a.
Pers Jaman Penjajahan Belanda
Pemerintah penjajah Belanda sejak menguasai
Indonesia, mengetahui dengan benar pengaruh surat kabar terhadap masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu dipandang perlu membuat undang-undang khusus untuk
membendung pengaruh pers Indonesia, karena merupakan momok yang harus
diperangi.
Saruhum dalam tulisannya
yang berjudul “Perjuangan Surat Kabar
Indonesia” yang dimuat dalam sekilas “Perjuangan Surat Kabar”, menyatakan:
“Maka untuk membatasi pengaruh momok ini, pemerintah Hindia Belanda
memandang tidak cukup mengancamnya saja dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Setelah ternyata dengan KUHP itu saja tidak mempan, maka diadakanlah
pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter 161 bis dan ter
dan artikel 154 KUHP. Hal itu pun belum dianggap cukup, sehingga diadakan pula Persbreidel
Ordonantie, yang memberikan hak kepad pemerintah penjajah Belanada untuk
menghentikan penerbitan surat kabar / majalah Indonesia yang dianggap
berbahaya.”
Tindakan lain, di samping Presbreidel
Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena pasal-pasalnya mengancam hukuman terhadap
siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian serta penghinaan
terhadap pemerintah Nederaland dan Hindia Belanda (Pasal 154 dan 155) dan
terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (Pasal 156
dan 157). Akibatnya, banyak korban berjatuhan, antara lain S.K Trimurti, sampai
melahirkan di penjara, bahkan ada yang sampai di buang ke Boven Digul.
Demikian juga jaman pendudukan jepang yang
totaliter dan facitis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang
berjuang tidak dengan ketajaman penanya (tulisan), melainkan menempuh cara dan
jalan lain (misalnya melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, dan
sebagainya). Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan pers ketika itu sangat
tertekan.
b.
Pers di Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia
berada pada detik-detik terakhir penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang
menggantikan Belanda. Pers pada masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari
kebangkitan nasioanal bnagsa Indonesia melawan penjajahan.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi
Utomo tanggal 20 mei 1908, surat kabar
yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat
perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang
Indonesia. Surat kabar nasional menjadi semacam parlemen orang Indonesia yang
terjajah. Pers menyuarakan kepedihan, penderitaan, dan merupakan refleksi dari
isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan
memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.
Beberapa contoh harian terbit pada masa
pergerakan, antara lain sebagai berikut:
1)
Harian “Sedio Tomo” sebagai
kelanjutan harian Budi Utomo yang terbit di Yogyakarta didirikan bulan juni
1920.
2)
Harian “Darmo Kondo” terbit di
solo, yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosisworo
3)
Harian “Utusan Hindia” terbit di
Surabaya, yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
4)
Harian “Fadjar Asia” terbit di
Jakarta, dipimpin oleh Haji Agus Salim.
5)
Majalah mingguan “Pikiran Rakyat”
terbit di Bandung, didirikan oleh Ir. Soekarno
6)
Majalah berkala “Daulah Rakyat”,
dipimpin oleh Moch. Hatta dan utan Syahrir.
Karena sifat dan isi pers pergerakan anti
penjajahan, pers medapat tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu
cara pemerintahan Hindia Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada
pemerintah untuk memberantas dan menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada
masa pergerakan itu berdirilah Kantor
Berita Nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
c.
Pers di Masa Penjajahan Jepang
Jepang menduduki Indonesia selama kurang
lebih 3,5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang propaganda tentang
Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka.
Sebagai konsekuennsinya, seluruh sumber daya Indonesia diarahkan untuk
kepentingan Jepang.
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata
menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa harian yang
muncul pada masa itu, antara lain:
1)
Asia Raya di Jakarta
2)
Sinar Baru di semarang
3)
Suara Asia di Surabaya
4)
Tjahaya di Bandung.
Pers nasional masa pendudukan Jepang memang
mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada jaman
Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau
insan pers di Indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain
sebagai berikut:
1)
Pengalaman yang diperoleh para
karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang digunakan jauh
lebih banyak daripada masa pers jaman Belanda. Para karyawan pers mendapat
pengalaman banyak dalam menggunakan berbagasi fasilitas tersebut.
2)
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam
pemberitaan makin sering dan luas. Penjajah Jepang berusaha menghapuskan bahasa
Belanda dengan kebijakan menggunkan bahasa indonesia dalam berbagai kesempatan.
Kondisi ini sangat membnatu perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga
menjadi bahasa nasional.
3)
Adanya pengajaran untuk rakyat
agar berpikir terhadap berita yang didsajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang.
Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan Jepang
memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajahan.
d.
