I. PRIBADI
GURU.
Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang
dapat mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang,
kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar
dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan
atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.
Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun
psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku
seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal tersebut
dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku
positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik
kepribadian seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.
Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat
disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak
didiknya. Sikap dan citra negative seorang guru dan berbagai penyebabnya
seharusnya dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama baik guru. Kini,
nama baik guru sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok
jatuh. Para guru harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara
meningkatnya kembali sehingga guru menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat
dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan sebaliknya.
Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki
sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam
seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan
melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan
kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus
mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran
agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja
guru didapati berbohong, apalagi langsung kepada muridnya, niscaya hal tersebut
akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya
akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.
Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan
pengarahan kepada anak didiknya untuk berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan
munculnya guru yang memiliki keinginan buruk terhadap muridnya. Dalam
menggerakkan murid, guru juga dianggap sebagai partner yang siap melayani,
membimbing dan mengarahkan murid, bukan sebaliknya justru menjerumuskannya.
Djamarah dalam bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif”
menggambarkan bahwa : Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda
jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba
biasa, atau dengan julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang
baik, pembangun manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.
Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki
atribut yang lengkap dengan kebaikan, ia adalah uswatun hasanah walau tidak
sesempurna Rasul. Betapa hebat profesi guru, dan tidak dapat ditemukan dalam
berbagai profesi lainnya. Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya
dilanjutkan dengan penuh keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa
dan watak anak didik, bukan sekedar untuk mencari uang.
Guru yang professional adalah guru yang siap untuk
memberikan bimbingan nurani dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena
pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka
guru benar-benar siap sebagai spiritual fatner bagi muridnya. Guru yang ideal
sangat meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada
muridnya, ia merasa happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang
bersedih hati, murung, berkelahi, malas belajar. Guru professional akan selalu
memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak didiknya agar tidak
mengalami kendala yang biasa mengganggu.
Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Guru secara nyata dapat berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak
akan merasa lelah dan tidak mungkin mengembangkan sifat iri hati, munafik, suka
menggunjing, menyuap, malas, marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain,
apalagi terhadap anak didiknya.
Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat
saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam
mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan
guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi
:”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas,” artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah
yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. ( Al Hadits ).
II. STEREOTYPE GURU
Stereotype guru adalah hal-hal klise yang sering dilakukan
oleh para guru. Yang berkembang dimasyarakat kita adalah adanya suatu anggapan
bahwa yang stereotype selalu dianggap benar, sedangkan yang diluar stereotype
dianggap salah, sakit, gila dan sebagainya. Banyak orang yang tidak setuju
dengan stereotype, mengorbankan dirinya dengan pura-pura mengikuti stereotype
supaya ia tidak dianggap menyimpang, aneh ataupun gila. Sebagai contoh
stereotype yang dilakukan oleh guru TK. Sang guru berteriak kepada anak
didiknya.
“Ayo anak-anak mari kita menggambar pemandangan.”
Alkisah, begitulah seorang ibu guru TK atau SD sedang menyuruh anak didiknya
untuk memulai menggambar sebuah pemandangan beberapa puluh tahun yang lalu. Sang
ibu guru tadi pun memulai memberi contoh menggambar pemandangan. Ada dua buah
gunung dengan bentuk segitiga lancip, kemudian ditengahnya terdapat matahari
pagi yang mengintip diantara dua gunung tersebut, di atasnya ada awan-awan yang
menggantung di angkasa, dan ada pula sekawanan burung yang terbang di angkasa
berbentuk seperti angka 3 tidur. Ada juga jalan raya yang mungkin juga lengkap
dengan tiang listriknya. Sawah berjajar berkotak-kotak di tepi jalan dengan
tanaman padi yang berbentuk seperti huruf V berderet-deret, serta rumah mungil
beserta pepohonan pun menghiasi coretan gambar pemandangan tersebut. Tak jarang
terdapat aliran sungai yang berkelok-kelok. Sang murid pun dengan serta merta
mengikuti pola gambaran pemandangan yang dibuat oleh sang ibu guru tersebut.
Dan ajaibnya pola gambar pemandangan seperti ini awet dan senantiasa terjaga
kelestariannya hingga saat ini.
Stereotype pemandangan seperti itu yang selalu tertancap
erat di ingatan anak-anak Indonesia ketika hendak disuruh mengambar pemandangan.
Pemandangan ya gambar dua buah gunung, ada matahari,
jalan, sawah, rumah, awan, burung. Gambar dua gunung ya seperti itulah yang
dinamakan dengan pemandangan.
Dalam metodologi pembelajaran, guru seringkali
menggunakan metode ceramah untuk menyampaikan materinya karena muncul anggapan
bahwa mengajar selalu identik dengan pemberian ceramah, sehingga metode-metode
pembelajaran diluar metode ceramah dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan sulit
dilakukan.
Sebenarnya stereotype itu tidak sepenuhnya salah karena
ada beberapa mata pelajaran yang memang akan berjalan efektif apabila
disampaikan dengan cara ceramah, seperti pelajaran sejarah, PKn dan sebagainya,
namun menganggap bahwa semua mata pelajaran biasa disampaikan kepada anak didik
dengan metode ceramah adalah pembodohan terhadap anak didik itu sendiri.
Sekarang ini, seorang guru harus berani meninggalkan stereotype dan berani
menggunakan metode-metode modern yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya,
agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan maksimal.
III. PROFESI
GURU SEBAGAI PILIHAN
Sebelum kita menetapkan apakah mengajar merupakan tugas
guru yang termasuk profesi atau tidak atau bahkan sekedar tergolong pekerjaan
biasa, kiranya perlu kita ketahui persyaratan yang dibutuhkan dalam sebuah
aktivitas termasuk profesi. Belakangan telah sedemikian meluas istilah profesi
atau professional dikenal dalam masyarakat. Namun sering kali pemahamannya
kurang tepat.
Kini sangat banyak yang menganggap bahwa setiap orang
dapat mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, rapi, dan dapat memuaskan orang
lain disebut telah melakukan pekerjaan secara professional. Sehingga dengan
mudah masyarakat memberikan gelar professional hampir kepada siapa saja, asal
dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Tak jarang kita dengar sebutan
koruptor professional, pembantu professional, tukang batu professional, sopir
professional dan seterusnya. Benarkah sebutan-sebutan tersebut.
Qomari Anwar mendefinisikan profesi adalah sebuah
sebutan yang didapat seseorang setelah mengikuti pendidikan, pelatihan
ketrampilan dalam waktu yang cukup lama, sehingga dia punya kewenangan
memberikan suatu keputusan mandiri berdasarkan kode etik tertentu, yang harus
dipertanggungjawabkan sampai kapanpun. Melakukan tugas profesi memperoleh
posisi yang prestisius dan mendapat imbalan gaji yang tinggi. Karenanya tidak
semua pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang walaupun sudah cukup lama otomatis
disebut sebagai tugas profesi.
Dalam hal jabatan guru, National Education Association
(NEA) (1948) merumuskan bahwa jabatan profesi merupakan jabatan yang melibatkan
kegiatan intelektual, menekuni suatu batang tubuh ilmu tertentu, didahului
dengan professional yang lama, memerlukan pelatihan jabatan yang kontinyu,
menjanjikan karier bagi anggota secara permanent, mengikuti standar baku mutu
tersendiri, lebih mementingkan layanan kepada masyarakat dibanding dengan
mencari keuntungan sendiri, dan memiliki suatu organisasi professional yang
kuat dan dapat melakukan control terhadap anggota yang melakukan penyimpangan.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas kini muncul pertanyaan: Apakah
tugas mengajar atau jabatan guru dapat termasuk jabatan profesi?
Bisa jadi pertanyaan di atas memicu adanya jawaban yang
beraneka ragam berdasarkan kenyataan yang dialami oleh para guru di lapangan.
Namun Stinnett menegaskan bahawa jabatan guru sudah dianggap memenuhi criteria
jabatan professional, bahkan mengajar bisa disebut sebagai ibu dari segala
profesi.
Apalagi setelah disahkannya undang-undang tentang guru
dan dosen, maka jabatan guru tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapapun.
Karena dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, jabatan guru sudah
merupakan jabatan profesi yang setara dengan jabatan-jabatan profesi lainnya
seperti Dokter, Perawat dan lain sebagainya.
Kalau dulu menjadi guru adalah pilihan terakhir ketika
pilihan-pilihan utama tidak dapat tercapai, maka dengan diperhatikannya
kesejahteraan guru oleh pemerintah, menjadi guru adalah sebuah pilihan yang
utama. Jabatan guru merupakan jabatan terhormat dimasyarakat disatu sisi juga
menjanjikan masa depan yang lebih terjamin dibanding profesi-profesi lainnya.
IV. DILEMA
Menjadi seorang guru dewasa ini kadang menimbulkan
dilema tersendiri, hal ini dikarenakan adanya perbedaan antara guru PNS dan Non
PNS. Pemerintah terkesan menganak emaskan guru PNS, disisi lain menganak
tirikan guru non PNS. Padahal kalau kita lihat bahwa mengajar disekolah-sekolah
swasta jauh lebih sulit dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri, secara
administrasi guru-guru Non PNS dituntut secara professional sama dengan
guru-guru PNS akan tetapi secara kesejahteraan terjadi kesenjangan yang cukup
dalam. Guru PNS mendapatkan berbagai macam tunjangan dari pemerintah pusat atau
daerah, sementara guru-guru Non PNS tidak mendapatkan apa-apa.
Ironis memang, tuntutan mencerdaskan anak didik mutlak
menjadi tanggung jawab semua guru tanpa kecuali namun dalam kesejahteraan
terjadi tebang pilih.
Sehingga yang terjadi banyak guru yang terpaksa mencari
pekerjaan sampingan guna menopang kehidupan keluarganya. Akibatnya mereka tidak
lagi konsentrasi dalam mengajar anak didiknya namun lebih kepada bagaimana bisa
menghidupi keluarganya.
V. Masalah
Kesehatan Fisik dan Mental guru
Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap
penyakit yang berhubungan dengan radang tenggorok sampai sariawan. Hal ini
dikarenakan intensitas mengajar yang tinggi tanpa ditopang dengan asupan
vitamin yang memadai, akhirnya yang terjadi system immune ( kekebalan ) menurun
dan ia menjadi gampang terserang berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit
di atas.
Disamping factor kesehatan fisik yang terganggu, para
guru juga mengalami banyak gangguan mentalnya. Ada kemungkinan, menurut
pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal
dan frustasi dalam hubungan seks yang normal turut menambah gangguan mental
guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru pria dianggap mempunyai mental yang
lebih stabil bila mereka mempunyai keluarga yang normal.
Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru
yang mengalami gangguan mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan
psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental
itu lebih banyak terdapat di kalangan guru dibandingkan dengan profesi lain.
Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru,
nyata atau laten, sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu
timbul sebagai akibat pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui
hingga manakah gangguan mental itu merugikan murid dan proses belajar mengajar.
DAFTAR BACAAN
- Anwar,
Qomari, Reorientasi Pendidikan Dan Profesi Keguruan, Jakarta :
Uhamka Press, 2002
- S. Nasution,
Prof.Dr, Sosiologi Pendidikan, Jakarta :
Bumi Aksara, 1995
- Ramayulis,
Prof. Dr, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta :
Kalam Mulia, 2002
No comments:
Post a Comment