Wednesday, February 12, 2020

Nilai-nilai Karakteristik Anak Yang Takut akan Tuhan



Dalam proses pembentukan karakter diawali dengan kondisi pribadi ayah-ibu sebagai figur yang berpengaruh untuk menjadi panutan. Keteladanan dan diidolakan atau ditiru anak-anak. Anak lebih mudah meniru perilaku daripada menuruti nasihat yang diberikan ibu ayahnya. Mereka belajar melalui mengamati apa yang ada dan terjadi di sekitarnya. Nilai yang diajarkan melalui kata-kata, hanya sedikit yang akan mereka lakukan. Dalam upaya pembelajaran berkarakter ada beberapa hal yang perlu dilakukan :

6.1. Ketaatan
Taat adalah dengan segera dan senang hati melakukan perintah dari orang-orang yang bertanggung jawab.

6.2. Disiplin
Anak harus diperkenalkan dengan batasan-batasan, batasan sesuai yang Tuhan mau, anak juga harus tahu mana batas-batasannya. Ajak anak untuk membuat batasan-batasan tersebut, supaya anak mengetahui perilaku takut Tuhan. Ibu-ayah juga harus terlibat penuh dalam membangun karakter takut Tuhan sejak dini. Ibu-Ayah terlibat sepenuhnya dalam menumbuhkan karakter anak.
6.3. Teladan Yang baik
Menyadari bahwa nilai-nilai merupakan dasar segala tingkah laku dan menjadikan diri sebagai teladan utama bagi anak-anak. Menghadapi anak dengan penuh penghargaan, cinta dan pengertian.
6.4. Rajin Beribadah
Sekolah Minggu merupakan salah satu tugas gereja yang membantu orang tua dalam pertumbuhan rohani  anak. Disana anak-anak akan dididik untuk mengenal kuasa dan kasih Allah, oleh karena itu orang tua perlu membawa anak-anaknya untuk ikut serta ambil bagian menjadi murid-murid sekolah minggu.

a.      Nilai Moral
Pokok pikiran mengenai pendidikan nilai dan moral dengan judul Eleven Principle of Effective Character Education” dari Character Education Partnership (2007)” yang dirumuskan oleh Tom Lickona, Eric Lewis dan Catharine Lewis, sebagai berikut :
1.      Nilai-nilai dasar kehidupan seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggungjawab, dan rasa hormat kepada orang lain, sangat penting untuk diajarkan, nilai-nilai pendukungnya adalah kerajinan, etika yang kuat, dan kesetiaan. Jika komunitas seperti sekolah hendak mengelola pendidikan karakter, harus jelas nilai-nilai inti yang diajarkan, diberlakukan dan diteladankan.
2.      Pengembangan nilai melibatkan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku anak. Pendidikan karakter seharusnya tidak terbatas kepada kegiatan diskusi atau percakapan, tetapi juga kehadiran teladan moral serta kegiatan-kegiatan terkait dengan praktik moral yang baik. Pertumbuhan karakter atas nilai-nilai dasar terbentuk pada diri peserta didik dalam komunitas tempat relasi dan interaksi yang saling memperkaya terbentuk dan terjalin. Komunitas itu menjadi arena mereka berlatih mempraktikkan nilai-nilai yang dipahami dan dianut.
3.      Diperlukan pendekatan proaktif dan kompehensif dalam pendidikan nilai. Pendidikan karakter sepatutnya tidak hanya berlangsung melalui kurikulum akademis yang tertulis dan kegiatan ekstrakurikuler, tetapi juga  melalui kurikulum terselubung seperti kegiatan-kegiatan di sekolah, teladan hidup guru, relasi guru dengan murid, relasi diantara anak didik, kehidupan staf administrasi, proses pembelajaran, dan cara peserta didik dinilai. Harus ada kesungguhan semua pihak dalam mewujudkan pendidikan watak dan nilai yang berhasil.
4.      Perlunya komunitas atau kelompok yang saling peduli dan mendukung pengembangan nilai. Komunitas sekolah atau gereja merupakan masyarakat kecil dalam struktur masyarakat secara luas. Kehidupan dalam masyarakat kecil tersebut harus bertumbuh sedemikian rupa untuk saling peduli dan memelihara, agar memberi bekal, motivasi, dan kekuatan untuk hidup dengan watak sehat di tengah masyarakat yang lebih luas.
5.      Perlunya pemberian kesempatan untuk mewujudkan pertumbuhan nilai moral yang dikehendaki. Pembentukan watak tidak terjadi secara efektif hanya melalui upaya mempertajam nalar. Dibutuhkan kesempatan berlatih dan mempraktikkan nilai-nilai yang dipelajari. Komunitas sekolah harus memfasilitasi kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan karakter yang dipelajari anak didik. Jika ada masalah sosial di lingkungan misalnya, anak didik dapat dilibatkan menghadapi atau mengatasinya.
6.      Kurikulum pengembangan nilai dan moral harus menghormati semua pihak yang terlibat. Latar belakang, kemampuan, dan gaya belajar peserta didik harus mendapat perhatian. Kurikulum pendidikan karakter harus menjawab kebutuhan, mendorong kerjasama mengerjakan projek tertentu, dan memampukan peserta untuk menyelesaikan masalah. Guru yang mengajar beragam keilmuan pun dapat mengetengahkan nilai-nilai moral dengan meneladankan kurositas, sikap kritis, kerajinan dan kedisiplinan. Guru juga dapat membimbing peserta didik memahami nilai atau manfaat dari yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika guru mengajarkan Fisika, ia dapat menuntun murid mengerti makna yang dipelajari itu untuk menghadapi kehidupan nyata. Keramahan terhadap murid dan kedisiplinan guru dalam hal waktu, menjadi masukan nilai dan moral yang sangat berharga.
7.      Perlunya membangkitkan motivasi intrinsik (dari dalam). Pembangunan karakter yang efektif terjadi jika muncul kesadaran dalam diri peserta didik tentang nilai-nilai moral yang hendak diwujudkannya, yaitu jika mereka mampu melihat perbuatan baik dari sudut kepentingan orang lain, sekalipun tanpa pujian dari orang di sekitarnya. Komunitas sekolah seharusnya meneguhkan atau mengapresiasi kehidupan peserta didik yang menyatakan kemajuan karakter. Sekolah juga harus membantu peserta didik belajar cara ia dapat berperilaku sesuai dengan nlai dan karakter yang baik, bukan hanya memberi hukuman atau sanksi jika mengalami kegagalan.
8.      Keterlibatan staf Pembina dan pengajar dalam membentuk komunitas yang bertanggung jawab dan berkomitmen bagi pengembangan karakter sangat diperlukan. Staf non edukatif (administratif) di sekolah harus menjadikan dirinya teladan moral yang dilihat oleh peserta didik, agar mereka mempunyai tiruan. Kedua, orang-orang dewasa lainnya (para guru) dalam komunitas sekolah itu juga harus bekerja sama untuk mendemontrasikan karakter yang sehat. Ketiga, kegiatan refleksi bersama semua pihak dalam komunitas sekolah sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi sejauh mana pembentukan karakter telah berlangsung. Jika diinginkan, cukup banyak pertanyaan yang dapat mereka diskusikan.
9.      Bangunlah kepemimpinan yang menunjukkan teladan moral dan mendukung pendidikan karakter dalam komunitas. Panitia atau kelompok kecil yang terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan karakter ini sebaiknya terdiri dari guru, pimpinan sekolah dan yayasan, anggotanya bergantian. Dengan demikian para pemimpin sekolah menyadari dan ikut bertanggung jawab dalam pendidikan karakter anak didik.
10.  Kerjasama orang tua sekolah, dan gereja sangat dibutuhkan. Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Komunikasi sekolah dengan pihak keluarga dapat dikembangkan dengan berbagai cara kreatif. Selain itu, orang tua murid dapat dilibatkan menjadi tim pengembangan karakter di sekolah. Keluarga-keluarga yang tampak pasif pun bisa dimotivasi.
11.  Lakukan evaluasi berkala untuk mengetahui sejauh mana komunitas sekolah sudah mewujudkan karakter yang sehat, sejauh mana staf guru dan administrasi telah berperan sebagai Pembina moral, serta sejauh mana peserta didik sudah merefleksikan karakter yang baik. Penilaian guru selama ini tidak boleh hanya terbatas pada kompetensi professional, tetapi juga kompetensi kepribadian tempat aspek spiritualitas dan akhlak inklusif.


No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate