Pendekatan
pendidikan gerak (Movement Education)
a. Pengertian
Menurut Gallahue
(1989: 21), dikatakannya bahwa :
Movement Education is the lifelong process of
change in movement behavior brought about by the environmental factors of
opportunities for practice, encouragement, and instruction (e.g, change in
striking abilities over time).
Terminologi
pendidikan gerak adalah proses perubahan sepanjang hidup dalam perilaku gerak
yang diakibatkan faktor-faktor lingkungan dari kesempatan berlatih, keberanian,
dan instruksi (misalnya, perubahan kemampuan memukul bola dari waktu ke waktu).
Sedangkan
pendekatan yang disebut
movement education dalam Suherman (2009: 7), yaitu pendekatan
yang lebih menekankan pada penguasaan keterampilan gerak. Tujuan dari pendekatan ini terutama adalah
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas gerak secara terampil, efisien,
efektif pada situasi yang terencana maupun yang tidak terencana; meningkatkan
pengertian, dan kesenangan terhadap gerak baik sebagai pelaku maupun sebagai
penonton; meningkatkan pengetahuan dan menerapkan pengetahuan tentang gerak
manusia.
Pendidikan gerak adalah
tentang mengembangkan potensi penuh setiap anak dan menyediakan keberhasilan,
kesenangan, dan aktivitas dalam gerak.
Pernyataan ini merupakan definisi pendidikan gerak menurut Abels dan
Bridges (2010: 227) sebagaimana mereka kemukakan bahwa : “movement education is about developing the full potential of each
child and providing success, enjoyment, and activity in movement”.
b. Keuntungan atau
kelebihan pendekatan pendidikan gerak
Pendidikan gerak atau movement
education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika
Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang
pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program
Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep
usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan
konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep
tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak,
sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut.
Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan
belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan
masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori Logsdon (1984: 98). Menurutnya,
dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis
tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi
yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992: 29), mengutip Nichols,
telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated
curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang
dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani (tersedia pada laman:
danang39.blogspot.com/model pembelajaran)[30 Juni 2014].
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan
konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk
mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika kedalam kurikulum tersebut
dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan,
bahkan dansa sekalipun.
Keuntungan lainnya dari pendekatan pendidikan gerak menurut
Abels & Bridges (2010: 45) yaitu berkontribusi pada pendidikan menyeluruh
dari anak: secara fisik, afektif, dan kognitif.
Bersama dengan keuntungan kognitif dan motorik, pendekatan pendidikan
gerak meningkatkan domain afektif dengan mendorong siswa membangun hubungan
kerjasama dengan teman dan kelompok-kelompok kecil. Siswa juga memperoleh pemahaman cara kerja
dan aplikasi dalam kerjasama dan kolaburasi serta kompetisi.
The
movement education approach contributes to the total education of the child:
physically, affectively, and cognitively. Along with the cognitive and motor advantage,
the movement education approach enhances the affective domain as well by
encouraging learners to build working relationships with partners and small
groups. Learners also acquire working and applied definitions of cooperation
and collaboration, as well as competition.
Lebih lanjut, Gallahue
(1989: 23) menjelaskan bahwa perkembangan khusus konsep gerak yang dinamakan usaha (bagaimana tubuh bergerak),
ruang (dimana tubuh bergerak), dan keterhubungan (hubungan apa yang terjadi)
atau disebut sebagai effort, space, and relationship adalah
fokus utama dari beberapa program pendidikan gerak.
Fokus utama dari pengembangan kurikulum adalah terhadap gerak
dasar dan keterampilan olahraga melalui implementasi tema keterampilan.
Konsep
gerak disamakan dengan kata sifat (dengan kata lain, menggambarkan bagaimana
aksi ditampilkan). Mereka juga dibagi ke
dalam tiga kategori: kesadaran ruang, usaha, dan keterhubungan sebagaimana
dikemukakan Graham (2007) bahwa : “Movement
concepts are analogous to adverbs (i.e., they describe how an action is
performed). They are also subdivided into three categories: space awareness,
effort, and relationships.”
c.
Kelemahan dalam pendekatan pendidikan gerak
Setiap
pendekatan dalam kurikulum pendidikan jasmani memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing dikarenakan tujuan, filosofi, dan penekanan pada
konten yang berbeda-beda. Jewett dan
Bain (1985: 87) menyatakan bahwa model pendidikan gerak telah dikritik dalam
hal tidak ditemukannya klaim tentang “transfer belajar” dan juga mengakibatkan
menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada
pengajaran konsep gerak. Kritik lain
telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya
pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer dan
Pangrazi (1992),
d. Kompetensi Gerak
Dalam kurikulum
Physical Education Standards Of Learning For Virginia Public School (2008) terdapat
pengertian kompetensi gerak yaitu sebagai berikut:
Movement
competence is defined as the development of sufficient skill and ability to
assure successful performance in a variety of physical activities. In the
elementary years, students develop maturity and adaptability in the use of
fundamental motor skills and patterns that are then further refined and
combined during the middle school years. As motor patterns become more refined
and proficient throughout the middle years, they can be transitioned into
specialized skills and patterns and used in more complex learning settings.
High school students will demonstrate a level of competence in several physical
activities that they are likely to continue beyond graduation.
Kompetensi gerak
didefinisikan sebagai perkembangan keterampilan yang cakap dan kemampuan untuk
menjamin performa yang sukses dalam berbagai aktivitas jasmani. Pada usia sekolah dasar, siswa mengembangkan
kedewasaan dan adaptasi dalam menggunakan keterampilan gerak dasar dan
pola-pola gerak yang selanjutnya akan diperhalus dan dikombinasikan selama
sekolah menengah pertama. Ketika
pola-pola gerak menjadi lebih halus dan cakap pada tingkat sekolah menengah,
mereka akan berubah menjadi keterampilan dan pola-pola yang khusus yang
digunakan dalam pengaturan belajar gerak lebih kompleks. Siswa sekolah menengah atas akan menampilkan tingkat
kompetensi dalam beberapa jenis aktivitas fisik yang sepertinya akan berlanjut
setelah mereka lulus sekolah.
d. Keutamaan penguasaan
keterampilan gerak sejak dini.
Usia
sekolah dasar adalah pondasi awal bagi pembentukan dan perkembangan kebugaran,
keterampilan, sikap, serta pengetahuan anak, Graham (2007: 109), menyatakan
bahwa :
Physical fitness, movement skills, concept and affective development
should be emphasized throughout the curriculum.
The greatest emphasis during the preschool and early elementary grades
should be upon movement skill aquisition.
Dapat
kita artikan bahwa kebugaran jasmani, keterampilan gerak, konsep dan perkembangan
afektif harus ditekankan melalui kurikulum.
Penekanan terbesar selama masa prasekolah dan tingkat awal sekolah dasar
harus pada penguasaaan keterampilan gerak.
Pernyataan ini menjelaskan pada kita bagaimana keterampilan gerak dasar
menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan dan penting diajarkan sejak
dini kepada anak didik kita.
Essentially, the notion is that these
elements (fundamental motor skills) are learned in early life through the
various activities performed (such as jumping, throwing, striking, and the
like), and then when a new act is to be learned in later life, the student can
piece together these elements in a more efficient way to achieve the new motor
goal. The assumption is that by jumping over objects of various sizes, shapes,
heights, et cetera, the student will have more effective “elements” for the
performance of the next jumping tasks (e.g., the running, long jump in high
school). (Schmidt dalam Graham, 2007).
Dalam
pernyataan tersebut dijelaskan bahwa keterampilan gerak dasar mulai dipelajari
pada awal hidup melalui beragam aktivitas (seperti melompat, melempar, memukul,
dan sejenisnya), dan ketika gerak yang baru harus dipelajari pada kehidupan
berikutnya, siswa dapat menyatukan elemen gerak dasar tersebut ke dalam gerakan
yang lebih efisien untuk mencapai tujuan gerak yang baru. Dapat disimpulkan bahwa, jika keterampilan
gerak dasar telah dikuasai sejak dini, maka penguasaan gerak yang baru akan
lebih mudah dicapai karena penggabungan gerak dasar yang diperlukan dalam
keterampilan baru tersebut akan lebih efisien.
Lebih
jauh, Seefeldt dkk dalam Graham (2007: 29) dikemukakannya bahwa :
Fundamental
activities such as running, jumping, skipping, sliding, catching, kicking, and
striking are the basic components of the games, sports, and dances of our
society. Children who possess inadequate motor skills are often relegated to a
life of exclusion from the organized and free play experiences of their peers, and
subsequently, to a lifetime of inactivity because of their frustrations in
early movement behavior.
Aktivitas-aktivitas dasar seperti lari, lompat, skipping,
sliding, menangkap, melempar, menendang, dan memukul bola adalah
komponen dasar dari permainan, olahraga, dan tari yang ada di masyarakat.
Anak-anak yang menguasai keterampilan motorik yang rendah sering berhubungan
dengan keluarnya mereka dari pengalaman bermain yang terencana maupun bebas
diantara teman sebayanya, dan setelah itu, terhadap lifetime inactivity
karena mereka frustasi pada awal tingkah laku gerak mereka. Pernyataan ini secara tidak langsung menghubungkan
dua variabel terikat pada penelitian ini yaitu bahwa keterampilan gerak dasar berhubungan
dengan gaya hidup aktif, yang berarti bahwa individu yang kurang terampil dalam
penguasaan gerak akan memicu mereka untuk menghindari aktivitas jasmani dan
pada akhirnya menyebabkan terjadinya physical inactivity yang merupakan
salah satu indikator utama rendahnya gaya hidup aktif (active lifestyle).
No comments:
Post a Comment