Friday, March 1, 2019

Mengenalkan Warna Pada Anak Usia Dini

2.1.    Kemampuan Mengenal Warna
2.1.1. Karakteristik Anak Usia Prasekolah
Lima tahun pertama anak disebut sebagai The Golden Years. Anak mengalami kecepatan kemajuan yang menakjubkan pada tahun–tahun tersebut. Tidak hanya fisik, tetapi juga secara sosial dan emosional. Anak bukan seorang bayi lagi, melainkan “aku” yang sedang dalam proses awal mencari jati diri. Anak
sudah menjadi cikal bakal manusia dewasa. Anak menjadi sulit diatur, mulai sadar
bahwa dirinya juga manusia yang mandiri, lantas ingin menunjukkan “keakuannya” (Hurlock, 1996: 108–109).
Selain mengalami perkembangan yang dikemukakan di atas, anak prasekolah juga melalui beberapa tugas perkembangan, yaitu:
a. Anak sudah mulai membedakan jenis kelamin. Anak mulai belajar mengerti mengenai penampilan seks yang benar dan mengerti tentang perilaku seks yang benar.
b. Anak mencapai stabilitas fisiologis. Anak sudah dapat membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosiologis dan fisiologis yang ditandai dengan:
1)      Anak mulai belajar tentang pengertian benar dan salah.
2)      Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung dan orang lain.
3)      Belajar kecakapan fisik yang diperlukan untuk permainan anak–anak.
4)      Belajar bergaul dengan teman sebayanya.
Ciri khas pada masa kanak–kanak awal dapat diuraikan sebagai berikut:
a.    Masa kanak–kanak awal merupakan “Preschool Age.” Masa ini adalah masa anak sebelum anak masuk pendidikan formal.
b.    Masa kanak–kanak awal adalah masa “Pregang Age.” Anak belajar dasar– dasar dari tingkah laku untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan bersama.
c.    Masa kanak–kanak awal adalah masa “Hunter Age.” Anak senang menyelidiki dan ingin tahu lingkungan disekitarnya.
d.   Masa kanak–kanak awal adalah “Problem Age.” Anak menunjukkan banyak problem tingkah laku yang harus diperhatikan oleh orang tua.

2.1.2. Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah
a. Pengertian Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif yang digambarkan Piaget (dalam Sujiono, 2009:23), merupakan proses adaptasi intelektual. Adaptasi ini merupakan proses yang melibatkan skemata, asimilasi, akomodasi dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep, gagasan. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu.
Perkembangan kognitif sering diidentikkan dengan perkembangan kecerdasan. Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi perkembangan intelegensi pada anak. Pada anak usia dini pengetahuan masih bersifat subjektif, dan akan berkembang menjadi objektif apabila sudah mencapai perkembangan remaja dan dewasa. Hal tersebut senada dengan observasi yang telah dilakukan Piaget yang mengemukakan bahwa “Anak mampu mendemontrasikan berbagai pengaruh mengenai relativitas dunia sejak lahir hingga dewasa” (Yudha dan Rudyanto, 2004:199).
Kemampuan kognitif seseorang berkaitan dengan bagaimana individu dapat mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. “Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembagan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya” (Desmita, 2005:103).
Perkembangan kognitif menurut Piaget (Aisyah et al, 2008:5-6) terjadi melalui suatu proses yang disebut adaptasi. Adaptasi merupakan penyesuaian terhadap tuntutan lingkungan dan intelektual melalui dua hal yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses yang anak upayakan untuk menafsirkan pengalaman barunya yang didasarkan pada interpretasinya saat sekarang mengenai dunianya. Akomodasi terjadi dimana anak berusaha untuk menyesuaikan keberadaan struktur pikiran dengan sejumlah pengalaman baru.