Pers di Masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun
1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan
kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agutus 1945. Belanda ingin
kembali menduduki Indonesia, sehingga terjadilah perang mempertahankan
kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)
Pers yang diterbitkan dan
diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya
dinamakan Pers Nica (Belanda).
2)
Pers yang diterbitkan dan
diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers
Republik disuarakan oleh kaum Republik, yang berisi semangat mempertahankan
kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi
alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat
Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.
Beberapa contoh Koran Republik yang muncul
pada masa itu, anatara lain harian “Merdeka”. “Sumber”, “Pemandangan”,
“Kedaulatan Rakyat”, “Nasional”, dan “Pedoman”. Jawatan Penerangan Belanda
menebitkan Pers Nica, antara lain “Warta Indonesia” di Jakarta, “Persatuan” di
Bandung, “Suluh Rakyat” di Semarang, “Pelita Rakyat” di Surabaya dan “Mustika”
di Medan. Pada masa revolusi fisik inilah, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS)
“ lahir”. Kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers
Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia untuk pertama
kali mengeluarkan peraturan yang membatasi kemerdekaan pers terjadi pada tahun
1948. Menurut Smith, ”dalam kegembiraan
kemerdekaan ini, pers dan pemerintah bekerja bergandengan tangan erat sekali
dalam seratus hari pertama masa mereka itu.”
Pemerintah memperlihatkan itikad baik
terhadap pers dan berusaha membantunya dengan mengimpor dan mesubsidi kertas
koran dan dengan memberikan pinjaman keuangan. Pada awalnya semua berjalan
lancar, namun saat pers mulai bertindak dengan menyerang pemerintah dan
tokoh-tokoh masyarakat sampai pada presiden sendiri, nampaknya pemerintah yang
baru ketika itu belum dapat menerima kritikan yang pedas.
Sesuai dengan fungsi, naluri dan tradisinya,
pers harus menjadi penjaga kepentingan publik (publik watch dog). Pers telah menyampaikan saran-saran yang amat
diperlukan oleh pemerintah. Kritik-kritik pers yang pedas dan menjengkelkan,
menjadi beban pemerintah yang terlampau berat, sehingga pemerintah mulai
memukul balik kepada pers. Konflik keduanya berkembang menjadi pertentangan
permanen dan pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.
Untuk menangani masalah-masalah pers,
pemerintah membnetuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan Pers tersebut
terdiri dari orang-orang persuratkabaran, cendikiawan, dan pejabat-pejabat
undang-undang pemerintah, dengan tugas:
1)
Penggantian undang-undang pers
kolonial,
2)
Pemberian dasar sosial ekonomis
yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya, fasilitas-fasilitas kredit dan
mungkin juga bnatuan pemerintah)
3)
Peningkatan mutu jurnalisme
Indonesia
4)
Pengaturan yang memadai tentang
kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia (artinya, tingkat hidup dan
tingkat gaji, perlindungan hukum, etik jurnalistik dan lain-lain)
Namun akibat kekuasaan pemerintah yang tidak terlawan,
menyebabkan oragnisasi-organisasi pers tidak berkutik. Tidak tampak bukti bahwa
lembaga-lembaga ini berhasil membelokkan jalannya kegiatan-kegiatan anti pers,
secara berarti.
e.
Pers di Era Demokrasi Liberal
(1949-1959)
Di era demokrasi liberal, landasan
kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) dan
Undang-Undang Dasar sementara (1950). Dalam Konstitusi RIS-yang isinya banyak
mengambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia sedunia Universal Declaration of Human Rights, pada pasal 19 menyebutkan “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemudian dicantumkan kembali dalam
Undang-undang Dasar Sementara (1950).
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers
adalah efek samping dari keluhan para wartawan terhadap pers Belanda dan Cina.
Pemerintah mulai mencari cara membatasi penebitan itu, karena negara tidak akan
membiarkan ideologi “asing” merongrong Undang-Undang Dasar. Pada akhirnya
pemerintah melakukan pembredelan pers, dengan tindakan-tindakannya yang tidak
terbatas pada pers asing saja.
Pertanda akan terjadinya pembatasan terhadap
kebebasan pers, terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementrian
Penerangan, Ruslan Abdulgani, yang antara lain : “.....khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dikenakan atas
kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing....”. pernyataan di atas
ditindak lanjuti dengan pengesahan Undang-Undang yang mengahruskan para penerbit
Belanda membayar tiga kali lipat untuk kertas koran ketimbang pers Indonesia.
f.
