Filsafat maupun ilmu pengetahuan berkembang disaat orang
mulai menarik jarak terhadap segala pengalaman hidupnya : merenunginya,
berpikir, bertanya, mencari berbagai cara (metode) untuk menjawab, melihat
kembali pada kenyataan-kenyataan dan seterusnya. Mula-mula manusia hanya
memiliki pengetahuan biasa, menggunakan intuisinya hingga lama-lama berkembang
ilmu pengetahuan, yang memiliki syarat-syarat makin ketat untuk mendapatkan
“kebenaran”.
Tujuan dari Filsafat adalah menjadikan manusia yang berilmu.
Dalam hal ini, Ahli Filsafat dipandang sebagai orang yang ahli dalam bidang
ilmu pengetahuan (ilmuwan), yang selalu mencari kenyataan kebenaran dari semua
problem pokok ilmuwan. Perbedaan orang yang berfilsafat dengan yang tidak
berfilsafat terletak pada sikap seseorang terhadap hidupnya karena filsafat
akan mengajarkan kepada kita tentang kesadaran, kemauan dan kemampuan manusia
sesuai dengan kedudukannya sebagai makluk individu, makluk social dan makluk
Tuhan untuk diplikasikan dalam hidup, maka yang diperlukan dalam studi filsafat
adalah : sikap dan kepribadian yang sesuai.
FILSAFAT sebagai Cara Berpikir ;
Berpikir secara filsafat dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai hakikat, atau berpikir secara global / menyeluruh, atau berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang pemikiran / sudut pandang ilmu pengetahuan. Berpikir yang demikian ini sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan benar serta dapat dipertanggung jawabkan, dengan persyaratan-persyaratan : Harus sistematis, harus konseptional, harus koheren, harus rasional, harus sinoptik dan harus mengarah kepada pandangan dunia. |
Ciri-ciri pemikiran Filsafat :
Sangat
umum dan universal, tidak factual, bersangkutan dengan nilai, berkaitan
dengan arti dan implikatif. Kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam
kebenaran kita sejak kita lahir, kesadaran terhadap kebenaran harus dicari
oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggunga jawab terhadap hidupnya
dan hidup orang lain tentu memerlukan kebenaran. Kebenaran terus dicari
sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya. Dalam
sejarah umat manusia, lembaga kebenaran yang paling tua adalah agama atau
system kepercayaan, dasar agama adalah kepercayaan. Manusia percaya kepada
agama sebagai kebenaran mutlak yang dipatuhinya secara mutlak pula, hidup
manusia diabdikan pada kepercayaan itu. Yang dipercayai dalam agama itu
bersifat Adikodrati, melampaui kodrat manusia itu sendiri.
|
|
Lembaga kebenaran lain yang dekat dengan lembaga kebenaran
agama adalah “seni” seperti halnya agama yang menjangkau kebenaran mendasar,
universal, menyeluruh dan mutlak serta abadi, senipun menjangkau hal-hal
tersebut. Hanya saja alat untuk mencapai hal itu adalah perasaan dan intuisi. Dasarnya
adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat subyektif. Kebenaran
pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati, dirasakan dan
dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa dia
jelaskan. Kualitas perasaan itu harus dialami sendiri oleh manusianya sendiri
sehingga ia mampu menemukan kebenaran.
Inilah sebabnya seni sering bergandengan erat dengan lembaga
agama, kehadiran sesuatu yang transendental (yang bukan dari dunia ini yang
dipercaya) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari, seni
music, seni teater dan seni rupa sering erat kaitannya dengan kepercayaan
manusia purba. Ini terjadi karena seni bertujuan menciptakan suatu realitas
baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas
yang dihayati secara inderawi. Dengan demikian, kebenaran seni bersinggungan
dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide. Dasarnya adalah pengalaman empiris
manusia tetapi yang ditemukannya realitas baru yang non empiris. Dalam karya
seni, sesuatu seperti dunia ini tetapi kebenarannya bukan dari dunia ini.
Lembaga kebenaran yang berikutnya adalah filsafat, alatnya
adalah nalar, logika manusia yang bersifat spekulatif (bukan empirik) dan tak
ada metode yang baku. Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya
mendasar dan menyeluruh dalam system konseptual. Lembaga kebenaran yang
relative muda adalah ilmu, alat untuk menemukan kebenarannya adalah nalar,
logika, bermetode dan sistematik. Sumbernya bersifat empiric, fakta apa adanya.
Tujuannya adalah pembuktian kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya
sebagai deskripsi prediksi dan control atas kenyataan empiris. Masa Renaissance
(abad XVI) lembaga ilmu mulai berkembang pesat di Eropa.
Seni adalah dunia medium antara materialism dunia dan
kerohanian yang kekal. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang
transcendental, sesuatu yang tak kita kenal sebelumnya dan kini kita kenal
lewat karya seorang seniman. Seni harus dibedakan dengan ilmu seni, seni itu
soal penghayatan sedangkan ilmu adalah soal pemahaman. Seni untuk dinikmati,
sementara ilmu seni untuk memahami.
Kaum pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani purba, sekitar 500 – 300 SM, mereka adalah filosof umum seperti Socrates, Plato, Aritoteles, Platinus Dll. Mereka membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang disebut “Keindahan” termasuk didalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni. Istilah “Estetika” baru muncul tahun 1750 M oleh seorang filsuf minor bernama A.G. Baumgarten ( 1714 – 1762 ). Istilah ini diambil dari bahasa Yunani kuno “Aistheton” yang artinya “kemampuan melihat lewat penginderaan”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan sedang tujuan logika adalah kebenaran. Sejak itu istilah estetika dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni.
Kaum pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani purba, sekitar 500 – 300 SM, mereka adalah filosof umum seperti Socrates, Plato, Aritoteles, Platinus Dll. Mereka membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang disebut “Keindahan” termasuk didalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni. Istilah “Estetika” baru muncul tahun 1750 M oleh seorang filsuf minor bernama A.G. Baumgarten ( 1714 – 1762 ). Istilah ini diambil dari bahasa Yunani kuno “Aistheton” yang artinya “kemampuan melihat lewat penginderaan”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan sedang tujuan logika adalah kebenaran. Sejak itu istilah estetika dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni.
Tetapi karena karya seni itu tidak selalu “indah” seperti
dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan bidang khusus yang benar-benar
menjawab tentang apa hakekat seni atau arts itu. Dan lahirlah apa yang
dinamakan “Filsafat Seni”. Jadi perbedaan antara estetika dan filsafat
seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakekat
keindahan alam dan karya seni, sedang filsafat seni mempersoalkan hanya
karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut “seni”.
Aspek-aspek
bahasan didalam Filsafat Seni:
1. Persoalan sikap estetik
2. Persoalan bentuk formal seni
3. Persoalan pengalaman estetik/seni
4. Persoalan nilai-nilai dalam seni
5. Persoalan pengetahuan dalam seni
6. Persoalan pencipta seni
1. Persoalan sikap estetik
2. Persoalan bentuk formal seni
3. Persoalan pengalaman estetik/seni
4. Persoalan nilai-nilai dalam seni
5. Persoalan pengetahuan dalam seni
6. Persoalan pencipta seni
Dengan kata lain, Filsafat Seni
membahas aspek kreativitas seniman, membahas benda seni itu sendiri, membahas
nilai-nilai seni, membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai
konteks seni dan terakhir mengenai persepsi public seni. Keberadaan seni
ditentukan oleh saling keterkaitan antara 6 aspek tersebut.
No comments:
Post a Comment