Thursday, December 26, 2019

Teori-Teori Belajar


1.      Teori belajar perilaku / behaviorisme
Beberapa ahli teori belajar yang terinspirasi dengan hasil-hasil penelitian Pavlov, diantaranya seperti E.L.Thorndike, menganggap bahwa perilaku sebagai suatu respons terhadap suatu stimulus-stimulus dalam lingkungan. Menurut pandangan Thorndike bahwa stimulus-stimulus dapat mengeluarkan respos-respons (teori S-R).
Peneliti besar lain yang tergabung dengan kelompok teori belajar perilaku ini adalah B.F.Skinner yang terkenal dengan teori Operant Conditioning.  Eksperimen Skinner  digambarkan pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya, sebagai contoh misalnya, bila perilaku siswa diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, maka siswa tersebut akan terlibat dalam perilaku itu lebih kerap kali. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah perilaku tersebut dinamakan operant conditioning.
Prinsip yang paling utama dalam teori belajar perilaku ini ialah, bahwa perilaku berubah menurut konsekuensi-konsekuensi langsung. Konsekuensi yang menyenangkan memperkuat perilaku, sedangkan konsekuensi-kosekuensi yang tidak menyenangkan melemahkan perilaku.  Teori ini dicontohkan pada seekor tikus lapar yang akan mendapatkan makanan ketika tikus itu menekan sebuah papan, dan tikus itu akan menekan papan lebih sering.  Tetapi, bila tikus itu menerima sengatan listrik setelah menekan papan, maka frekuensi tikus dalam menekan papan tersebut semakin berkurang, atau berhenti sama sekali. Skinner menyebutnya konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan tersebut dengan “reinforcement” atau “penguatan”.
Teori perilaku dalam perspektif belajar juga dinyatakan oleh Guthrie yang mendasarkan pada dalil prinsip asosiasi, kata kunci perilaku adalah aksi dan gerak (Schunk, 2012: 121).  Menurut Guthrie (1952: 23) dalam Schunk (2012) : “stimulus patterns which are active at the time of response tend, on being repeated, to elicit that response”.   Dikatakannya bahwa pola-pola rangsangan yang aktif ketika terjadi respon akan cenderung berulang-ulang untuk menghasilkan respon tersebut.
1.      Teori belajar kognitif / kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.  Peneliti yang mengembangkan teori kognitif  ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.  Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki   penekanan yang berbeda.  Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.  Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.  Sedangkan beberapa hal yang melandasi pandangan Gagne tentang belajar yaitu belajar bukan merupakan proses tunggal melainkan proses luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku, dimana tingkah laku itu merupakan proses kumulatif dari belajar.  Artinya, banyak keterampilan yang dipelajari memberikan sumbangan bagi belajar keterampilan yang lebih rumit.
Gagne (1984) dalam Schunk (2012:219) mengidentifikasi hasil belajar kedalam 5 tipe hasil belajar, yaitu: keterampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, keterampilan gerak, dan perilaku.
Belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan perilaku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang kumulatif.  Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal.  Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks. 
Teori sosial kognitif :
  Learning is largerly an information processing activity in which information about the structure of behavior and about enviromental events is transformed into symbolic representations that serve as guides for action. (Bandura, 1986, p.51 dalam Schunk, 2012:121)

Menurut teori sosial kognitif Bandura dikatakan bahwa, belajar adalah aktivitas pengolahan informasi yang luas dimana informasi tentang struktur perilaku dan kejadian-kejadian dalam lingkungan ditransformasikan kedalam representasi simbolik yang menuntun aksi.
Hasil belajar merupakan kapabilitas.  Setelah belajar, orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.  Timbulnya kapabilitas tersebut berasal dari (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan siswa. (tersedia pada laman: www.belajarpsikologi.com/teori belajar/) [20 Juni 2014]
Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi menjadi kapabilitas baru. Dikemukakan juga bahwa belajar merupakan faktor yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan, sedangkan perkembangan tingkah laku merupakan hasil dari aspek kumulatif belajar. Berdasarkan pandangan ini Gagne mendefinisikan pengertian belajar secara formal bahwa belajar adalah perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang berlangsung selama satu masa waktu dan tidak semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan. Perubahan itu berbentuk perubahan tingkah laku.  Hal itu dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku sebelum belajar dan tingkah laku yang diperoleh setelah belajar. Perubahan tingkah laku dapat berbentuk perubahan kapabilitas jenis kerja atau perubahan sikap, minat, atau nilai (Gagne, 1984 dalam Schunk, 2012:176).
3. Teori Atribusi dan penerapannya dalam pendidikan.
Teori atribusi telah digunakan secara luas dalam studi tentang motivasi, atribusi dipersepsikan sebagai penyebab suatu hasil.  Atribusi menjelaskan bagaimana seseorang melihat sebab-sebab yang melatarbelakangi perilaku dirinya dan orang lain (Weiner : 2004 dalam Schunk 2012:366).
Teori Atribusi mengasumsikan bahwa seseorang cenderung untuk mencari informasi dalam menampilkan atribusi.  Dari perspektif motivasi, atribusi dianggap penting karena adanya pengaruh kepercayaan (influence beliefs), emosi (emotion), dan perilaku (behaviors).
Konsep-konsep penting dalam teori atribusi:
a. Locus of control
Prinsip utama dalam teori motivasi bahwa, seseorang mencoba mengendalikan aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka (Schunk & Zimmerman, 2006) dalam Schunk (2012).  Prinsip ini merefleksikan ide locus of control, atau menggeneralisasikan harapan berhubungan dengan apakah respon mempengaruhi pencapaian hasil seperti kesuksesan atau penghargaan.  Orang percaya bahwa hasil yang terjadi tergantung dari perilaku mereka secara bebas (external locus of control) atau bahwa hasil yang terjadi akibat dari kesatuan perilaku mereka (internal locus of control).
Locus of control penting dalam konteks pencapaian prestasi karena harapan kepercayaan dihipotesiskan mempengaruhi perilaku.  Siswa yang percaya mereka dapat mengendalikan kesuksesan dan kegagalan mereka cenderung terlibat dalam tugas-tugas akademik, mengeluarkan usaha, dan bertahan daripada siswa yang percaya bahwa perilaku mereka memiliki dampak yang kecil terhadap hasil yang dicapai.  Pada gilirannya, usaha dan ketekunan meningkatkan prestasi (Lefcourt, 1976; Phares, 1976 dalam Schunk, 2012: 367).

b. Analisis “naif” dari aksi
Asal mula teori atribusi adalah teori naive analysis of action Heider (1958) dalam Schunk (2012). Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha dan oleh daya-daya lingkungan (environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu tindakan diatribusi sebagai daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan yang diatribusi dengan daya lingkungan.
Kita mengatribusi suatu tindakan disebabkan daya personal, hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita beranggapan bahwa atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita mengatibusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Heider mendalilkan bahwa atribusi seseorang disebabkan faktor internal dan eksternal.  Ia menunjukkan berbagai faktor berikut ini secara berturut-turut sebagai: kekuatan efektif personal (effective personal force) dan kekuatan efektif lingkungan (effective environmental force), seperti berikut ini:
Outcome = personal force + environmental force
Sebab-sebab internal dalam individu: kebutuhan, harapan, emosi, kemampuan, tujuan, dan usaha.  Kekuatan personal dialokasikan pada dua faktor, yaitu: kekuatan dan motivasi.  Kekuatan berkaitan dengan kemampuan dan motivasi (mencoba) untuk tujuan dan pengerahan tenaga.
Outcome = trying + power + environment
Kekuatan seseorang (atau kemampuan) akan merefleksi lingkungan.  Kemampuan seseorang menyebrangi sungai dipengaruhi oleh kemampuannya berenang dan relatif terhadap kekuatan sungai (arus, lebar sungai, dan temperatur).

No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate