau saran yang dapat membantu anak dengan cara
hati-hati yang disesuaikan dengan kemampuan anak saat itu, memonitor kemampuan
belajar anak, dan melatih anak untuk belajar berkolaborasi dimana anak didorong
untuk saling membantu satu sama lain.
Akomodasi adalah proses
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibration adalah
pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan
akomodasi. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai aktivitas mental berpikir, menalar, dan memecahkan masalah.
Individu dalam sebagian besar masyarakat menempatkan kecerdasan, dan untuk
alasan yang tepat, pada nilai yang tinggi. Individu yang cerdas juga lebih
mungkin menjadi pemimpin dalam suatu kelompok.
Kemampuan intelektual atau
fisik tertentu yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan memadai
bergantung pada persyaratan kemampuan dan pekerjaan tersebut.
b. Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
Konsep perkembangan
kognitif juga dikembangkan Jerome Bruner, bahwa proses belajar adalah adanya
pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku individu, maka perkembangan individu
terajadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.
Tahap ini meliputi enactive, iconic, dan symbolic.
Tahap enactive yaitu
individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan
sekitarnya. Memahami dunia sekitarnya dengan pengetahuan motorik. Tahap iconic
yaitu individu memahami objek-objek
atau dunianya melalui gambar dan visualisasi verbal. Tahap symbolic yaitu
individu mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan yang abstrak yang sangat
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Memahami dunia
sekitarnya melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya
(Bruner, dalam Sujiono, 2010: 24).
Perkembangan kognitif
merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan pada anak usia dini.
Gunarsa mengemukakan bahwa kognitif adalah fungsi mental yang meliputi
persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah (Dewi, 2005: 11).
Kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan semua proses
psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan,
mengamati, membayangkan, memperkenalkan, memulai, dan memikirkan lingkungannya.
Piaget mengemukakan empat
tahapan perkembangan kognitif anak (Suyanto, 2005: 53–67). Piaget berpendapat
bahwa semua anak mempunyai pola perkembangan kognitif yang sama. Empat tahapan
perkembangan kognitif anak tersebut adalah:
1) Tahap Sensorimotor (0–2 Tahun)
Bayi membangun pemahaman
tentang dunia dengan menkoordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan
fisik. Bayi lebih banyak menggunakan refleks dan indera untuk berinteraksi
dengan lingkungan sekitar. Bayi mulai menggunakan pikiran simbolis pada akhir
tahap ini.
Pada tahap ini inteligensi sensori-motor dipandang
sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah
untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai
apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat
primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi
pondasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak.
Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object
permanence (benda tetap).
Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia
dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18
- 24 bulan barulah kemampuan object
permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. Pada
tahap ini menggambarkan seseorang berfikir melalui gerak tubuh, maksudnya
kemampuan untuk belajar dan meningkatkan kemampuan intelektual berkembang
sebagai suatu hasil dari perilaku gerak dan konsekuensinya
2) Tahap Praoperasional (2–7 Tahun)
Anak mulai menunjukkan
pemikiran simbolis melalui kata–kata dan gambar. Anak dapat melakukan permainan
simbolis, seperti bermain peran. Selain itu, anak dapat melakukan imitasi
langsung maupun tertunda. Pemikiran anak masih intuitif, irreversible (satu
arah), dan belum logis. Egosentris anak masih sangat tinggi, sehingga belum
mampu melihat perspektif orang lain. Ciri khas masa ini adalah anak belum mampu
melakukan konversi.
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan
sempurna tentang object permanence.
Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda
yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau
sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap
eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor,
yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Periode ini ditandai oleh adanya egosentris serta
pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight
learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar
serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Pada
tahap ini anak masih belum memiliki kemampuan untuk berpikir logis atau
operasional. Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk mempresentasikan
lingkungan secara kognitif. Piaget membaginya menjadi dua sub bagian, yaitu:
prakonseptual (2-4 tahun) dan intuitif (4-7 tahun).
3) Tahap Operasional Konkrit (7–11 tahun)
Anak dapat melakukan
memecahkan persoalan sederhana yang bersifat konkrit. Anak dapat melakukan
penalaran logis selama ada contoh yang nyata atau konkrit. Pada tahap ini,
pemikiran anak sudah bersifat reversible (berpikir balik). Anak dapat
melakukan konversi dan klasifikasi.
4) Tahap Operasional Formal (11 Tahun Keatas)
Anak dapat melakukan
penalaran dengan cara yang lebih abstrak, idealis, dan logis. Pikiran anak
tidak lagi terbatas pada hal – hal yang ada dihadapan anak. Anak menjadi lebih
sistematis dalam memecahkan masalah dan dapat mengembangkan hipotesis.
Menurut Piaget
tahapan-tahapan di atas selalu dialami oleh anak, dan tidak akan pernah ada
yang dilewatinya meskipun tingkat kemampuan anak berbeda-beda. Tahapan-tahapan
ini akan meningkat lebih kompleks dari pada masa awal dan kemampuan kognitif
anak pun akan bertambah.
Melihat tahapan
perkembangan di atas maka anak usia dini berada pada tahapan
praoperasional-intuitif. Anak sudah mengenal kegiatan mengelompokkan, mengukur,
dan menghubungkan objek-objek, namun mereka belum sadar mengenai
prinsip-prinsip yang melandasinya. Karakteristik anak pada tahap ini yaitu
pemusatan perhatian pada satu dimensi dan mengesampingkan dimensi lainnya.
Perkembangan fisik anak pun sudah mulai melakukan berbagai bentuk gerak dasar
yang dibutuhkannya seperti berjalan, berlari, melempar, dan menendang. Hal
tersebut harus diperhatikan oleh guru TK agar memberikan pembelajaran yang
dapat memfasilitasi perkembangan kognitif anak secara optimal
c. Karakteristik Perkembangan
Menurut Yudha dan Rudyanto
(2004:11), perkembangan kognitif pada setiap tahapannya memiliki karakteristik
tersendiri yang membedakan dengan tahapan yang lainnya. Adapun cara berfikir
anak usia dini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Transductive
reasoning, artinya anak berfikir yang bukan induktir atau deduktif tetapi
tidak logis.
2) Ketidakjelasan
hubungan sebab akibat, artinya anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak
logis.
3) Animism,
artinya anak menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya.
4) Artificial,
artinya anak mempercayai bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa
seperti manusia.
5) Perceptually
bound, artinya anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihatnya atau
yang didengarnya.
6) Mental
experiments, artinya anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban
dari persoalan yang dihadapinya.
7) Centration,
artinya anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik
dan mengabaikan ciri yang lainnya.
8) Egocentrisme,
artinya anak melihat dunia di lingkungannya menurut kehendak dirinya sendiri.
Melihat karakteristik cara
berfikir anak pada tahapan ini dapat disimpulkan bahwa anak dalam tahap
praoperasional telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai
hal di luar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang
terorganisasi tetapi anak sudah dapat memahami realitas di lingkungannya dengan
menggunakan benda-benda dan simbol. Cara berfikirnya masih bersifat tidak
sistematis, tidak konsisten dan tidak logis.
Karakteristik secara kognitif anak usia TK adalah sebagai
berikut :
1)
Anak TK umumnya telah terampil dalam berbahasa.
Sebagian besar dari mereka senang bicara, khususnya dalam kelompoknya.
Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara. Sebagian dari mereka perlu
dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
2)
Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi,
minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Cara mengembangkan agar anak
dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara sebagai berikut:
a.
Lakukan interaksi sesering mungkin dan bervariasi
dengan anak.
b.
Tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan
dikatakan anak.
c.
Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan
mendapatkan pengalaman dalam banyak hal.
d.
Berikan kesempatan dan doronglah anak untuk melakukan
berbagai kegiatan secara mandiri.
e.
Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan
keterampilan dalam berbagai tingkah laku.
f.
Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan
oleg lingkungannya.
g.
Kagumilah apa yang dilakukan anak.
h.
Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan
dengan hangat dan dengan ketulusan hati.
d. Tujuan Pengembangan Kognitif
Pengembangan kognitif
bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir anak supaya dapat mengolah perolehan
belajarnya, dapat menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah,
membantu anak untuk mengembangkan kemapuan logika matematikanya dan pengetahuan
akan ruang dan waktu, serta mempunyai kemampuan untuk memilah-milah,
mengelompokkan serta mempersiapkan pengembangan kemampuan berpikir teliti (Depdiknas,
2006: 8).
Singkatnya, perkembangan
kognitif ditandai dengan kecakapan mengemukakan beberapa alternatif secara
simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang
berurutan dalam berbagai situasi. Menurut Bruner (dalam Sujiono, 2010: 24),
perkembangan kognitif individu dapat ditingkatkan melalui penyusunan materi
pelajaran dan mempresentasikannya sesuai dengan tahap perkembangan individu
tersebut. Penyusunan materi pelajaran dan penyiapannya dapat dimulai dari
meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang
sama dalam cakupan yang lebih rinci.
Perkembangan kognitif yang
digambarkan oleh Bruner merupakan proses discovery learning (belajar
penemuan), yaitu penemuan konsep. Pemahaman konsep yaitu tindakan memahami
kategori atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Pembentukan konsep
adalah tindakan membentuk kategori baru.
Jean Piaget (dalam Sujiono,
2010: 25) menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap
perkembangan bahasa seseorang, sedangkan Bruner menyatakan perkembangan bahasa
besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Dalam memahami dunia
sekitarnya individu belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika, dan
sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol.
Semakin matang individu dalam proses berpikirnya semakin dominan sistem
simbolnya.
Ausubel (dalam Sujiono,
2010: 25) mengemukakan bahwa belajar sebagai reception learning. Jika discovery
learning mengemukakan pada pembalajaran induktif, maka reception
learning merupakan pembelajaran deduktif. Salah satu konsep penting dalam reception
learning adalah advance organizer sebagai kerangka konseptual
tentang isi pelajaran yang akan dipelajari individu. Advance organizer adalah
statement perkenalan yang menghubungkan antara skemata yang sudah
dimiliki oleh individu dengan informasi yang baru yang akan dipelajarinya.
Fungsi advance
organizer adalah memberi bimbingan untuk memahami informasi baru. Advance
organizer dapat menjadi jembatan antara materi pelajaran atau informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki individu. Pemberian advance
organizer bertujuan untuk memberi arahan bagi individu mengetahui apa yang
terpenting dari materi yang dipelajari dan juga memberi penguatan terhadap
pengetahuan yang diperoleh atau dipelajari.
e. Implikasi
Perkembangan Kognitif bagi Pembelajaran
Setelah mengetahui
definisi dari perkembangan kognitif, tahap-tahap perkembangan kognitif dan
karakteristik perkembangan kognitif anak usia dua sampai tujuh tahun (tahap
praoperasional), diharapkan guru TK dapat menyajikan pembelajaran bagi anak
didiknya sesuai dengan tahapan perkembangan dan karakteristik perkembangan anak
usia dini. Tujuannya yaitu agar perkembangan anak dapat terfasilitasi dengan
baik sehingga tugas-tugas perkembangannya dapat tercapai secara optimal dan
anak pun merasa senang dalam mengikuti pembelajaran karena guru menyajikannya
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anak. Sehingga tidak aka nada pembelajaran
yang dipaksakan serta pembelajaran yang berpusat pada guru.
Implikasi perkembangan
kognitif bagi pembelajaran sangat berpengaruh besar untuk keberhasilan
pembelajaran di setiap tahap perkembangan. Khususnya untuk pembelajaran di
tingkat pendidikan anak usia dini dapat diimplikasikan pada setiap komponen
pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai optimal.
2.1.3.
Konsep Warna
Warna termasuk salah satu
unsur keindahan dalam seni dan desain selain unsur–unsur visual yang lain
(Prawira, 1989: 4). Lebih lanjut, Sanyoto (2005: 9) mendefinisikan warna secara
fisik dan psikologis. Warna secara fisik adalah sifat cahaya yang dipancarkan,
sedangkan secara psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan.
Nugraha (2008: 34) mengatakan bahwa warna adalah kesan yang diperoleh mata dari
cahaya yang dipantulkan oleh benda–benda yang dikenai cahaya tersebut.
Selanjutnya, Laksono
(1998: 42) mengemukakan bahwa warna merupakan bagian dari cahaya yang
diteruskan atau dipantulkan. Terdapat tiga unsur yang penting dari pengertian
warna, yaitu benda, mata dan unsur cahaya. Secara umum, warna didefinisikan
sebagai unsur cahaya yang dipantulkan oleh sebuah benda dan selanjutnya
diintrepetasikan oleh mata berdasarkan cahaya yang mengenai benda tersebut.
Warna dapat ditinjau dari
dua sudut pandang, dari ilmu fisika dan ilmu bahan (Nugraha, 2008: 34). Lebih
lanjut, warna dibagi menjadi dua menurut asal kejadian warna, yaitu warna additive
dan subtractive (Sanyoto, 2005: 17–19). Warna additive adalah
warna yang berasal dari cahaya dan disebut spektrum. Sedangkan warna subtractive
adalah warna yang berasal dari bahan dan disebut pigmen. Kejadian warna ini
diperkuat dengan hasil temuan Newton (Prawira, 1989: 26) yang mengungkapkan
bahwa warna adalah fenomena alam berupa cahaya yang mengandung warna spektrum
atau pelangi dan pigmen. Menurut Prawira (1989: 31), pigmen adalah pewarna yang
larut dalam cairan pelarut.
Pada tahun 1831, Brewster
(Nugraha, 2008: 35) mengemukakan teori tentang pengelompokan warna. Teori
Brewster membagi warna–warna yang ada di alam menjadi empat kelompok warna,
yaitu warna primer, sekunder, tersier, dan netral. Kelompok warna mengacu pada
lingkaran warna teori Brewster dipaparkan sebagai berikut:
a. Warna Primer
Warna primer adalah warna
dasar yang tidak berasal dari campuran dari warna–warna lain. Menurut teori
warna pigmen dari Brewster, warna primer adalah warna–warna dasar (Nugraha,
2008: 37). Warna–warna lain terbentuk dari kombinasi warna–warna primer.
Menurut Prang, warna primer tersusun atas warna merah, kuning, dan hijau
(Nugraha, 2008: 37, Prawira, 1989: 21). Akan tetapi, penelitian lebih lanjut
menyatakan tiga warna primer yang masih dipakai sampai saat ini, yaitu merah
seperti darah, biru seperti langit/laut, dan kuning seperti kuning telur.
Ketiga warna tersebut dikenal sebagai warna pigmen primer yang dipakai dalam
seni rupa.
Secara teknis, warna
merah, kuning, dan biru bukan warna pigmen primer. Tiga warna pigmen primer
adalah magenta, kuning, dan cyan. Oleh karena itu, apabila
menyebut merah, kuning, biru sebagai warna pigmen primer, maka merah adalah
cara yang kurang akurat untuk menyebutkan magenta, sedangkan biru adalah
cara yang kurang akurat untuk menyebutkan cyan.
b. Warna Sekunder
Warna sekunder merupakan
hasil campuran dua warna primer dengan proporsi 1:1. Teori Blon (Prawira, 1989:
18) membuktikan bahwa campuran warna–warna primer menghasilkan warna–warna
sekunder. Warna jingga merupakan hasil campuran warna merah dengan kuning.
Warna hijau adalah campuran biru dan kuning. Warna ungu adalah campuran merah
dan biru.
c. Warna Tersier
Warna tersier merupakan
campuran satu warna primer dengan satu warna sekunder. Contoh, warna jingga
kekuningan didapat dari pencampuran warna primer kuning dan warna sekunder
jingga. Istilah warna tersier awalnya merujuk pada warna–warna netral yang
dibuat dengan mencampur tiga warna primer dalam sebuah ruang warna. Pengertian
tersebut masih umum dalam tulisan– tulisan teknis.
d. Warna Netral
Warna netral adalah hasil
campuran ketiga warna dasar dalam proporsi 1:1:1. Campuran menghasilkan warna
putih atau kelabu dalam sistem warna cahaya aditif, sedangkan dalam sistem
warna subtraktif pada pigmen atau cat akan menghasilkan coklat, kelabu, atau
hitam. Warna netral sering muncul sebagai penyeimbang warna–warna kontras di
alam.
Munsell (Prawira, 1989:
70) mengemukakan teori yang mendukung teori Brewster. Munsell mengatakan bahwa:
“Tiga warna utama
sebagai dasar dan disebut warna primer, yaitu merah (M), kuning (K), dan biru
(B). Apabila warna dua warna primer masing–masing dicampur, maka akan
menghasilkan warna kedua atau warnasekunder. Bila warna primer dicampur dengan
warna sekunder akan dihasilkan warna ketiga atau warna tersier. Bila antara
warna tersier dicampur lagi dengan warna primer dan sekunder akan dihasilkan
warna netral.”
Rumus teori Munsell dapat
digambarkan sebagai berikut:
Warna primer : Merah, Kuning, Biru
Warna Sekunder : Merah + Kuning = Jingga
Merah + Biru = Ungu
Kuning + Biru = Hijau
Warna Tersier : Jingga + Merah = Jingga kemerahan
Jingga + Kuning = Jingga kekuningan
Ungu + Merah = Ungu kemerahan
Ungu + Biru = Ungu kebiruan
Hijau + Kuning = Hijau kekuningan
Hijau + Biru = Hijau kebiruan
2.1.4. Pembelajaran Tentang Mengenal Warna
Pembelajaran mengenal
warna merupakan salah satu indikator dari perkembangan kognitif anak di Taman
Kanak–Kanak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengenalan warna
(Nugraha, 2008: 44), antara lain:
a.
Sesuai perkembangan kognitif dan cara berpikir anak.
b.
Penggunaan sumber belajar yang tersedia dan dekat
dengan lingkungan anak.
c.
Konsisten menggunakan contoh dan aktivitas yang
beragam, sehingga anak kaya dengan pengalaman belajar tentang warna.
d.
Kreatif dan bertanggung jawab dalam pembelajaran supaya
anak memahami warna secara utuh.
Pengenalan warna pada anak
usia prasekolah di Taman Kanak–kanak dapat dilakukan dengan praktik langsung.
Praktik langsung yang dimaksud adalah praktik langsung dalam pandangan luas,
yaitu pembelajaran dengan berbagai metode untuk menjadi perantara keberagaman
anak didik di kelas. Anak terlibat aktif dalam kegiatan dan dapat memanipulasi
warna secara langsung. Praktik langsung pengenalan warna di Taman Kanak–Kanak
dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain:
a. Praktik Langsung
Praktik langsung sebagai
metode adalah praktik langsung secara sempit (hands–on activity). Anak
terlibat aktif dalam memanipulasi material dan objek pembelajaran, yaitu warna.
Tidak ada tahapan yang khusus untuk pelaksanaan praktik langsung, akan tetapi
terdapat beberapa panduan tentang langkah–langkah
yang dapat dilakukan sesuai proses pemikiran ilmiah
yaitu:
1)
Pada tahap persiapan, guru menyiapkan lingkungan
pembelajaran yang kondusif bagi kegiatan pembelajaran. Guru menyiapkan situasi
pembelajaran yang beragam sehingga anak tertarik untuk mengamati,
mengeksplorasi, dan melakukan percobaan. Selain itu, perlu disiapkan alat dan
media yang mendukung proses pembelajaran dan sistem penilaian yang sesuai. Pada
pengenalan warna, alat yang digunakan dapat berupa kertas warna, cat poster,
kuas, dan krayon. Penilaian yang biasa digunakan dalam praktik langsung adalah
portofolio dan daftar cek observasi.
2)
Tahap pelaksanaan
a)
Aktivitas dimulai dengan pengamatan terhadap objek atau
fenomena.
