1. Teori
belajar perilaku / behaviorisme
Beberapa ahli
teori belajar yang terinspirasi dengan hasil-hasil penelitian Pavlov,
diantaranya seperti E.L.Thorndike, menganggap bahwa perilaku sebagai suatu
respons terhadap suatu stimulus-stimulus dalam lingkungan. Menurut pandangan
Thorndike bahwa stimulus-stimulus dapat mengeluarkan respos-respons (teori
S-R).
Peneliti besar
lain yang tergabung dengan kelompok teori belajar perilaku ini adalah
B.F.Skinner yang terkenal dengan teori Operant
Conditioning. Eksperimen
Skinner digambarkan pada hubungan antara
perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya, sebagai contoh misalnya, bila perilaku
siswa diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, maka siswa
tersebut akan terlibat dalam perilaku itu lebih kerap kali. Penggunaan
konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah
perilaku tersebut dinamakan operant
conditioning.
Prinsip yang
paling utama dalam teori belajar perilaku ini ialah, bahwa perilaku berubah
menurut konsekuensi-konsekuensi langsung. Konsekuensi yang menyenangkan
memperkuat perilaku, sedangkan konsekuensi-kosekuensi yang tidak menyenangkan
melemahkan perilaku. Teori ini
dicontohkan pada seekor tikus lapar yang akan mendapatkan makanan ketika tikus
itu menekan sebuah papan, dan tikus itu akan menekan papan lebih sering. Tetapi, bila tikus itu menerima sengatan
listrik setelah menekan papan, maka frekuensi tikus dalam menekan papan
tersebut semakin berkurang, atau berhenti sama sekali. Skinner menyebutnya
konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan tersebut dengan “reinforcement” atau “penguatan”.
Teori perilaku
dalam perspektif belajar juga dinyatakan oleh Guthrie yang mendasarkan pada
dalil prinsip asosiasi, kata kunci perilaku adalah aksi dan gerak (Schunk, 2012:
121). Menurut Guthrie (1952: 23) dalam Schunk
(2012) : “stimulus patterns which are
active at the time of response tend, on being repeated, to elicit that
response”. Dikatakannya bahwa
pola-pola rangsangan yang aktif ketika terjadi respon akan cenderung
berulang-ulang untuk menghasilkan respon tersebut.
1.
Teori belajar kognitif /
kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai
berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang
telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para
peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir,
menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi
diproses. Peneliti yang mengembangkan teori kognitif
ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari
ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama
terhadap belajar. Bruner bekerja pada
pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana
peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Sedangkan beberapa hal yang melandasi
pandangan Gagne tentang belajar yaitu belajar bukan merupakan proses tunggal
melainkan proses luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku,
dimana tingkah laku itu merupakan proses kumulatif dari belajar. Artinya, banyak keterampilan yang dipelajari
memberikan sumbangan bagi belajar keterampilan yang lebih rumit.
Gagne (1984) dalam Schunk (2012:219)
mengidentifikasi hasil belajar kedalam 5 tipe hasil belajar, yaitu:
keterampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, keterampilan
gerak, dan perilaku.
Belajar memberi kontribusi terhadap
adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga
perkembangan perilaku (behavior)
adalah hasil dari efek belajar yang kumulatif.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat
didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Teori sosial kognitif :
Learning is largerly an information
processing activity in which information about the structure of behavior and
about enviromental events is transformed into symbolic representations that
serve as guides for action. (Bandura, 1986, p.51 dalam Schunk, 2012:121)
Menurut teori sosial kognitif
Bandura dikatakan bahwa, belajar adalah aktivitas pengolahan informasi yang
luas dimana informasi tentang struktur perilaku dan kejadian-kejadian dalam
lingkungan ditransformasikan kedalam representasi simbolik yang menuntun aksi.
Hasil belajar merupakan
kapabilitas. Setelah belajar, orang
memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut berasal dari
(1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang
dilakukan siswa. (tersedia pada laman: www.belajarpsikologi.com/teori belajar/) [20 Juni
2014]
Dengan demikian, belajar adalah
seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati
pengolahan informasi menjadi kapabilitas baru. Dikemukakan juga bahwa belajar
merupakan faktor yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan, sedangkan
perkembangan tingkah laku merupakan hasil dari aspek kumulatif belajar.
Berdasarkan pandangan ini Gagne mendefinisikan pengertian belajar secara formal
bahwa belajar adalah perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang
berlangsung selama satu masa waktu dan tidak semata-mata disebabkan oleh proses
pertumbuhan. Perubahan itu berbentuk perubahan tingkah laku. Hal itu dapat diketahui dengan jalan
membandingkan tingkah laku sebelum belajar dan tingkah laku yang diperoleh
setelah belajar. Perubahan tingkah laku dapat berbentuk perubahan kapabilitas
jenis kerja atau perubahan sikap, minat, atau nilai (Gagne, 1984 dalam Schunk,
2012:176).
3. Teori Atribusi dan penerapannya
dalam pendidikan.
Teori atribusi telah digunakan
secara luas dalam studi tentang motivasi, atribusi dipersepsikan sebagai
penyebab suatu hasil. Atribusi
menjelaskan bagaimana seseorang melihat sebab-sebab yang melatarbelakangi
perilaku dirinya dan orang lain (Weiner : 2004 dalam Schunk 2012:366).
Teori Atribusi mengasumsikan bahwa
seseorang cenderung untuk mencari informasi dalam menampilkan atribusi. Dari perspektif motivasi, atribusi dianggap
penting karena adanya pengaruh kepercayaan (influence
beliefs), emosi (emotion), dan
perilaku (behaviors).
Konsep-konsep penting dalam teori
atribusi:
a. Locus of control
Prinsip utama dalam teori motivasi
bahwa, seseorang mencoba mengendalikan aspek-aspek penting dalam kehidupan
mereka (Schunk & Zimmerman, 2006) dalam Schunk (2012). Prinsip ini merefleksikan ide locus of control, atau menggeneralisasikan
harapan berhubungan dengan apakah respon mempengaruhi pencapaian hasil seperti
kesuksesan atau penghargaan. Orang percaya
bahwa hasil yang terjadi tergantung dari perilaku mereka secara bebas (external locus of control) atau bahwa hasil yang terjadi akibat dari
kesatuan perilaku mereka (internal locus of control).
Locus of
control penting dalam konteks pencapaian prestasi karena
harapan kepercayaan dihipotesiskan mempengaruhi perilaku. Siswa yang percaya mereka dapat mengendalikan
kesuksesan dan kegagalan mereka cenderung terlibat dalam tugas-tugas akademik,
mengeluarkan usaha, dan bertahan daripada siswa yang percaya bahwa perilaku
mereka memiliki dampak yang kecil terhadap hasil yang dicapai. Pada gilirannya, usaha dan ketekunan
meningkatkan prestasi (Lefcourt, 1976; Phares, 1976 dalam Schunk, 2012: 367).
b. Analisis “naif” dari aksi
Asal mula teori atribusi adalah
teori naive analysis of action Heider
(1958) dalam Schunk (2012). Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya
personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha dan oleh daya-daya lingkungan
(environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika
suatu tindakan diatribusi sebagai daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan
yang diatribusi dengan daya lingkungan.
Kita mengatribusi suatu tindakan disebabkan daya personal,
hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak,
berniat untuk melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian,
kita beranggapan bahwa atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita
gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Di sisi lain,
jika kita mengatibusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat
orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan
di masa yang akan datang.
Heider mendalilkan bahwa atribusi seseorang disebabkan
faktor internal dan eksternal. Ia
menunjukkan berbagai faktor berikut ini secara berturut-turut sebagai: kekuatan
efektif personal (effective personal
force) dan kekuatan efektif lingkungan (effective
environmental force), seperti berikut ini:
Outcome = personal force +
environmental force
Sebab-sebab internal dalam individu: kebutuhan, harapan,
emosi, kemampuan, tujuan, dan usaha.
Kekuatan personal dialokasikan pada dua faktor, yaitu: kekuatan dan
motivasi. Kekuatan berkaitan dengan
kemampuan dan motivasi (mencoba) untuk tujuan dan pengerahan tenaga.
Outcome =
trying + power + environment
Kekuatan seseorang (atau kemampuan) akan merefleksi lingkungan. Kemampuan seseorang menyebrangi sungai
dipengaruhi oleh kemampuannya berenang dan relatif terhadap kekuatan sungai
(arus, lebar sungai, dan temperatur).
No comments:
Post a Comment