Monday, June 25, 2018

Perkembangan Pers di Indonesia


a.                  Pers Jaman Penjajahan Belanda
Pemerintah penjajah Belanda sejak menguasai Indonesia, mengetahui dengan benar pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dipandang perlu membuat undang-undang khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia, karena merupakan momok yang harus diperangi.
Saruhum dalam tulisannya yang berjudul “Perjuangan Surat Kabar Indonesia” yang dimuat dalam sekilas “Perjuangan Surat Kabar”, menyatakan:

Maka untuk membatasi pengaruh momok ini, pemerintah Hindia Belanda memandang tidak cukup mengancamnya saja dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah ternyata dengan KUHP itu saja tidak mempan, maka diadakanlah pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter 161 bis dan ter dan artikel 154 KUHP. Hal itu pun belum dianggap cukup, sehingga diadakan pula Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepad pemerintah penjajah Belanada untuk menghentikan penerbitan surat kabar / majalah Indonesia yang dianggap berbahaya.

Tindakan lain, di samping Presbreidel Ordonantie adalah  Haatzai Artikelen, karena pasal-pasalnya mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Nederaland dan Hindia Belanda (Pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (Pasal 156 dan 157). Akibatnya, banyak korban berjatuhan, antara lain S.K Trimurti, sampai melahirkan di penjara, bahkan ada yang sampai di buang ke Boven Digul.
Demikian juga jaman pendudukan jepang yang totaliter dan facitis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya (tulisan), melainkan menempuh cara dan jalan lain (misalnya melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, dan sebagainya). Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan pers ketika itu sangat tertekan.

b.             Pers di Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada pada detik-detik terakhir penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasioanal bnagsa Indonesia melawan penjajahan.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo  tanggal 20 mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Surat kabar nasional menjadi semacam parlemen orang Indonesia yang terjajah. Pers menyuarakan kepedihan, penderitaan, dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.
Beberapa contoh harian terbit pada masa pergerakan, antara lain sebagai berikut:
1)      Harian “Sedio Tomo” sebagai kelanjutan harian Budi Utomo yang terbit di Yogyakarta didirikan bulan juni 1920.
2)      Harian “Darmo Kondo” terbit di solo, yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosisworo
3)      Harian “Utusan Hindia” terbit di Surabaya, yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
4)      Harian “Fadjar Asia” terbit di Jakarta, dipimpin oleh Haji Agus Salim.
5)      Majalah mingguan “Pikiran Rakyat” terbit di Bandung, didirikan oleh Ir. Soekarno
6)      Majalah berkala “Daulah Rakyat”, dipimpin oleh Moch. Hatta dan utan Syahrir.
Karena sifat dan isi pers pergerakan anti penjajahan, pers medapat tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintahan Hindia Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk memberantas dan menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah Kantor Berita Nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.

c.                  Pers di Masa Penjajahan Jepang
Jepang menduduki Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuennsinya, seluruh sumber daya Indonesia diarahkan untuk kepentingan Jepang.
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:
1)      Asia Raya di Jakarta
2)      Sinar Baru di semarang
3)      Suara Asia di Surabaya
4)      Tjahaya di Bandung.
Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada jaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di Indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:
1)   Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers jaman Belanda. Para karyawan pers mendapat pengalaman banyak dalam menggunakan berbagasi fasilitas tersebut.
2)   Penggunaan Bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas. Penjajah Jepang berusaha menghapuskan bahasa Belanda dengan kebijakan menggunkan bahasa indonesia dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membnatu perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3)   Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir terhadap berita yang didsajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajahan.

d.             Pers di Masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agutus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia, sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)   Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2)   Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers Republik disuarakan oleh kaum Republik, yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.
Beberapa contoh Koran Republik yang muncul pada masa itu, anatara lain harian “Merdeka”. “Sumber”, “Pemandangan”, “Kedaulatan Rakyat”, “Nasional”, dan “Pedoman”. Jawatan Penerangan Belanda menebitkan Pers Nica, antara lain “Warta Indonesia” di Jakarta, “Persatuan” di Bandung, “Suluh Rakyat” di Semarang, “Pelita Rakyat” di Surabaya dan “Mustika” di Medan. Pada masa revolusi fisik inilah, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha Surat  Kabar (SPS) “ lahir”. Kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia untuk pertama kali mengeluarkan peraturan yang membatasi kemerdekaan pers terjadi pada tahun 1948. Menurut Smith, ”dalam kegembiraan kemerdekaan ini, pers dan pemerintah bekerja bergandengan tangan erat sekali dalam seratus hari pertama masa mereka itu.”
Pemerintah memperlihatkan itikad baik terhadap pers dan berusaha membantunya dengan mengimpor dan mesubsidi kertas koran dan dengan memberikan pinjaman keuangan. Pada awalnya semua berjalan lancar, namun saat pers mulai bertindak dengan menyerang pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat sampai pada presiden sendiri, nampaknya pemerintah yang baru ketika itu belum dapat menerima kritikan yang pedas.
Sesuai dengan fungsi, naluri dan tradisinya, pers harus menjadi penjaga kepentingan publik (publik watch dog). Pers telah menyampaikan saran-saran yang amat diperlukan oleh pemerintah. Kritik-kritik pers yang pedas dan menjengkelkan, menjadi beban pemerintah yang terlampau berat, sehingga pemerintah mulai memukul balik kepada pers. Konflik keduanya berkembang menjadi pertentangan permanen dan pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.
Untuk menangani masalah-masalah pers, pemerintah membnetuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan Pers tersebut terdiri dari orang-orang persuratkabaran, cendikiawan, dan pejabat-pejabat undang-undang pemerintah, dengan tugas:
1)        Penggantian undang-undang pers kolonial,
2)        Pemberian dasar sosial ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya, fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga bnatuan pemerintah)
3)        Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia
4)        Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia (artinya, tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etik jurnalistik dan lain-lain)
Namun akibat kekuasaan pemerintah yang tidak terlawan, menyebabkan oragnisasi-organisasi pers tidak berkutik. Tidak tampak bukti bahwa lembaga-lembaga ini berhasil membelokkan jalannya kegiatan-kegiatan anti pers, secara berarti.
e.                  Pers di Era Demokrasi Liberal (1949-1959)
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang-Undang Dasar sementara (1950). Dalam Konstitusi RIS-yang isinya banyak mengambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia sedunia Universal Declaration of Human Rights, pada pasal 19 menyebutkan “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemudian dicantumkan kembali dalam Undang-undang Dasar Sementara (1950).
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan para wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah mulai mencari cara membatasi penebitan itu, karena negara tidak akan membiarkan ideologi “asing” merongrong Undang-Undang Dasar. Pada akhirnya pemerintah melakukan pembredelan pers, dengan tindakan-tindakannya yang tidak terbatas pada pers asing saja.
Pertanda akan terjadinya pembatasan terhadap kebebasan pers, terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementrian Penerangan, Ruslan Abdulgani, yang antara lain : “.....khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dikenakan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing....”. pernyataan di atas ditindak lanjuti dengan pengesahan Undang-Undang yang mengahruskan para penerbit Belanda membayar tiga kali lipat untuk kertas koran ketimbang pers Indonesia.
f.              Pers di zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966)
Upaya untuk membatasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan R.I ke 14, antara lain ia menyatakan:
...Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Pada awal 1960, penekanan kepada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri muda penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak mentaato peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih pada tahun 1960, penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers, Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk, hal ini digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari ”Army Handbook”. Bahwa kementrian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada hampir-hampir tidak lebih dari sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor tetap ketat dan dilakukan secra sepihak.
Berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde lama, bertambah bersamaan dengan meningkatnya keterangan dalam pemerintahan. Tindakan-tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot, ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan-percetakan diambil alih oleh pemerintah dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.
g.             Pers di Era Demokrasi Pancasila dan Orde Baru
Di awal pemerintahan Orde Baru, menyatakan bahwa akan membuang jauh-jauh praktek demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan demokrasi pancasila. Pernyataan tersebut tentu saja membuat para tokoh politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers terkemuka dan lain-lain menyambutnya dengan antusias sehingga istilah Pers Pancasila.
Pemerintahan Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers Pancasila Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers, (Desember 1984) bahwa
Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pres yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan betanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”

Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintahan ketika itu dipermanis dengan keluarnya Undang-undang Pokok pers (UUPP) Nomor 11 tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif, dan tidak diperlukan surat izin terbit. Kemesraan tersebut ternyata hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun, karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (peritiwa Lima belas Januari 1974) kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti jaman Orde Lama).
Terjadinya Peristiwa Malari tahun 1974, berakibat beberapa surat kabar dilarang terbit Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta (termaasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu dan baru diijinkan terbit kembali, setelah para pemimpin redaksinya menandatangani surat pernyataan maaf. Penguasa lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon supaya pers tidak menyiarkan suatu berita, ataupun para wartawan lebih diperingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik sebagai “selfcensorship”. (saya mempehitungkan). Demikian juga pengawasan terhadap kegiatan pers dan wartawan diperketat. (menjelang) Sidang MPR 1978.
Pers Pasca Malari merupakan pers yang cenderung “mewakili” kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Pada saat itu pers jarang, malah tidak pernah melakukan kontrol sosial secara kritis, tegas, dan berani. Pers Pasca Malari tidak artikulatif dan mirip dengan jaman rezim Demokrasi terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan yakni rezim Orde Baru melihat pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang ahrus diatur dan dikontrol seperti halnya dengan organisasi massa dan Partai Politik.
h.             Kebebasan Pers di Era Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintahan pada masa reformasi sangat mempermudah izin penebitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali penerbitan pers atau koran-koran, majalah atau tabloid baru bermunculan. Bisa dikatakan pada wal reformasi kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.
Kalangan pers mulai bernafas lega ketika di era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Kendati belum sepenuhnya memenuhi keinginan kalangan pers, kelahiran undang-undang pers tersebut disambut gembira, karen tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu undang-undang Nomor 21 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Di dalam Undang-undang Pers yang baru ini, dengan tegas menjamin adanya kemerdekaan pers, sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi di singgung perlu tidaknya surat izin terbit. Di samping itu ada jaminan lain yang diberikan oleh undang-undang ini, yaitu terhadap pers nasional tidak di kenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak . tujuan hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau dimintai menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pada masa reformasi ini dengan keluarnya Undang-Undang tentang pers, yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1). Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2). Mengeakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3). Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
4). Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

5). Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

No comments:

Post a Comment

About

About

loading...

Pengaruh Gaya Hidup di Masa Pandemi Covid-19

Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, k...

Search This Blog

Translate