Pengenalan warna dimulai dengan
mengamati warna. Aktivitas harus memotivasi anak untuk bertanya secara alami
dan anak harus bereksplorasi dengan melakukan kegiatan dan memahami fakta yang
ditemukan.
b)
Guru mendorong anak untuk memperhatikan aspek atau
situasi yang umumnya terlewatkan dalam kondisi normal. Eggers (2010) menambahkan
bahwa bentuk stimulasi dapat berupa pertanyaan–pertanyaan terbuka. Pertanyaan
terbuka adalah pertanyaan yang tidak mempunyai satu “jawaban benar” dan membantu anak membuat
prediksi tentang suatu fenomena ilmiah. Pertanyaan terbuka bertujuan untuk
membangkitkan rasa ingin tahu anak untuk melakukan kegiatan. Contoh pertanyaan
terbuka tentang warna adalah tentang proses terjadinya warna sekunder dan
tersier.
c)
Anak melakukan percobaan secara langsung untuk menjawab
prediksi dan pertanyaan dalam diri anak (Eggers, 2010). Guru berperan sebagai
fasilitator dan motivator. Guru bertugas menyediakan alat yang dapat digunakan
anak untuk merekam kegiatan yang dilakukan, seperti kertas, cat poster, kuas,
dan krayon.
d)
Setelah kegiatan selesai, anak harus merefleksikan
prediksi awal dengan hasil yang didapat.
Menurut Eggers (2010:25),
anak belajar paling baik dari pemahaman sendiri daripada diberitahu fakta oleh
guru. Anak mengetahui proses perubahan warna karena anak mengalami sendiri
perubahan warna tersebut. Peran guru adalah membantu anak mengevaluasi
perbedaan dari prediksi suatu fenomena dan fakta ilmiah yang ada.
Menurut Lumpe dan Oliver (Eggers,
2010:26), praktik langsung pengenalan warna akan semakin bermakna apabila
menggunakan berbagai kegiatan untuk membuat suatu penemuan. Selain itu, jumlah
kegiatan pada setiap pokok bahasan dilakukan lebih dari tiga kali dan setiap
kegiatan memiliki fokus pada pokok bahasan tertentu.
b. Demonstrasi
Metode demonstrasi
mengembangkan kemampuan mengamati secara teliti tentang warna. Kegiatan ini
bertujuan supaya anak memahami langkah – langkah melakukan kegiatan yang benar
(Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 31). Guru menunjukkan dan menjelaskan
per tahap pengenalan warna secara konkrit. Anak dapat mengkomunikasikan pengamatan
tentang warna, menirukan, dan mempraktikkan secara langsung kegiatan mengenal
warna. Salah satu kegiatan yang dapat menggunakan metode ini adalah kegiatan
mencampur warna. Penilaian berdasarkan pada hasil karya anak.
c. Eksperimen
Metode eksperimen
mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah anak. Contoh kegiatan dengan metode
eksperimen adalah mencampur warna. Anak dilibatkan dalam pengalaman langsung
tentang perubahan warna. Guru memberikan contoh hasil eksperimen warna dan anak
mencari tahu proses terjadinya warna tersebut melalui percobaan. Melalui metode
eksperimen, anak belajar menemukan fakta–fakta tentang warna dan mencari tahu
sebab perubahan warna (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 32). Penilaian
berdasarkan unjuk kerja anak.
d. Pemberian tugas
Guru memberikan tugas yang
berkaitan tentang warna pada anak. Pemberian tugas dapat berupa mencampur
warna, mewarnai gambar, dan menggambar bebas. Anak mengenal warna melalui
pemilihan warna–warna saat melakukan tugas tersebut. Penilaian berdasarkan pada
hasil karya anak.
e. Bercakap–cakap
Metode bercakap–cakap
berfungsi sebagai proses pemahaman anak terhadap warna. Proses ini meliputi
proses mengingat tanpa objek (recall) dan dengan contoh objek (recognition).
f. Bermain
Metode bermain juga dapat
digunakan dalam pembelajaran mengenal warna. Pengenalan warna dilakukan dengan
alat bantu permainan, dapat berupa senter dan plastik transparan yang
berwarna–warni. Anak belajar mengenal warna dan perubahan warna melalui cahaya
yang keluar dari senter (Nugraha, 2008: 44).
No comments:
Post a Comment