Pers di zaman Orde Lama atau
Pers Terpimpin (1956-1966)
Upaya untuk membatasi kebebasan pers itu
tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, ketika menyambut HUT Proklamasi
Kemerdekaan R.I ke 14, antara lain ia menyatakan:
“...Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh
bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945
harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian
Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pada awal 1960, penekanan kepada kebebasan
pers diawali dengan peringatan Menteri muda penerangan Maladi bahwa
“langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah,
dan kantor-kantor berita yang tidak mentaato peraturan yang diperlukan dalam
usaha menerbitkan pers nasional”. Masih pada tahun 1960, penguasa perang mulai mengenakan
sanksi-sanksi perizinan terhadap pers, Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban
umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers
semakin memburuk, hal ini digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari ”Army Handbook”. Bahwa kementrian
Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang
ada hampir-hampir tidak lebih dari sekedar perubahan sumber wewenang karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secra sepihak.
Berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan
penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde lama, bertambah
bersamaan dengan meningkatnya keterangan dalam pemerintahan. Tindakan-tindakan
penekanan terhadap kebebasan pers merosot, ketika ketegangan dalam pemerintahan
menurun. Lebih-lebih setelah percetakan-percetakan diambil alih oleh pemerintah
dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah,
sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.
g.
Pers di Era Demokrasi
Pancasila dan Orde Baru
Di awal pemerintahan Orde Baru, menyatakan
bahwa akan membuang jauh-jauh praktek demokrasi terpimpin dan menggantinya
dengan demokrasi pancasila. Pernyataan tersebut tentu saja membuat para tokoh
politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers terkemuka dan lain-lain
menyambutnya dengan antusias sehingga istilah Pers Pancasila.
Pemerintahan Orde Baru sangat menekankan
pentingnya pemahaman tentang pers Pancasila Menurut rumusan Sidang Pleno XXV
Dewan Pers, (Desember 1984) bahwa
“Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pres yang orientasi,
sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
betanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang
konstruktif”
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintahan
ketika itu dipermanis dengan keluarnya Undang-undang Pokok pers (UUPP) Nomor 11
tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat
kolektif, dan tidak diperlukan surat izin terbit. Kemesraan tersebut ternyata
hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun, karena sejak terjadinya
“Peristiwa Malari” (peritiwa Lima belas Januari 1974) kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti jaman Orde
Lama).
Terjadinya Peristiwa Malari tahun 1974, berakibat
beberapa surat kabar dilarang terbit Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta
(termaasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu dan baru diijinkan terbit
kembali, setelah para pemimpin redaksinya menandatangani surat pernyataan maaf.
Penguasa lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon supaya pers tidak
menyiarkan suatu berita, ataupun para wartawan lebih diperingatkan untuk
mentaati kode etik jurnalistik sebagai “selfcensorship”.
(saya mempehitungkan). Demikian juga pengawasan terhadap kegiatan pers dan
wartawan diperketat. (menjelang) Sidang MPR 1978.
Pers Pasca Malari merupakan pers yang
cenderung “mewakili” kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Pada saat
itu pers jarang, malah tidak pernah melakukan kontrol sosial secara kritis,
tegas, dan berani. Pers Pasca Malari tidak artikulatif dan mirip dengan jaman
rezim Demokrasi terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan yakni rezim Orde Baru
melihat pers tidak lebih dari sekedar institusi politik yang ahrus diatur dan
dikontrol seperti halnya dengan organisasi massa dan Partai Politik.
h.
Kebebasan Pers di Era
Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional
kembali menikmati kebebasan pers. Hal demikian sejalan dengan alam reformasi,
keterbukaan dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintahan
pada masa reformasi sangat mempermudah izin penebitan pers. Akibatnya, pada
awal reformasi banyak sekali penerbitan pers atau koran-koran, majalah atau
tabloid baru bermunculan. Bisa dikatakan pada wal reformasi kemunculan pers
ibarat jamur di musim hujan.
Kalangan pers mulai bernafas lega ketika di
era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
hak asasi manusia dan undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Kendati
belum sepenuhnya memenuhi keinginan kalangan pers, kelahiran undang-undang pers
tersebut disambut gembira, karen tercatat beberapa kemajuan penting dibanding
dengan undang-undang sebelumnya, yaitu undang-undang Nomor 21 tahun 1982
tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Di dalam Undang-undang Pers yang baru ini,
dengan tegas menjamin adanya kemerdekaan pers, sebagai hak asasi warga negara
(Pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi di singgung perlu tidaknya surat
izin terbit. Di samping itu ada jaminan lain yang diberikan oleh undang-undang
ini, yaitu terhadap pers nasional tidak di kenakan penyensoran, pembredelan,
dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak . tujuan hak tolak adalah agar
wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan
identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai
keterangan oleh pejabat penyidik dan atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.
Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau
ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pada masa reformasi ini dengan keluarnya
Undang-Undang tentang pers, yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers,
maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1). Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2). Mengeakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3). Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar.
4). Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5). Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
No comments:
Post a Comment