Menurut Piaget (Desmita, 2005:103) “….anak membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Anak tidak pasif menerima informasi, melainkan berperan aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas”. Jika anak ingin mengetahui sesuatu, mereka harus membangun pengetahuan tersebut sendiri. Pembelajaran yang diharapkannya adalah pembelajaran yang aktif, dimana peran guru sebagai penyedia bahan-bahan yang sesuai, seperti ruangan serta petunjuk-petunjuk yang mendorong anak untuk menemukan sendiri.
Perkembangan kognitif muncul dari konteks kerjasama atau kolaborasi atau dialog antara orang yang lebih ahli dengan mencontohkan kegiatan dan menyampaikan pelajaran secara verbal. Pembelajaran diterapkan dengan partisipasi terbimbing dari guru atau orang yang lebih ahli. Pembelajaran yang diberi dorongan dari orang yang lebih ahli cenderung menghasilkan pemahaman yang lebih. Pemberian dorongan atau bantuan harus dilakukan dengan hati-hati, disesuaikan dengan situasi pembelajaran agar meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah.
Pengetahuan tentang perkembangan kognitif anak usia dini dapat membantu peran guru sebagai pembimbing pembelajaran yaitu dengan menyusun kegiatan pembelajaran yang menyajikan materi kegiatan anak agar dapat menemukan sendiri konsep atau pemahaman, memberikan pelajaran atau saran yang dapat membantu anak dengan cara hati-hati yang disesuaikan dengan kemampuan anak saat itu, memonitor kemampuan belajar anak, dan melatih anak untuk belajar berkolaborasi dimana anak didorong untuk saling membantu satu sama lain.
Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental berpikir, menalar, dan memecahkan masalah. Individu dalam sebagian besar masyarakat menempatkan kecerdasan, dan untuk alasan yang tepat, pada nilai yang tinggi. Individu yang cerdas juga lebih mungkin menjadi pemimpin dalam suatu kelompok.
Kemampuan intelektual atau fisik tertentu yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan memadai bergantung pada persyaratan kemampuan dan pekerjaan tersebut.
b. Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
Konsep perkembangan kognitif juga dikembangkan Jerome Bruner, bahwa proses belajar adalah adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku individu, maka perkembangan individu terajadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Tahap ini meliputi enactive, iconic, dan symbolic.
Tahap enactive yaitu individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan sekitarnya. Memahami dunia sekitarnya dengan pengetahuan motorik. Tahap iconic yaitu individu memahami objek-objek  atau dunianya melalui gambar dan visualisasi verbal. Tahap symbolic yaitu individu mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan yang abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Memahami dunia sekitarnya melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya (Bruner, dalam Sujiono, 2010: 24).
Perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan pada anak usia dini. Gunarsa mengemukakan bahwa kognitif adalah fungsi mental yang meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah (Dewi, 2005: 11). Kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkenalkan, memulai, dan memikirkan lingkungannya.
Piaget mengemukakan empat tahapan perkembangan kognitif anak (Suyanto, 2005: 53–67). Piaget berpendapat bahwa semua anak mempunyai pola perkembangan kognitif yang sama. Empat tahapan perkembangan kognitif anak tersebut adalah:
1) Tahap Sensorimotor (0–2 Tahun)
Bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan menkoordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan fisik. Bayi lebih banyak menggunakan refleks dan indera untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bayi mulai menggunakan pikiran simbolis pada akhir tahap ini.
Pada tahap ini inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi pondasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak.
Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence (benda tetap). Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. Pada tahap ini menggambarkan seseorang berfikir melalui gerak tubuh, maksudnya kemampuan untuk belajar dan meningkatkan kemampuan intelektual berkembang sebagai suatu hasil dari perilaku gerak dan konsekuensinya
2) Tahap Praoperasional (2–7 Tahun)
Anak mulai menunjukkan pemikiran simbolis melalui kata–kata dan gambar. Anak dapat melakukan permainan simbolis, seperti bermain peran. Selain itu, anak dapat melakukan imitasi langsung maupun tertunda. Pemikiran anak masih intuitif, irreversible (satu arah), dan belum logis. Egosentris anak masih sangat tinggi, sehingga belum mampu melihat perspektif orang lain. Ciri khas masa ini adalah anak belum mampu melakukan konversi.
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Periode ini ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Pada tahap ini anak masih belum memiliki kemampuan untuk berpikir logis atau operasional. Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk mempresentasikan lingkungan secara kognitif. Piaget membaginya menjadi dua sub bagian, yaitu: prakonseptual (2-4 tahun) dan intuitif (4-7 tahun).
3) Tahap Operasional Konkrit (7–11 tahun)
Anak dapat melakukan memecahkan persoalan sederhana yang bersifat konkrit. Anak dapat melakukan penalaran logis selama ada contoh yang nyata atau konkrit. Pada tahap ini, pemikiran anak sudah bersifat reversible (berpikir balik). Anak dapat melakukan konversi dan klasifikasi.
4) Tahap Operasional Formal (11 Tahun Keatas)
Anak dapat melakukan penalaran dengan cara yang lebih abstrak, idealis, dan logis. Pikiran anak tidak lagi terbatas pada hal – hal yang ada dihadapan anak. Anak menjadi lebih sistematis dalam memecahkan masalah dan dapat mengembangkan hipotesis.
Menurut Piaget tahapan-tahapan di atas selalu dialami oleh anak, dan tidak akan pernah ada yang dilewatinya meskipun tingkat kemampuan anak berbeda-beda. Tahapan-tahapan ini akan meningkat lebih kompleks dari pada masa awal dan kemampuan kognitif anak pun akan bertambah.
Melihat tahapan perkembangan di atas maka anak usia dini berada pada tahapan praoperasional-intuitif. Anak sudah mengenal kegiatan mengelompokkan, mengukur, dan menghubungkan objek-objek, namun mereka belum sadar mengenai prinsip-prinsip yang melandasinya. Karakteristik anak pada tahap ini yaitu pemusatan perhatian pada satu dimensi dan mengesampingkan dimensi lainnya. Perkembangan fisik anak pun sudah mulai melakukan berbagai bentuk gerak dasar yang dibutuhkannya seperti berjalan, berlari, melempar, dan menendang. Hal tersebut harus diperhatikan oleh guru TK agar memberikan pembelajaran yang dapat memfasilitasi perkembangan kognitif anak secara optimal
c. Karakteristik Perkembangan
Menurut Yudha dan Rudyanto (2004:11), perkembangan kognitif pada setiap tahapannya memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan tahapan yang lainnya. Adapun cara berfikir anak usia dini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1)      Transductive reasoning, artinya anak berfikir yang bukan induktir atau deduktif tetapi tidak logis.
2)      Ketidakjelasan hubungan sebab akibat, artinya anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak logis.
3)      Animism, artinya anak menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya.
4)      Artificial, artinya anak mempercayai bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa seperti manusia.
5)      Perceptually bound, artinya anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihatnya atau yang didengarnya.
6)      Mental experiments, artinya anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.
7)      Centration, artinya anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya.
8)      Egocentrisme, artinya anak melihat dunia di lingkungannya menurut kehendak dirinya sendiri.
Melihat karakteristik cara berfikir anak pada tahapan ini dapat disimpulkan bahwa anak dalam tahap praoperasional telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal di luar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang terorganisasi tetapi anak sudah dapat memahami realitas di lingkungannya dengan menggunakan benda-benda dan simbol. Cara berfikirnya masih bersifat tidak sistematis, tidak konsisten dan tidak logis.
Karakteristik secara kognitif anak usia TK adalah sebagai berikut :
1)      Anak TK umumnya telah terampil dalam berbahasa. Sebagian besar dari mereka senang bicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara. Sebagian dari mereka perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
2)      Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Cara mengembangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara sebagai berikut:
a.       Lakukan interaksi sesering mungkin dan bervariasi dengan anak.
b.      Tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak.
c.       Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan pengalaman dalam banyak hal.
d.      Berikan kesempatan dan doronglah anak untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri.
e.       Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan keterampilan dalam berbagai tingkah laku.
f.       Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleg lingkungannya.
g.      Kagumilah apa yang dilakukan anak.
h.      Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.
d. Tujuan Pengembangan Kognitif
Pengembangan kognitif bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir anak supaya dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, membantu anak untuk mengembangkan kemapuan logika matematikanya dan pengetahuan akan ruang dan waktu, serta mempunyai kemampuan untuk memilah-milah, mengelompokkan serta mempersiapkan pengembangan kemampuan berpikir teliti (Depdiknas, 2006: 8).
Singkatnya, perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan mengemukakan beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi. Menurut Bruner (dalam Sujiono, 2010: 24), perkembangan kognitif individu dapat ditingkatkan melalui penyusunan materi pelajaran dan mempresentasikannya sesuai dengan tahap perkembangan individu tersebut. Penyusunan materi pelajaran dan penyiapannya dapat dimulai dari meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci.
Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Bruner merupakan proses discovery learning (belajar penemuan), yaitu penemuan konsep. Pemahaman konsep yaitu tindakan memahami kategori atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Pembentukan konsep adalah tindakan membentuk kategori baru.
Jean Piaget (dalam Sujiono, 2010: 25) menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, sedangkan Bruner menyatakan perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Dalam memahami dunia sekitarnya individu belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang individu dalam proses berpikirnya semakin dominan sistem simbolnya.
Ausubel (dalam Sujiono, 2010: 25) mengemukakan bahwa belajar sebagai reception learning. Jika discovery learning mengemukakan pada pembalajaran induktif, maka reception learning merupakan pembelajaran deduktif. Salah satu konsep penting dalam reception learning adalah advance organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan dipelajari individu. Advance organizer adalah statement perkenalan yang menghubungkan antara skemata yang sudah dimiliki oleh individu dengan informasi yang baru yang akan dipelajarinya.
Fungsi advance organizer adalah memberi bimbingan untuk memahami informasi baru. Advance organizer dapat menjadi jembatan antara materi pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki individu. Pemberian advance organizer bertujuan untuk memberi arahan bagi individu mengetahui apa yang terpenting dari materi yang dipelajari dan juga memberi penguatan terhadap pengetahuan yang diperoleh atau dipelajari.
e. Implikasi Perkembangan Kognitif bagi Pembelajaran
Setelah mengetahui definisi dari perkembangan kognitif, tahap-tahap perkembangan kognitif dan karakteristik perkembangan kognitif anak usia dua sampai tujuh tahun (tahap praoperasional), diharapkan guru TK dapat menyajikan pembelajaran bagi anak didiknya sesuai dengan tahapan perkembangan dan karakteristik perkembangan anak usia dini. Tujuannya yaitu agar perkembangan anak dapat terfasilitasi dengan baik sehingga tugas-tugas perkembangannya dapat tercapai secara optimal dan anak pun merasa senang dalam mengikuti pembelajaran karena guru menyajikannya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anak. Sehingga tidak aka nada pembelajaran yang dipaksakan serta pembelajaran yang berpusat pada guru.
Implikasi perkembangan kognitif bagi pembelajaran sangat berpengaruh besar untuk keberhasilan pembelajaran di setiap tahap perkembangan. Khususnya untuk pembelajaran di tingkat pendidikan anak usia dini dapat diimplikasikan pada setiap komponen pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai optimal.
2.1.3.  Konsep Warna
Warna termasuk salah satu unsur keindahan dalam seni dan desain selain unsur–unsur visual yang lain (Prawira, 1989: 4). Lebih lanjut, Sanyoto (2005: 9) mendefinisikan warna secara fisik dan psikologis. Warna secara fisik adalah sifat cahaya yang dipancarkan, sedangkan secara psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan. Nugraha (2008: 34) mengatakan bahwa warna adalah kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda–benda yang dikenai cahaya tersebut.
Selanjutnya, Laksono (1998: 42) mengemukakan bahwa warna merupakan bagian dari cahaya yang diteruskan atau dipantulkan. Terdapat tiga unsur yang penting dari pengertian warna, yaitu benda, mata dan unsur cahaya. Secara umum, warna didefinisikan sebagai unsur cahaya yang dipantulkan oleh sebuah benda dan selanjutnya diintrepetasikan oleh mata berdasarkan cahaya yang mengenai benda tersebut.
Warna dapat ditinjau dari dua sudut pandang, dari ilmu fisika dan ilmu bahan (Nugraha, 2008: 34). Lebih lanjut, warna dibagi menjadi dua menurut asal kejadian warna, yaitu warna additive dan subtractive (Sanyoto, 2005: 17–19). Warna additive adalah warna yang berasal dari cahaya dan disebut spektrum. Sedangkan warna subtractive adalah warna yang berasal dari bahan dan disebut pigmen. Kejadian warna ini diperkuat dengan hasil temuan Newton (Prawira, 1989: 26) yang mengungkapkan bahwa warna adalah fenomena alam berupa cahaya yang mengandung warna spektrum atau pelangi dan pigmen. Menurut Prawira (1989: 31), pigmen adalah pewarna yang larut dalam cairan pelarut.
Pada tahun 1831, Brewster (Nugraha, 2008: 35) mengemukakan teori tentang pengelompokan warna. Teori Brewster membagi warna–warna yang ada di alam menjadi empat kelompok warna, yaitu warna primer, sekunder, tersier, dan netral. Kelompok warna mengacu pada lingkaran warna teori Brewster dipaparkan sebagai berikut:
a. Warna Primer
Warna primer adalah warna dasar yang tidak berasal dari campuran dari warna–warna lain. Menurut teori warna pigmen dari Brewster, warna primer adalah warna–warna dasar (Nugraha, 2008: 37). Warna–warna lain terbentuk dari kombinasi warna–warna primer. Menurut Prang, warna primer tersusun atas warna merah, kuning, dan hijau (Nugraha, 2008: 37, Prawira, 1989: 21). Akan tetapi, penelitian lebih lanjut menyatakan tiga warna primer yang masih dipakai sampai saat ini, yaitu merah seperti darah, biru seperti langit/laut, dan kuning seperti kuning telur. Ketiga warna tersebut dikenal sebagai warna pigmen primer yang dipakai dalam seni rupa.
Secara teknis, warna merah, kuning, dan biru bukan warna pigmen primer. Tiga warna pigmen primer adalah magenta, kuning, dan cyan. Oleh karena itu, apabila menyebut merah, kuning, biru sebagai warna pigmen primer, maka merah adalah cara yang kurang akurat untuk menyebutkan magenta, sedangkan biru adalah cara yang kurang akurat untuk menyebutkan cyan.
b. Warna Sekunder
Warna sekunder merupakan hasil campuran dua warna primer dengan proporsi 1:1. Teori Blon (Prawira, 1989: 18) membuktikan bahwa campuran warna–warna primer menghasilkan warna–warna sekunder. Warna jingga merupakan hasil campuran warna merah dengan kuning. Warna hijau adalah campuran biru dan kuning. Warna ungu adalah campuran merah dan biru.


c. Warna Tersier
Warna tersier merupakan campuran satu warna primer dengan satu warna sekunder. Contoh, warna jingga kekuningan didapat dari pencampuran warna primer kuning dan warna sekunder jingga. Istilah warna tersier awalnya merujuk pada warna–warna netral yang dibuat dengan mencampur tiga warna primer dalam sebuah ruang warna. Pengertian tersebut masih umum dalam tulisan– tulisan teknis.
d. Warna Netral
Warna netral adalah hasil campuran ketiga warna dasar dalam proporsi 1:1:1. Campuran menghasilkan warna putih atau kelabu dalam sistem warna cahaya aditif, sedangkan dalam sistem warna subtraktif pada pigmen atau cat akan menghasilkan coklat, kelabu, atau hitam. Warna netral sering muncul sebagai penyeimbang warna–warna kontras di alam.
Munsell (Prawira, 1989: 70) mengemukakan teori yang mendukung teori Brewster. Munsell mengatakan bahwa:
“Tiga warna utama sebagai dasar dan disebut warna primer, yaitu merah (M), kuning (K), dan biru (B). Apabila warna dua warna primer masing–masing dicampur, maka akan menghasilkan warna kedua atau warnasekunder. Bila warna primer dicampur dengan warna sekunder akan dihasilkan warna ketiga atau warna tersier. Bila antara warna tersier dicampur lagi dengan warna primer dan sekunder akan dihasilkan warna netral.”

Rumus teori Munsell dapat digambarkan sebagai berikut:
Warna primer : Merah, Kuning, Biru
Warna Sekunder : Merah + Kuning = Jingga
Merah + Biru = Ungu
Kuning + Biru = Hijau
Warna Tersier : Jingga + Merah = Jingga kemerahan
Jingga + Kuning = Jingga kekuningan
Ungu + Merah = Ungu kemerahan
Ungu + Biru = Ungu kebiruan
Hijau + Kuning = Hijau kekuningan
Hijau + Biru = Hijau kebiruan

2.1.4. Pembelajaran Tentang Mengenal Warna
Pembelajaran mengenal warna merupakan salah satu indikator dari perkembangan kognitif anak di Taman Kanak–Kanak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengenalan warna (Nugraha, 2008: 44), antara lain:
a.         Sesuai perkembangan kognitif dan cara berpikir anak.
b.        Penggunaan sumber belajar yang tersedia dan dekat dengan lingkungan anak.
c.         Konsisten menggunakan contoh dan aktivitas yang beragam, sehingga anak kaya dengan pengalaman belajar tentang warna.
d.        Kreatif dan bertanggung jawab dalam pembelajaran supaya anak memahami warna secara utuh.
Pengenalan warna pada anak usia prasekolah di Taman Kanak–kanak dapat dilakukan dengan praktik langsung. Praktik langsung yang dimaksud adalah praktik langsung dalam pandangan luas, yaitu pembelajaran dengan berbagai metode untuk menjadi perantara keberagaman anak didik di kelas. Anak terlibat aktif dalam kegiatan dan dapat memanipulasi warna secara langsung. Praktik langsung pengenalan warna di Taman Kanak–Kanak dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain:
a. Praktik Langsung
Praktik langsung sebagai metode adalah praktik langsung secara sempit (hands–on activity). Anak terlibat aktif dalam memanipulasi material dan objek pembelajaran, yaitu warna. Tidak ada tahapan yang khusus untuk pelaksanaan praktik langsung, akan tetapi terdapat beberapa panduan tentang langkah–langkah
yang dapat dilakukan sesuai proses pemikiran ilmiah yaitu:
1)   Pada tahap persiapan, guru menyiapkan lingkungan pembelajaran yang kondusif bagi kegiatan pembelajaran. Guru menyiapkan situasi pembelajaran yang beragam sehingga anak tertarik untuk mengamati, mengeksplorasi, dan melakukan percobaan. Selain itu, perlu disiapkan alat dan media yang mendukung proses pembelajaran dan sistem penilaian yang sesuai. Pada pengenalan warna, alat yang digunakan dapat berupa kertas warna, cat poster, kuas, dan krayon. Penilaian yang biasa digunakan dalam praktik langsung adalah portofolio dan daftar cek observasi.
2)   Tahap pelaksanaan
a)        Aktivitas dimulai dengan pengamatan terhadap objek atau fenomena.
Pengenalan warna dimulai dengan mengamati warna. Aktivitas harus memotivasi anak untuk bertanya secara alami dan anak harus bereksplorasi dengan melakukan kegiatan dan memahami fakta yang ditemukan.
b)        Guru mendorong anak untuk memperhatikan aspek atau situasi yang umumnya terlewatkan dalam kondisi normal. Eggers (2010) menambahkan bahwa bentuk stimulasi dapat berupa pertanyaan–pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak mempunyai satu “jawaban benar” dan membantu anak membuat prediksi tentang suatu fenomena ilmiah. Pertanyaan terbuka bertujuan untuk membangkitkan rasa ingin tahu anak untuk melakukan kegiatan. Contoh pertanyaan terbuka tentang warna adalah tentang proses terjadinya warna sekunder dan tersier.
c)        Anak melakukan percobaan secara langsung untuk menjawab prediksi dan pertanyaan dalam diri anak (Eggers, 2010). Guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Guru bertugas menyediakan alat yang dapat digunakan anak untuk merekam kegiatan yang dilakukan, seperti kertas, cat poster, kuas, dan krayon.
d)       Setelah kegiatan selesai, anak harus merefleksikan prediksi awal dengan hasil yang didapat.
Menurut Eggers (2010:25), anak belajar paling baik dari pemahaman sendiri daripada diberitahu fakta oleh guru. Anak mengetahui proses perubahan warna karena anak mengalami sendiri perubahan warna tersebut. Peran guru adalah membantu anak mengevaluasi perbedaan dari prediksi suatu fenomena dan fakta ilmiah yang ada.
Menurut Lumpe dan Oliver (Eggers, 2010:26), praktik langsung pengenalan warna akan semakin bermakna apabila menggunakan berbagai kegiatan untuk membuat suatu penemuan. Selain itu, jumlah kegiatan pada setiap pokok bahasan dilakukan lebih dari tiga kali dan setiap kegiatan memiliki fokus pada pokok bahasan tertentu.
b. Demonstrasi
Metode demonstrasi mengembangkan kemampuan mengamati secara teliti tentang warna. Kegiatan ini bertujuan supaya anak memahami langkah – langkah melakukan kegiatan yang benar (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 31). Guru menunjukkan dan menjelaskan per tahap pengenalan warna secara konkrit. Anak dapat mengkomunikasikan pengamatan tentang warna, menirukan, dan mempraktikkan secara langsung kegiatan mengenal warna. Salah satu kegiatan yang dapat menggunakan metode ini adalah kegiatan mencampur warna. Penilaian berdasarkan pada hasil karya anak.
c. Eksperimen
Metode eksperimen mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah anak. Contoh kegiatan dengan metode eksperimen adalah mencampur warna. Anak dilibatkan dalam pengalaman langsung tentang perubahan warna. Guru memberikan contoh hasil eksperimen warna dan anak mencari tahu proses terjadinya warna tersebut melalui percobaan. Melalui metode eksperimen, anak belajar menemukan fakta–fakta tentang warna dan mencari tahu sebab perubahan warna (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 32). Penilaian berdasarkan unjuk kerja anak.
d. Pemberian tugas
Guru memberikan tugas yang berkaitan tentang warna pada anak. Pemberian tugas dapat berupa mencampur warna, mewarnai gambar, dan menggambar bebas. Anak mengenal warna melalui pemilihan warna–warna saat melakukan tugas tersebut. Penilaian berdasarkan pada hasil karya anak.
e. Bercakap–cakap
Metode bercakap–cakap berfungsi sebagai proses pemahaman anak terhadap warna. Proses ini meliputi proses mengingat tanpa objek (recall) dan dengan contoh objek (recognition).
f. Bermain
Metode bermain juga dapat digunakan dalam pembelajaran mengenal warna. Pengenalan warna dilakukan dengan alat bantu permainan, dapat berupa senter dan plastik transparan yang berwarna–warni. Anak belajar mengenal warna dan perubahan warna melalui cahaya yang keluar dari senter (Nugraha, 2008: 44).


No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate